Strategi pemasaran up selling dalam berbelanja (ilustrasi) | Tahta Aidilla/Republika

Gaya Hidup

Logika dan Emosi dalam Strategi Pemasaran Up Selling

Strategi marketing dengan cara up selling pun dinilai merugikan konsumen.

Belum lama ini, konsep up selling yang diberlakukan salah satu gerai donat ternama menjadi perbincangan di dunia maya. Strategi marketing yang menggunakan cara up selling pun disebut banyak membuat konsumen merasa dirugikan karena mereka akhirnya membeli barang yang sebenarnya tak terlalu mereka butuhkan. 

Anggota Komisi Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Heru Sutadi mengatakan, dalam proses penjualan produk informasi yang diberikan kepada konsumen harus lengkap dan akurat.

Menurut Heru, bilamana ada beberapa tipe, setiap penawaran harus dijelaskan pada konsumen dan tidak ada pemaksaan konsumen harus membeli produk yang secara ukuran ataupun jumlah lebih banyak dari yang sebelumnya dipilih.

Dia juga mengungkapkan, kenaikan jumlah, berat, atau ukuran produk, yang tentu akan berdampak pada harga tersebut sering disebut dengan up selling.

“Harus ada kerelaan dari konsumen membeli dan jika tidak mau tidak boleh dipaksa. Konsumen hanya membayar produk sesuai harga yang memang sudah ditentukan,” ujar Heru.

Kelebihan dan Kekurangan Up Selling

Perencana keuangan Safir Senduk mengutarakan kelebihan dan kekurangan up selling dilihat dari sudut pandang penjual dan pembeli. Up selling dilihat dari sudut pandang penjual jelas menguntungkan.

Misalnya, ada pembeli datang ke toko mobil dan mencari mobil menengah. Lantas penjual mengatakan untuk apa membeli mobil menengah, yang lebih tinggi saja karena tambah sedikit harga lebih bagus.

“Jadi, kelebihannya adalah dari sisi penjual ya menguntungkan. Kekurangannya ada dari sisi pembeli, kadang dia butuh mobil yang menengah, tapi akhirnya dia beli mobil yang lebih tinggi. Sekali lagi balik ke kebutuhan dia,” kata Safir.

Strategi ini juga sering kali dipakai oleh penjual ketika promosi sesuatu. Misalnya, Samsung dengan ponsel pintar Samsung Galaxy S23-nya. Perusahaan asal Korea Selatan itu selalu mengeluarkan tiga jenis handphone. Contohnya, Samsung Galaxy S23, S23 Plus, dan S23 Ultra. Tetapi, menurut Safir, yang selalu dipromosikan adalah selalu yang paling mahal, yakni S23 Ultra.

“Nah, harapan dia supaya orang beli S23 Ultra walaupun ujung-ujungnya orang belinya S23 Plus, ada juga orang beli S23 saja gitu, tapi selalu sama dia dipromosiin ‘Ayo yang Ultra, Ultra, Ultra. Jadi, sekali lagi kelebihan dan kekurangannya kembali lagi ke sisi siapa,” ujarnya.

Agar tidak Terjebak Up Selling

Saat ditanya bagaimana caranya agar konsumen tidak terjebak dengan up selling, Heru menuturkan, sebelum membeli, pastikan jenis barang yang akan dibeli, termasuk ukuran, jumlahnya.

Heru menjelaskan, bilamana ada tawaran menaikkan jumlah, ukuran, atau berat dan kita tidak setuju, tolaklah dengan baik. “Tapi, jika memang ada kebutuhan untuk membeli lebih banyak, ya dibolehkan, tapi disesuaikan dengan kemampuan atau ketersediaan dana,” katanya.

Terakhir, Heru menyarankan bahwa up selling tidak boleh memaksa. Logikanya, Heru mengatakan, jika menjual dengan jumlah produk lebih banyak, harga juga lebih murah secara satuan.

Up selling tidak boleh bundling dengan produk lain yang tidak dibutuhkan konsumen, tapi harganya disatukan dengan produk yang dibeli konsumen,” ujar Heru. 

Pengamat bisnis dan pemasaran Managing Partner Inventure Yuswohady berharap, dengan adanya kasus JCO, beberapa waktu lalu, pelanggan menjadi lebih teliti dan tidak ragu-ragu untuk mengurus walaupun nilainya tidak seberapa.

“Kadang-kadang selisihnya misalnya Rp 10 ribu atau Rp 5.000 itu kadang-kadang customer tidak mau repot atau faktor juga karena malu. Barangkali misalnya ya di belakang ngantre banyak orang, terus kira urus kan lama, kita kan sungkan sama yang di belakang yang ngantre. Ada faktor-faktor kaya gitu,” kata Yuswohady.

 

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Yuswo Hady (@yuswohady)

Dia juga berharap di satu sisi produsen lebih transparan kalau ada program up selling. Di sisi lain, Yuswohady mengatakan, up selling selalu dilakukan karena itu bagian dari fungsi salesman, tetapi mesti etis. Jangan mengelabui atau mencurangi pelanggan.

Justru kalau ada program up selling, Yuswohady menyebutkan, transparansi atau penjelasan oleh penjual itu dilakukan untuk menunjukkan keunggulan dari program tersebut.

“Artinya, program up selling itu harus ada keuntungannya di customer. Kalau program up selling enggak ada keuntungannya, ya customer malas untuk naik kelas, naik spending,” ujarnya.

Tak ketinggalan, Safir juga memberikan tip untuk konsumen agar tidak terjebak dengan up selling. Konsumen harus sadar bahwa keputusan membeli didasarkan pada satu dari dua hal, pada otak sebelah kiri atau sebelah kanan.

Jadi, Safir mengutarakan, kalau biasanya kita membeli sesuatu, biasanya prosesnya adalah kita akan mencerna pertimbangan pembelian itu di otak kita. “Masalahnya kita pertimbangannya itu di mana? Otak sebelah kiri apa sebelah kanan?” kata Safir.

Menurut Safir, perbedaannya adalah otak sebelah kiri itu logika, sementara otak sebelah kanan itu insting. Otak sebelah kiri itu akan memproses segala macam pembelian, penawaran, penjualan dari toko dengan logika.

Contoh yang berkaitan dengan logika, yakni berapa harganya? Berapa garansinya? Berapa lama daya tahannya? Dan sebagainya.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Safir Senduk (@safirsenduk)

Sementara, ada juga calon pelanggan lain yang memproses penawaran dan pembelian di otak sebelah kanannya. Otak sebelah kanan berkaitan dengan emosi, misalnya, seberapa keren ketika memakai barang ini? Seberapa banyak barang ini? Dan lain sebagainya.

Sekarang bagaimana caranya supaya pembeli tidak terjebak pada proses up selling? “Biasanya pembeli mudah terjebak pada proses up selling ketika dia pakai otak dia sebelah kanan ‘Ayo Bu tambah dikit lagi sudah dapat barang lebih bagus lagi lho’, tapi kalau pembeli itu pakai otak sebelah kiri ‘Saya tidak butuh barang Rp 100 ribu’, dia tidak akan mudah membeli dengan up selling,” ujar Safir.

“Jadi, jawabannya adalah calon pembeli harus betul-betul menggunakan logika sehatnya which is itu tidak diharapkan oleh penjual. Karena dia tahu kalau kamu pakai akal sehatmu kamu tidak akan up selling. Tapi, kalau si toko itu ketemu customer yang emosional itu enak banget diajak up selling, ‘Sudah Bu jangan beli yang ini, tambah dikit lagi’ Barang lebih tinggi tambah lagi barang lebih tinggi dan itu bisa naik dua level,” katanya menjelaskan. 

 

 

 
Konsumen harus sadar bahwa keputusan membeli didasarkan pada satu dari dua hal, pada otak sebelah kiri atau sebelah kanan.
SAFIR SENDUK, Perencana Keuangan 
 
 

Indonesia Mendominasi Pesta Olahraga Difabel Asia Tenggara

Kontingen Indonesia masih kokoh di puncak klasemen sementara.

SELENGKAPNYA

BSI Terbitkan EBA Syariah Pertama di Indonesia

Instrumen ini diharapkan dapat memperkuat pembiayaan perumahan dengan skema syariah.

SELENGKAPNYA

Terserang Demensia, Jamaah Minta Pulang Hingga Merasa Masih di Kampung

Ada sejumah jamaah haji lansia mengalami demensia setelah tiba di Madinah

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya