
Dunia Islam
Mulanya Tradisi Akhiri Khutbah dengan an-Nahl
Menutup khutbah Jumat dengan membaca surah an-Nahl ayat ke-90 kini sudah membudaya.
Salah satu hal yang wajib ada dalam penyelenggaraan shalat Jumat ialah khutbah. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang khatib pun mesti menyampaikan pesan takwa.
Bagaimanapun, ada satu hal yang jamak terjadi, yakni seorang khatib menutup uraiannya dengan membaca firman Allah SWT, yakni Alquran surah an-Nahl ayat ke-90.
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Mulanya tradisi demikian dapat ditelusuri sejak era Dinasti Umayyah. Konteksnya merentang lebih jauh lagi, yakni ketika umat Islam terbelah dalam kubu-kubuan.
Di satu pihak, ada yang mendukung Ali bin Abi Thalib. Di pihak lain, ada pembela Muawiyah bin Abi Sufyan. Sosok yang pertama tersebut adalah sang amirul mukminin keempat dalam jajaran Khulafaur rasyidin. Adapun yang belakangan pada akhirnya mendirikan Dinasti Umayyah.

Latar sejarah
Muawiyah, yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Utsman bin Affan, menginginkan supaya pembunuh khalifah ketiga itu diadili. Namun, dianggapnya Ali tidak memiliki niat untuk melakukan hal tersebut.
Alhasil, gubernur Syam tersebut memberontak terhadap pemerintahan Ali. Inilah yang disebut sebagai Perang Shiffin.
Perseteruan tersebut berakhir sejak Ali gugur lantaran dibunuh seorang ekstremis khawarij. Hasan bin Ali hanya memerintah selama beberapa bulan sebelum menyetujui perundingan dengan kubu Muawiyah.
Pada 661, cucu Rasulullah SAW itu sepakat menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya. Sejak itulah, Daulah Bani Umayyah menguasai peradaban Islam.
Namun, pada 680 pecahlah Perang Karbala. Husain bin Ali gugur dengan keadaan memilukan. Menurut Prof Ahmad Fuad Effendy dalam tayangan Mocopat Syafaat, seperti dikutip dari laman resmi CakNun.com, Yazid bin Abi Sufyan selaku penerus Muawiyah ternyata menaruh dendam kesumat pada Ali dan anak keturunannya.
Keadaan ini terus bertahan hingga berdekade lamanya. Bani Umayyah lantas dipimpin Umar bin Abdul Aziz. Beberapa saat setelah dibaiat, Khalifah Umar ditanya orang-orang, “Bagaimana pendapat Anda tentang Perang Shiffin dan Perang Karbala?”
“Itu semua adalah pertumpahan darah yang Allah selamatkan darinya. Sungguh, aku benci untuk mengotori lisanku dengan mengomentarinya,” jawab sang khalifah. Maksudnya, ia tidak mau ikut-ikutan para pendahulunya dalam menaruh dendam terhadap Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.
Umar bin Abdul Aziz kemudian membuat dekrit yang mencabut kebijakan pengekangan terhadap para khatib Jumat. Dahulu, mereka diharuskan menutup khutbah dengan kata-kata penghinaan atas Ali dan anak cucunya. Kini, caci-maki demikian tidak hanya dihentikan, tetapi juga diganti dengan yang lebih baik.
Umar meminta para khatib untuk menutup khutbah dengan membaca firman Allah Ta’ala. “Sesungguhnya Allah menyuruh berbuat adil dan berbuat kebajikan (ihsan), memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS an-Nahl: 90).
Sumber lain menyatakan, ia juga menambahkan pembacaan satu ayat lagi, yaitu yang artinya: “Ya Tuhan kami beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan Kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang” (QS al-Hasyr: 10).
Tradisi mengakhiri khutbah dengan melantunkan ayat an-Nahl itu terus berlangsung hingga saat ini. Tidak hanya di Timur Tengah, tetapi juga Indonesia. Demikianlah, Umar tidak mau memelihara dendam. Yang dipilihnya adalah menjaga perdamaian agar menjadi contoh baik bagi generasi-generasi sesudahnya.

Pemimpin yang berkarakter zuhud ini wafat pada 5 Februari 720 M dalam usia 37 tahun. Berbagai sumber menyebut, penyebab kematiannya karena diracun orang-orang yang membenci kebijakan prorakyat. Selama masa pemerintahannya yang hanya sekitar tiga tahun, kemakmuran terjadi secara merata.
Tentang ini, Yahya bin Said bersaksi, “Umar bin Abdul Aziz telah mengutusku ke Afrika Utara untuk membagikan zakat kepada penduduk setempat. Sampai di sana, kucari orang-orang fakir untuk kuberikan zakat. Namun, tidak kudapati seorang pun. Bahkan, kami tidak menemukan orang yang berhak menerimanya. Akhirnya, dengan zakat itu kubeli beberapa budak yang lantas kumerdekakan.”
Kisah Umar dan Gadis Penjual Susu
Umar mengagumi kejujurannya sehingga menjodohkan gadis itu dengan putranya.
SELENGKAPNYASang Pembaru Agama di Abad Pertama
Kalangan sejarawan menyebut Umar bin Abdul Aziz sebagai mujadid pada abad pertama Hijriyah.
SELENGKAPNYASang Penggerak Perguruan Tinggi Islam
Bersama sejumlah tokoh, Prof Anton Timur Djaelani mendirikan PII.
SELENGKAPNYA