
Mujadid
Sang Pembaru Agama di Abad Pertama
Kalangan sejarawan menyebut Umar bin Abdul Aziz sebagai mujadid pada abad pertama Hijriyah.
Secara kebahasaan, mujadid berarti ‘seorang yang membarui ajaran agama.’ Hal itu tidak bermakna bahwa orang yang dimaksud membawa hukum atau agama baru, melainkan menyegarkan kembali pemahaman umat terhadap keyakinan religius mereka.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengutus (menghadirkan) bagi umat ini orang yang akan memperbarui (urusan) agama mereka pada setiap akhir 100 tahun” (HR Abu Dawud).
Berdasarkan hadis tersebut, para ulama meyakini bahwa setiap satu abad kaum Muslimin akan menjumpai seorang mujadid. Menurut pendapat Imam Hambali (780-855), dalam abad pertama Hijriah sosok mujadid yang dimaksud adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Alasannya, pemimpin yang memerintah antara tahun 99 dan 102 H—sekitar 717 hingga 720 Masehi—itu menerapkan kebijakan untuk kembali kepada syariat.
Umar II, demikian gelarnya, memang tercatat dengan tinta emas dalam sejarah peradaban Islam. Seperti tersirat dari namanya, pemimpin dari Dinasti Umayyah tersebut masih keturunan Umar bin Khattab, sang amirul mukminin kedua dari jajaran Khulafaur Rasyidin. Ibunya bernama Laila Umm Ashim, yakni salah seorang cucu sahabat yang berjulukkan al-Faruq itu.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Itulah pepatah yang tepat untuk menggambarkan ketinggian budi pekerti kakek dan nenek Umar bin Abdul Aziz; sifat yang akhirnya menurun kepada sang cucu.
Prof Ali Muhammad ash-Shallabi dalam Biografi Umar bin Abdul Aziz: Khilafah Pembaru dari Bani Umayyah (2010) mengatakan, Umar bin Abdul Aziz lahir di Madinah al-Munawarrah pada 61 H atau 717 M. Ash-Shallabi menolak pendapat yang menyebut, tokoh ini lahir di Mesir. Sebab, bapaknya—Abdul Aziz bin Marwan—diketahui baru menjabat sebagai gubernur Mesir pada 65 H.
Ada berbagai kisah yang menyebutkan keistimewaan sang mujadid bahkan ketika dirinya masih berusia anak-anak. Seperti dituturkan Ibnu Qutaibah dalam Al-Ma’aarif, pada suatu hari Umar kecil mendekati kandang kuda milik ayahnya.
Tiba-tiba, seekor kuda menendang wajahnya dengan cukup keras sehingga membuatnya terluka. Abdul Aziz segera menenangkannya dan menyeka darah dari muka putranya itu.
Katanya, “Jika kamu orang yang terluka dari Bani Umayyah, sungguh kamu orang yang berbahagia.”
Sebab, datuknya, yakni Umar bin Khattab, pernah berujar, “Sesungguhnya, dari keturunanku ada seorang laki-laki yang di wajahnya ada bekas luka. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan.”
Saudaranya, al-Ashbagh, begitu melihat keadaan Umar kecil seketika berseru, “Allahu akbar! Orang yang terluka dari Bani Umayyah ini kelak akan menjadi penguasa!”
Umar bin Abdul Aziz merupakan sulung dari empat bersaudara. Ketiga adiknya adalah Abu Bakar, Muhammad, dan Ashim. Ia tumbuh besar di Madinah. Perilakunya pun sama seperti umumnya penduduk Kota Nabi yang penuh kesopanan dan sangat takzim pada alim ulama.
Sejak kecil, dirinya mencintai ilmu-ilmu agama. Ia gemar mengunjungi rumah paman ibunya, Abdullah, yakni putra Umar bin Khattab yang juga seorang ulama besar. Sering kali, Umar kecil menyampaikan kepada ibundanya bahwa dirinya ingin agar kelak menjadi sosok yang alim, sama seperti Abdullah bin Umar al-Faruq.
Ketika Abdul Aziz diangkat menjadi gubernur Mesir, istri dan anak-anaknya hendak diboyong ke negeri sekitar Sungai Nil itu. Kabar ini sampai ke telinga Abdullah bin Umar bin Khattab.
Abdullah mempersilakan Laila Umm Ashim untuk menyusul Abdul Aziz, “Wahai anak perempuan saudaraku, dia adalah suamimu, maka datangilah dia.” Namun, saat keponakannya itu akan berangkat, Abdullah teringat akan Umar.
“Biarkan anak ini tinggal bersama kami (keturunan Umar bin Khattab) di Madinah. Sebab, dia anggota keluarga kalian yang sangat mirip dengan kami,” kata Abdullah.
Umm Ashim membolehkannya. Keputusan ini tentu disambut gembira oleh Umar sendiri yang memang bercita-cita menjadi seorang syekh, seperti Abdullah dan saudara-saudaranya.
Begitu anggota keluarganya tiba di Mesir, Abdul Aziz bertanya-tanya, di manakah putra sulungnya. Istrinya lantas memberi tahu tentang Abdullah yang ingin merawat dan mendidik Umar. Abdul Aziz gembira mendengar hal ini.

Di bawah bimbingan Abdullah, Umar bin Abdul Aziz tumbuh menjadi lelaki muda yang cerdas dan saleh. Ia senang menuntut ilmu, membaca kitab-kitab, serta mengikuti majelis ilmu dan diskusi para ulama. Masjid Nabawi merupakan tempat berkumpulnya banyak alim yang menguasai berbagai disiplin ilmu. Umar pun lebih sering menghabiskan waktunya di masjid tersebut.
Menurut ash-Shallabi, sekurang-kurangnya ada 33 ulama yang kepadanya Umar menuntut ilmu-ilmu agama. Sebanyak delapan orang di antaranya merupakan para sahabat Rasulullah SAW. Adapun sisanya termasuk generasi tabiin.
Dalam usia belia, ia telah menghafal Alquran. Tidak hanya ibadah wajib, berbagai amalan sunah pun selalu dilaksanakannya dengan rutin. Kedekatannya dengan alim ulama membuat kepekaannya terasah sebagai seorang Muslim. Sering dalam shalat malam, dirinya menangis karena mengingat mati. Padahal, saat itu umurnya masih muda.
Mulai memimpin
Pada masa Khalifah Walid bin Abdul Malik, Umar yang masih berusia 24 tahun diangkat menjadi gubernur Madinah. Inilah jabatan publik pertama yang diembannya. Enam tahun lamanya cicit Umar bin Khattab itu memimpin Kota Nabi.
Semasa kepemimpinannya, kota tersebut mengalami berbagai macam perbaikan; mulai dari infrastruktur, birokrasi, pelayanan umum, hingga pendidikan. Masjid Nabawi pun turut diperindahnya. Umar bin Abdul Aziz-lah yang pertama kali mendirikan ruangan mihrab di sana pada 91 H.
Salah satu prioritasnya selama memimpin Madinah ialah membentuk majelis permusyawaratan. Karena terdiri atas 10 ulama besar dari kota setempat, majelis ini sering disebut Majlisul ‘Asyarah. Tugas mereka adalah memberikan pertimbangan atas berbagai kebijakan gubernur dan juga mengawasi kerja pemerintahan.
Hati nurani Umar sangat peka akan Alquran. Pernah di sebuah majelis, ia membaca surah at-Takasur. Surah itu menyinggung perihal mereka yang gemar bermegah-megahan serta akibat yang akan diterimanya kelak. Baru dua ayat dibacanya, Umar menangis sesenggukan.
Sesudah agak tenang, dirinya berkata, “Aku tidak melihat kuburan kecuali sebagai tempat diziarahi. Dan setiap yang menziarahinya pun kelak akan kembali, apakah ke surga atau neraka.”
Sang Penggerak Perguruan Tinggi Islam
Bersama sejumlah tokoh, Prof Anton Timur Djaelani mendirikan PII.
SELENGKAPNYASosok Asisten Rumah Tangga di Kediaman Rasulullah
Safinah menginginkan tetap menjadi asisten rumah tangga yang bekerja untuk keluarga Nabi SAW.
SELENGKAPNYADalam Belantara Menemukan Pencipta
Pada abad ke-12 M, Ibnu Thufail menulis sebuah novel perenungan filosofis.
SELENGKAPNYA