ILUSTRASI Ibnu Thufail menulis sebuah roman filsafat, Hayy ibn Yaqzhan. | DOK University of Chicago Press

Kitab

Dalam Belantara Menemukan Pencipta

Pada abad ke-12 M, Ibnu Thufail menulis sebuah novel perenungan filosofis.

Novel filsafat Hayy bin Yaqzhan karya Ibnu Thufail sudah dikenal di dunia Timur dan Barat. Roman ini ditulis pada abad ke-12 M, ketika cahaya ilmu pengetahun Islam terang benderang menyinari alam.

Gagasan yang tertuang di dalamnya bukanlah sesuatu yang baru. Beberapa tahun sebelum Ibnu Thufail menulis Hayy bin Yaqzhan, Ibnu Sina sudah menulis roman dengan judul yang sama. Meski demikian isi keduanya berbeda.

Mengenai kesamaan judul dalam kedua karya tersebut, menurut Abbas Mahmud Al-Aqqad, disebabkan kuatnya imajinasi para ulama Muslim pada abad ke-11 dan ke-12 M menggapai Zat Yang Mahaagung.

Menurut Aqaad, mereka tidak puas terhadap dunia beserta isinya. Mereka gelisah, sehingga berupaya mencari 'surga yang hilang'. Tidak sampai dua atau tiga abad setelah itu, semangat yang sama muncul di Eropa dengan pemicu yang sama pula.

Pertalian gagasan tersebut dapat dilacak dari Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail hingga kepada para filosof Eropa, seperti Thomas Hobbes, John Locke, Isaac Newton, dan Immanuel Kant. Secara khusu,  Hayy bin Yaqzhan karya Ibnu Thufail memengaruhi beberapa ilmuwan Eropa abad pencerahan, di antaranya David Hume dan George Barkeley.

 
Hayy bin Yaqzhan karya Ibnu Thufail memengaruhi beberapa ilmuwan Eropa abad pencerahan.
   

Hayy bin Yaqzhan pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Edward Pococke pada 1660 dengan judul Philosophus Autodidactus. Kemudian, pada 1686 diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh George Ashwell dengan judul The Improvement of Human Reason: Exhibited in the Life of Hai Ebn Yokdhan.

Terjemahan-terjemahan tersebut menyebar ke negara-negara Eropa, terutama di Inggris, Prancis, Belanda, Jerman, dan negara-negara Latin. Pada 1721 cerita Hayy bin Yaqzhan dikenalkan oleh Cotton Mather (filosof Kristen) ke Amerika Utara.

Buku ini ikut mendukung proses pencerahan masyarakat Eropa dan revolusi ilmu pengetahuan di abad pertengahan. Tidak mengherankan jika kemudian kajian-kajian kritis terhadap Hayy bin Yaqzhan di Barat lebih jauh melebihi yang terjadi di dunia Arab sendiri.

photo
Karya Ibnu Thufail dalam edisi berbahasa Inggris. Buku ini mengisahkan perjalanan seorang anak usia tujuh tahun dalam menemukan kebenaran. - (DOK University of Chicago Press)

Penggambaran seorang bocah yang hidup sendirian di pulau terpencil mencari kebenaran mutlak, mengajak setiap pembaca menerawang ke dunia antah berantah. Imajinasi serupa juga berkembang di Eropa dan kerap diusung oleh pujangga-pujangga di sana. Oleh sebab itu, model penyajian gagasan filsafat Ibnu Thufail ini mudah diterima oleh bangsa lain di dunia.

Ibnu Thufail memang piawai merangkai kata. Ia dapat memancing emosi dan rasa penasaran para pembacanya. Sang pujangga mengisahkan, Hayy bin Yaqzhan tidak pernah berhenti mencari daya (fail) yang menggerakkan fenomena-fenomena alam di sekitarnya.

Tahapan-tahapan spiritualitas ia raih dengan olah akal. Butuh waktu beberapa tahun baginya untuk melangkah dari satu fase pemahaman realitas menuju fase selanjutnya.

Setelah pencarian selama 35 tahun, barulah ia bisa menyibukkan pikirannya memahami sang Fail (daya penggerak) yang mengatur seluruh jagad ini. Sebelumnya, ia hanya berkutat pada pemahaan fenomena alam dengan kekuatan indranya. Pada bab pertama, Ibnu Thufail mengingatkan sebagai berikut.

 
Saudaraku yang mulia dan tulus, ketahuilah bahwa siapa pun yang menghendaki kebenaran sejati, ia harus mencari kearifan dan bersungguh-sungguh menggelutinya.
   

"Aku sudah menyaksikan suatu kondisi yang belum pernah aku saksikan sebelumnya. Aku sampai pada sebuah pengalaman yang begitu menakjubkan. Pengalaman yang tak terlukis dan tak bisa diungkapkan. Sebab, apa yang telah aku capai ini memang berada di luar pengalaman indrawi manusia dan melampaui realitas fisik," ungkap Ibnu Thufail menjelaskan pengalamannya.

Tampaknya pengalaman spiritual itu yang menuntun Ibnu Thufail menuangkan gagasan-gagasan filsafatnya dalam bentuk roman. Jika Ibnu Sina menggambarkan sosok Hayy bin Yaqzhan sebagai seorang kakek bijak yang memperoleh hikmah melalui pengalaman dan pengembaraan, Ibnu Thufail mengilustrasikannya sebagai seorang bocah yang hidup sendiri di sebuah pulau, diasuh oleh seekor rusa.

Pengembaraan Hayy 

Alkisah, di sebuah pulau di Samudra Hindia yang dilintasi garis katulistiwa, hidup seorang anak yang lahir tanpa ibu dan bapak. Ia terlahir dari tanah liat yang menyediakan segala keperluan janin di tengah proses menjadi seorang bayi yang sempurna. Hayy bin Yaqzhan namanya. Ia terlahir normal, sehat layaknya bayi lain yang terlahir dari rahim ibunya.

Tujuh tahun lamanya, Hayy bin Yaqzhan diasuh oleh seekor rusa. Tingkah laku, suara, makanan, hingga kebiasaan sehari-hari sang bayi sangat mirip dengan segerombolan rusa. Akan tetapi, keriangan Hayy bin Yaqzhan di masa kanak-kanaknya akhirnya terhenti di usia tujuh tahun. Rusa yang mengasuhnya mati.

Segala tenaga dan pikiran ia curahkan untuk mencari sebab-sebab kematian pengasuhnya itu. Ia membedah seluruh isi perut rusa mencari jawaban dari pertanyaan yang menggelayut di pikirannya, kenapa harus ada kematian?

Selidik demi selidik, si bocah pun menyimpulkan bahwa kekuatan tak berbentuk telah meninggalkan jasad si rusa.

 
Dari sini pengembaraan Hayy bin Yaqzhan mencari hakikat mutlak dimulai.
   

Dari sini pengembaraan Hayy bin Yaqzhan mencari hakikat mutlak dimulai. Ia mengamati seluruh kehidupan di sekelilingnya. Ada segerombolan binatang dan tumbuh-tumbuhan yang bergerak sesuai dengan kodratnya. Mereka tak mampu melawan takdir yang telah melekat pada dirinya. Ia melihat api dan segera menyimpulkan apilah benda yang paling mulia.

Api menjalar ke atas dan memberikan kehangatan. Ia teringat bagian dalam tubuh rusa yang meninggalkannya begitu hangat ketika hidup, kemudian berubah dingin setelah mati. Karena itu, menurutnya, kehangatan api adalah inti kehidupan dalam diri setiap makhluk hidup.

Setelah si bocah beranjak dewasa, perhatiannya beralih kepada benda-benda langit, matahari, bulan, bintang-bintang, dan planet-planet. Ia terkagum dengan pergerakan mereka yang teratur sesuai dengan garis peredarannya masing-masing.

 
Pembaca diingatkan dengan kisah pencarian Nabi Ibrahim AS dalam mengenal Tuhan.
   

Pada tahapan kisah ini, pembaca diingatkan dengan kisah pencarian Nabi Ibrahim AS dalam mengenal Tuhan. Ibrahim berhijrah dari kota-ke kota untuk menemukan siapa Tuhan sejatinya.

Pada episode akhir pencariannya itu, Ibrahim menganggap benda-benda langit yang merupakan simbol ketinggian, keagungan, dan keindahan seperti layaknya Tuhan. Selangkah kemudian, Ibrahim pun 'menemukan' Tuhan.

Demikian halnya dengan kisah yang dituturkan Ibnu Thufail. Hayy bin Yaqzhan dikisahkan ingin menyerupai benda-benda langit itu. Ia pun melakukan gerakan berputar. Terkadang memutari rumahnya sendiri, bukit-bukit dan pulau itu. Ia terus berputar hingga kesadarannya pun hilang.

Semakin dalam pencariannya tentang hakikat mutlak, Hayy bin Yaqzhan merasakan keindahan, keagungan, dan kenikmatan yang tak terhingga, yang tak pernah terbetik sedikit pun dalam kalbu manusia, tak bisa disifati, dan tak bisa dinalar kecuali oleh mereka yang sudah sampai pada tujuan dan mengarifi sendiri.

 
Jangan sekali-kali engkau mencari penjelasan lebih dari ini melalui kata dan bahasa. Sebab kata dan bahasa, mustahil mengungkapkan realitas yang pernah dialami Hayy bin Yaqzhan.
Ibnu Thufail
 

Rahasia Gigi Lebih Putih di Usia 40 Tahun

Enamel ggi cenderung luntur seiring waktu,

SELENGKAPNYA

Dua Belas Jam Kehilangan Istri di Masjidil Haram

Kakek berusia 71 tahun ini terpisah dari istrinya yang berusia 65 tahun di tengah lautan manusia.

SELENGKAPNYA

Hal Keren Terbaru yang Bisa Dilakukan Robot

Memasak adalah masalah yang menantang bagi robot.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya