Hikmah
Kemunafikan Sosial
Kemunafikan sosial dilakukan secara kolektif, sistemis, dan sistematis yang berdampak lebih besar dan luas.
Oleh HASAN BASRI TANJUNG
Sejatinya, manusia diciptakan dengan kesempurnaan jasmaniyah (fisik), aqliyah (pikiran), dan ruhaniyah (batin). Ketiga dimensi ini telah meninggikan derejat manusia melebihi makhluk lain, termasuk malaikat yang senantiasa beribadah kepada Allah SWT.
Pada sisi lain, manusia juga dilengkapi perangkat lunak hawa nafsu (keinginan diri sendiri) sebagai daya dorong untuk bergerak, berbuat, dan merekayasa kehidupan. Namun, hawa nafsu yang tidak terkendali (nafs al-ammarah) akan menjerumuskan ke lembah durjana.
Apalagi, dalam diri manusia diselipkan potensi negatif, seperti keluh kesah, lemah, malas, lupa diri, dan kufur (QS al-Ma’arij [70]: 19-21). Manusia harus bermujahadah (kesungguhan batin) menjauhi sifat-sifat buruk itu agar dapat menunaikan tugas kehambaan dan amanah kekhalifahan dengan baik.
Hawa nafsu yang tidak terkendali (nafs al-ammarah) akan menjerumuskan ke lembah durjana.
“Rasulullah SAW berlindung kepada Allah dari delapan perkara, yakni kecemasan, kesedihan, kemalasan, kebakhilan, ketakutan, belitan utang, dan penidasan musuh.” (HR Ahmad).
Walaupun potensi positif lebih besar daripada potensi negatif dalam diri manusia, tapi daya tarik keburukan lebih kuat dibanding dengan daya tarik kebaikan. Jika hawa nafsu ditumpangi rayuan setan, maka kerusakan yang ditimbulkannya semakin besar.
Prof Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (hal 127) menjelaskan bahwa di permulaan surah al-Baqarah, manusia dibagi menjadi tiga kelompok.
Pertama, muttaqiin, yakni orang yang percaya hati, mulut, dan perbuatannya. Kepercayaan hatinya dibuktikan oleh perbuatan (ayat 1-5).
Kedua, kafir, yakni orang yang tidak mau percaya, hatinya tidak percaya, mulutnya menentang, dan perbuatannya melawan (ayat 6-7).
Ketiga, munafik, yakni orang yang pecah di antara hati dengan mulutnya. Mulutnya mengakui percaya, tetapi perbuatan dan hatinya tidak sesuai dengan ucapan (ayat 8-20).
Sedemikian krusial, uraian tentang kemunafikan pun lebih banyak daripada orang takwa dan kafir. Sifat dan perilakunya disajikan dalam 13 ayat, sementara orang bertakwa hanya lima ayat, dan kafir dalam dua ayat.
Dalam beberapa ayat, orang munafik dan kafir disebutkan bersamaan dan kelak akan disiksa dalam neraka (QS an-Nisa' [4]: 140-143).
Pada zaman Nabi SAW dan Khulafaur Rasyidin, musuh yang paling berat adalah orang-orang munafik. Sebab, mereka sulit dideteksi dan berada di dalam barisan kaum muslimin. Mereka bagaikan “musuh dalam selimut”, “menggunting dalam lipatan”, “menyalip di tikungan”, dan “menusuk dari belakang”.
Terkadang mereka seperti kawan, tapi di belakang bersekongkol dengan lawan untuk menghancurkan (QS an-Nisa' [4]: 81). Jika berkumpul dengan umat Islam, mereka mengaku setia dan beriman. Namun, ketika berkumpul dengan musuh mengaku hanya mengolok-olok dan mempermainkan saja (QS al-Baqarah [2]: 14).
Jika dilihat dari perilaku dan dampaknya, setidaknya kemunafikan dapat dibagi menjadi tiga macam.
Pertama, kemunafikan personal (an-nifaaqu al-fardii). Sikap dan perilaku seseorang yang buruk dalam berinteraksi dengan masyarakat. Secara zahir, sikap dan ucapannya santun dan menarik, tapi perbuatan tidak sejalan.
Layaknya penipu ulung yang tampil gagah dengan asesoris menawan. Begitu juga calon legislatif dan pemimpin yang mengumbar janji, tapi mudah lupa dan melalaikan amanah.
Tanda orang munafik ada tiga macam yakni apabila berkata ia dusta, apabila berjanji ia ingkar, dan apabila dipercaya ia khianat (HR Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan empat tanda munafik sejati, yakni jika bicara dusta, jika berjanji ingkar, jika diberi amanah khianat, dan jika berseteru ia curang (HR Bukhari).
Kemunafikan personal bertujuan mengambil keuntungan pribadi dengan cara yang buruk (QS al-Baqarah [2]: 204).
Kedua, kemunafikan sosial (an-nifaaqu al-ijtimaa’ii). Sikap dan perilaku kolektif yang koruptif dan menyalahi etika sosial orang yang berkuasa atau berpengaruh demi mewujudkan ambisi kelompoknya.
Orang bijak berkata, gambaran kemunafikan sosial yang paling besar adalah memberikan pakaian dan makanan sisa kepada fakir dan misikin. Namun pada saat bersamaan memberi hadiah mewah kepada orang kaya yang tidak mereka butuhkan.
Inilah gambaran pejabat negara atau politisi tak beradab yang menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan dan kekayaan. Untuk menjaga citra yang merakyat dan peduli, mereka bersedekah sekadarnya (kamuflase), lalu diliput media massa (QS al-Baqarah [2]: 267).
Kemunafikan sosial adalah tipuan yang jitu untuk mengelabui masyarakat yang dilakukan dengan rapi. Padahal, infak yang bernilai kebajikan hanyalah dari sesuatu yang disukai (QS Ali Imran [3]: 92).
Ketiga, kemunafikan spiritual (an-nifaaqu ar-ruuhii). Sikap dan perilakunya positif dan bermanfaat bagi orang banyak, sehingga ia pun dihormati dan dikenang sepanjang zaman. Mereka suka menolong dan memberdayakan umat, tapi terbersit di lubuk hatinya untuk menerima pujian manusia (riya' dan sum’ah).
Ia hendak menipu Allah, akan tetapi sebenarnya dia menipu dirinya sendiri (QS an-Nisa' [4]: 142). Nabi SAW pernah menceritakan tiga orang yang berjasa di dunia, tapi mereka menjadi orang pertama masuk neraka.
Pertama, orang mati syahid yang ingin disanjung sebagai pemberani. Kedua, orang alim yang ingin dipuji sebagai cerdik pandai. Ketiga, orang kaya yang hendak disebut dermawan (HR Muslim).
Walhasil, pada hakikatnya kemunafikan itu sama, yakni menipu diri sendiri. Jika kemunafikan personal dilakukan seseorang kepada orang lain, maka kemunafikan sosial dilakukan secara kolektif, sistemis, dan sistematis sehingga dampaknya jauh lebih besar dan luas.
Sedangkan, kemunafikan spiritual dilakukan seseorang kepada Allah SWT tanpa merugikan orang lain. Tentu, mereka akan mendapat hukuman yang sepadan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Allahu a’lam bishshawab.
Baca Basmalah Saat Shalat, Sebaiknya Keras atau Pelan?
Lebih baik menggabungkan antara keras dan pelan.
SELENGKAPNYAMulanya Peran Mufti di Dunia Islam
Mufti berperan sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan fatwa kepada umat Islam.
SELENGKAPNYASang Pembaru Agama di Abad Pertama
Kalangan sejarawan menyebut Umar bin Abdul Aziz sebagai mujadid pada abad pertama Hijriyah.
SELENGKAPNYA