
Nasional
Nadiem Hanya Ubah Istilah Marketplace Guru
Istilah marketplace akan diubah menjadi ruang talenta guru.
JAKARTA — Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) akan mengubah istilah marketplace yang digunakan untuk platform perekrutan guru menjadi ruang talenta guru. Sejauh ini, rencana perubahan tersebut hanya pada istilah, belum menyentuh substansi atau konsep awal yang digagas Mendikbudristek Nadiem Makarim.
“Kemarin sudah saya sampaikan, namanya ‘ruang talenta guru’,” ujar Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek Nunuk Suryani kepada Republika, Selasa (6//6/2023).
Penggunaan diksi marketplace mendapatkan respons negatif dari para tenaga kependidikan hingga anggota dewan. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), misalnya, merasa khawatir penggunaan diksi itu dapat mendegradasi guru menjadi sekadar barang jualan. Dengan penggunaan kata tersebut, kedudukan guru dinilai menjadi makin tidak terhormat.
Seorang tenaga pendidik honorer di sebuah SMA negeri di Tangerang, Banten, Achmed, menilai marketplace guru bisa memunculkan tindakan nepotisme yang rentan tumbuh subur di sekolah-sekolah.
"Karena dalam perekrutannya dari yang saya baca ternyata kepala sekolah bisa merekrut (guru). Ini yang kemudian saya pikir kalau kepala sekolah bisa merekrut secara langsung maka tidak bisa dimungkiri akan terjadi nepotisme, bahkan bisa jadi besar-besaran," katanya kepada Republika.
Achmed mengatakan, jika marketplace guru diterapkan maka prosesnya bisa dilakukan kapan saja. Artinya, dia melanjutkan, bisa saja kerabat menitipkan ke kepala sekolah untuk memasukkan anaknya atau saudaranya. Atau bisa saja ada oknum yang menyogok menggunakan uang meski memang perekrutannya memakai seleksi.
Setelah itu, lanjut Achmed, guru yang lolos seleksi ada di marketplace dan menunggu sekolah yang mempekerjakan dan menggunakan jasanya. "Persoalannya, kalau kepala sekolah yang (mempekerjakan) namun dia mendapatkan titipan saudaranya hingga kerabatnya, maka ini bisa menjadi persoalan. Ini sangat bisa terjadi," katanya.

Apalagi, Achmed khawatir mekanisme pengawasannya lemah. Kalau mekanisme ini tetap dilakukan maka dia cemas nepotisme yang rentan terjadi bahkan semakin marak.
"Kenapa Mendikbudristek Nadiem Makarim tidak ada alternatif lain dalam perekrutan guru? Seperti tidak ada solusi yang lain, padahal kan ada Badan kepegawaian Negara (BKN), badan kepegawaian daerah (BKD), yang seharusnya (bisa diberdayakan) yang pekerjaannya lebih merespons ketika terjadi kekosongan guru," katanya.
Ia menambahkan, BKN memiliki kantor regional dan ada BKD yang seharusnya bisa cepat tanggap terkait persoalan kebutuhan guru. Jadi, begitu ada guru pindah atau pensiun yang posisinya menjadi kosong, maka bisa langsung redistribusi atau menempatkan guru. Akhirnya, formasi guru bisa dipenuhi.
Terkait untuk memenuhi kebutuhan guru, Achmed mengusulkan perekrutan tenaga pendidik bisa dilakukan setahun sekali atau bahkan setahun dua kali kalau ingin cepat terisi.
Namun, ia mewanti-wanti, pihak kepala sekolah jangan dilibatkan dalam rekrutmen, cukup pihak pemerintah pusat saja yang terlibat untuk meminimalkan nepotisme. Kemudian, dia melanjutkan, tenaga pendidik yang lolos seleksi tidak harus selalu langsung ditempatkan ke sekolah-sekolah.

"Yang penting mereka (guru lolos seleksi rekrutmen pusat) ada di sistem dan begitu ada guru yang pensiun, pindah, atau ada posisi kosong maka guru yang ini langsung didistribusi atau ditempatkan. Jadi, tak ada permainan atau nepotisme dalam rekrutmennya," ujarnya.
Menurut dia, mekanisme ini lebih meyakinkan untuk mengantisipasi nepotisme daripada menggunakan sistem marketplace guru yang dipandang bisa menimbulkan transaksi di sekolah. Jadi, dia tidak setuju mekanisme marketplace guru karena dinilai kurang tepat. Achmed pun khawatir pendidikan bisa kehilangan muruahnya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, dan sekadar menjadi investasi.
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menilai marketplace guru dinilai tidak menyelesaikan akar persoalan tenaga pendidikan di Indonesia. Marketplace guru dinilai membantu menyelesaikan masalah distribusi guru yang hanya menjadi salah satu dari banyak permasalahan pengelolaan tenaga pendidikan di Tanah Air.

“Marketplace guru ini hanya akan memudahkan sekolah yang membutuhkan tenaga pendidik sesuai formasi yang dibutuhkan. Marketplace ini tidak menjawab bagaimana agar tenaga guru honorer bisa secepatnya diangkat menjadi ASN sehingga mereka mendapatkan kelayakan penghidupan,” ujar Huda.
Gagasan marketplace guru ini diklaim Nadiem Makarim untuk mengatasi tenaga guru honorer yang terjadi selama bertahun-tahun. Marketplace guru sendiri merupakan database di mana semua sekolah dapat mencari siapa saja orang yang bisa menjadi pendidik atau diundang ke sekolah tersebut.
Huda mengatakan, saat ini yang dibutuhkan adalah konsistensi dari sikap pemerintah untuk menuntaskan rekrutmen 1 juta guru honorer menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Ini berarti pemerintah harus menuntaskan berbagai kendala mulai dari proses rekrutmen, proses penerbitan surat pengangkatan, hingga penempatan guru yang lolos seleksi.
Marketplace guru dinilai tidak menyelesaikan akar persoalan tenaga pendidikan di Indonesia.
“Saat ini proses rekrutmen 1 juta guru honorer menjadi ASN belum juga tuntas meskipun sudah dua tahun program tersebut diluncurkan,” ujarnya.
Marketplace Guru Berpotensi Picu Nepotisme
Rencana penerapan marketplace guru terus menuai kritik.
SELENGKAPNYAKritik Marketplace Guru Berlanjut
Transformasi tata kelola guru dinilai lebih mendesak untuk dilakukan.
SELENGKAPNYAGuru Maryani Protes Marketplace: Dunia Pendidikan Bukan Dunia Usaha
Gagasan marketplace dinilai merendahkan martabat guru.
SELENGKAPNYA