ILUSTRASI Ulama yang berwenang mengeluarkan fatwa disebut sebagai mufti | DOK REP PUTRA M AKBAR

Dunia Islam

Mulanya Peran Mufti di Dunia Islam

Mufti berperan sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan fatwa kepada umat Islam.

Secara kebahasaan, fatwa berarti keputusan atau pendapat yang diberikan oleh mufti mengenai suatu masalah. Bagi kaum Muslimin, fatwa yang dikeluarkan alim ulama dapat menjadi pegangan untuk mengaplikasikan syariat Islam.

Menurut Yusuf al-Qaradhawi dalam buku Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid II (1995), fatwa menjelaskan hukum syariat mengenai sesuatu yang wajib, mustahab, makruh, haram, atau mubah. Di samping itu, fatwa menerangkan kebenaran, menolak kebatilan dan syubhat, serta berkeinginan memberikan penerangan kepada akal.

Pada zaman Nabi Muhammad SAW, tentunya fatwa—atau penegasan tentang suatu hukum agama Islam—bersumber dari beliau. Umat, khususnya para sahabat, dapat langsung bertanya kepada dan mendengarkan jawaban dari Rasulullah SAW. Tidak jarang pula, berbagai pertanyaan yang diajukan kepada beliau menjadi latar penyebab turunnya (asbabun nuzul) ayat-ayat Alquran.

photo
ILUSTRASI Mufti pada masa awal berasal dari kalangan sahabat Nabi SAW. - (DOK MAXPIXEL)

Bagaimana perkembangan fatwa di masa-masa awal pasca- Rasulullah SAW wafat? Dalam buku Islamic Legal Interpretation (1996) dijelaskan, sejak wafatnya Nabi SAW, orang-orang yang menjadi rujukan pertama-tama adalah para sahabat, yakni mereka yang pernah berinteraksi dengan Nabi SAW. Ada sekitar 130 sahabat yang dikatakan berperan sebagai mufti—pemberi fatwa—selama abad pertama Hijriyah.

Seorang di antaranya adalah Muadz bin Jabal (wafat 640 M). Tidak hanya sebagai mufti, dirinya pun berperan selaku gubernur Yaman. Di tengah masyarakat setempat, ia telah menyiarkan berbagai fatwa, baik mengenai ibadah ritual maupun urusan muamalat.

Kemudian, ada Zaid bin Tsabit, sosok yang disebut sebagai sekretaris Nabi SAW. Ia pernah mengepalai lembaga fatwa di Madinah antara tahun 634 dan 666 M. Ada pula Ibnu ‘Abbas yang mengeluarkan beragam fatwa.

Di kemudian hari, semua fatwanya itu kemudian dikumpulkannya dalam 20 jilid kitab oleh dinasti yang kelak mengambil namanya, Dinasti Abbasiyah, tepatnya ketika dipimpin Khalifah al-Makmun.

 
Hingga abad ketujuh Hijriyah, lembaga-lembaga fatwa menyebar ke pelbagai penjuru daulah Islam.
   

Hingga abad ketujuh Hijriyah, lembaga-lembaga fatwa menyebar ke pelbagai penjuru daulah Islam. Itu seiring sejalan dengan praksis pengumpulan hadis Nabi SAW, khususnya dalam rentang abad ketiga sampai kesembilan Hijriyah. Tujuannya untuk memelihara keberlangsungan Sunnah.

Praktik tanya-jawab untuk meminta dan mengeluarkan fatwa terus berlangsung. Misal, dijelaskan bahwa Masruq (wafat 682 M) pernah bertanya kepada ummul mukminin ‘Aisyah mengenai bagaimana Rasulullah SAW melakukan shalat malam. Atas pertanyaan ini, ‘Aisyah menjawab, “Kadang, tujuh rakaat, kadang sembilan rakaat, dan kadang 11 rakaat.”

Pada akhirnya, sebagian besar generasi sahabat Nabi SAW wafat. Umat Islam pun kian lama kian terputus dari sosok-sosok yang pernah berinteraksi dan menyaksikan langsung Rasulullah SAW. Bagaimanapun, paradigma isnad berlaku. Yakni, metode transmisi keilmuan dari generasi terdahulu ke generasi kemudian.

Maka, peran sebagai mufti kemudian diambil ulama-ulama dari kalangan tabiin dan tabiut tabiin. Setidaknya sejak abad kedua hingga abad kedelapan hijriah, dua generasi itu mengabdikan diri untuk keberlangsungan keilmuan Islam. Di Makkah, Madinah, Damaskus, Yaman, dan di pusat-pusat perkembangan Islam lainnya muncul sosok-sosok mufti.

Untuk menyebutkan beberapa nama, di antaranya adalah al-Sha’bi (wafat sekitar 721-722 masehi), al-Zuhri (wafat 742 masehi), Makhul (wafat 734 masehi), dan Ta’us (wafat 720 masehi). Mereka merupakan para perintis bahan yang digunakan oleh generasi berikutnya untuk mengembangkan sistem hukum Islam.

 
Lembaga-lembaga fatwa pun tumbuh sebagai institusi yang mandiri dari tangan kekuasaan negara.
   

Lembaga-lembaga fatwa pun tumbuh sebagai institusi yang mandiri dari tangan kekuasaan negara. Para ulama mengendalikannya berdasarkan standar keilmuan. Untuk bisa mengeluarkan sebuah fatwa, yang diperlukan adalah ilmu keagamaannya dan sifat takwa. Para mufti menyediakan nasihat yang sifatnya otoritatif bagi kaum Muslimin, terlebih yang memang kurang mengetahui ihwal hukum-hukum syariat.

Di masa Dinasti Umayyah, para mufti bertindak sebagai konsultan hukum untuk para kadi. Mereka pun mengeluarkan fatwa bila dimintai pendapatnya oleh para gubernur atau khalifah sendiri mengenai beberapa persoalan. Misalnya, gubernur Ailah, Ruzayq bin Hukaym, pernah menulis surat kepada al-Zuhri di Wadi al-Qura.

Kepala daerah ini bertanya, apakah harus menyelenggarakan shalat Jumat bagi para budak yang bekerja di tempat pertanian yang ia miliki. Al-Zuhri menjawab bahwa gubernur Ruzayq semestinya menyelenggarakan shalat Jumat bagi mereka. Dalam surat jawabannya ini, sang mufti mengutip beberapa hadis Nabi SAW.

Mulanya Tradisi Akhiri Khutbah dengan an-Nahl

Menutup khutbah Jumat dengan membaca surah an-Nahl ayat ke-90 kini sudah membudaya.

SELENGKAPNYA

Kisah Umar dan Gadis Penjual Susu

Umar mengagumi kejujurannya sehingga menjodohkan gadis itu dengan putranya.

SELENGKAPNYA

Sang Pembaru Agama di Abad Pertama

Kalangan sejarawan menyebut Umar bin Abdul Aziz sebagai mujadid pada abad pertama Hijriyah.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya