ILUSTRASI al-Bakri merupakan seorang sufi yang menulis Tasliyat al-Ahzan. | DOK REPRO BUKU Abu Zayd al-Balkhis Sustenance

Kitab

Mengenal al-Bakri, Penggubah Tasliyat al-Ahzan

Melalui karyanya itu, sufi kelahiran Syam ini memaparkan seluk beluk cinta Illahi.

Sufi ini bernama lengkap Sayyid Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri ash-Shiddiqi. Sosok yang masih keturunan sahabat Nabi SAW, Abu Bakar ash-Shiddiq, itu lahir di Damaskus, Syam, pada 1099 H/1687 M. Ia pun termasuk zurriyat Rasulullah SAW, yakni melalui garis ibundanya yang sampai kepada Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Sejak kecil, al-Bakri sangat cerdas dan gemar sekali membaca banyak buku. Kecintaannya pada ilmu-ilmu agama terus menguat pada masa remaja hingga dewasa. Pada akhirnya, dirinya berfokus pada dunia tasawuf, khususnya yang diajarkan tarekat Khalwatiyah. Gurunya dalam hal ini adalah Syekh Abdul Latif bin Husamuddin al-Halabi.

Baik sebagai pembelajar maupun ulama, al-Bakri melanglang buana ke banyak negeri. Pada 1133 H, ia tiba di Mesir. Penguasa setempat bersikap hangat padanya.

Bahkan, kemudian dirinya turut mempengaruhi seorang menteri Mesir yang bernama Rajab Pasha. Melalui kedekatannya dengan lingkaran elite, sufi tersebut leluasa menyebarkan tarekat Khalwatiyah di negeri delta Sungai Nil tersebut.

 
Khalwatiyah merupakan sebuah tarekat sufi yang dirintis Syekh Muhammad al-Khalwati.
   

Khalwatiyah merupakan sebuah tarekat sufi yang dirintis Syekh Muhammad al-Khalwati dari Khawarizm. Jalan salik ini dinamakan demikian karena mursyidnya gemar menyendiri atau berkhalwat untuk merenung. Salah satu kekhasan tarekat ini adalah ajaran yang disebut “tujuh nama” (al-Asma’ as-Sab’ah) dan sekaligus tujuh lafal zikir yang hendaknya dirutinkan.

Nama pertama adalah persaksian tauhid, yakni “Laa ilaaha illa Allah". Zikir pada level pertama ini menyasar jiwa pertama yang disebut jiwa yang selalu menyuruh pada keburukan (an-nafs al-ammarah).

Zikir-zikir lalu hadir secara bertingkat-tingkat hingga nama ketujuh, yakni al-Qahhar (Yang Mahaperkasa). Zikir pada level ini disebut menyasar jiwa yang sempurna (an-nafs al-kamilah).

Adapun tujuh tingkatan jiwa yang dipahami tarekat Khalwatiyah didasarkan pada ayat-ayat Alquran. Tingkatan jiwa pertama merujuk pada surah Yusuf ayat ke-53. Tingkatan jiwa kedua didasarkan atas surah al-Qiyamah ayat kedua. Tingkatan jiwa ketiga atas surah asy-Syams ayat ketujuh dan delapan.

Tingkatan jiwa keempat atas surah al-Fajr ayat ke-27. Tingkatan jiwa kelima dan keenam juga di surah yang sama dengan sebelumnya, yakni ayat ke-28. Sementara itu, tingkatan jiwa ketujuh yang sudah sempurna berada di atas jiwa-jiwa sebelumnya, dan tidak dinyatakan eksplisit dalam Alquran.

photo
ILUSTRASI Santri membaca kitab kuning tasawuf. ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/foc. - (ANTARA FOTO)

Karya monumental

Sayyid Musthafa al-Bakri ash-Shiddiqi menghasilkan banyak karya di sepanjang hayatnya. Yang paling masyhur di antaranya adalah Tasliyat al-Ahzan. Buah penanya ini menjelaskan macam-macam topik, termasuk cinta Illahi dan hakikat.

Pada bagian awal Tasliyat al-Ahzan, al-Bakri menukil sebuah hadis qudsi sebagai berikut. “Dulunya Aku (Allah) kekayaan terpendam yang tidak diketahui, maka Kuciptakan makhluk dan Kukenali mereka. Maka dengan kehendak-Ku, mereka mengetahui-Ku.”

Memang, banyak ulama semisal Ibnu Taimiyah, az-Zarkasyi, dan as-Suyuthi, menggarisbawahi bahwa ungkapan di atas bukanlah sebuah hadis. Bagaimanapun, al-Bakri mengatakan, isi perkataan tersebut adalah benar. Yang dimaksud dengan jalan mengenal Allah ialah cinta.

 
Yang dimaksud dengan jalan mengenal Allah ialah cinta.
   

“Sekiranya tidak ada cinta,” tulis dia, “tak akan dikenal Yang dicintai tersebut. Sekiranya tidak karena permintaan-Nya, tak akan ada yang dimintai itu. Cinta-Nya telah lebih dahulu ada, sebab itu kita mencintai-Nya. Dengan pendekatan-Nya, kita mendekatkan diri kepada-Nya. Dan dengan-Nya terkuak segenap tabir, Allah menunjukkan kepada siapa yang Dia kehendaki cahaya-Nya.”

Lebih lanjut, al-Bakri memaparkan bahwa cinta menjadikan sang pencinta lebur dalam Yang ia cintai. Maka, terciptalah ilusi bahwa telah terjadi persatuan (ittihad) antara hamba dengan Tuhannya. Yang demikian itu, menurut sufi ini, adalah keliru.

“Sebenarnya, tidak ada ittihad, juga hulul (persenyawaan), ittishal (penghubungan) dan infishal (keterputusan), meskipun kata-kata sebagian sufi mengilusikan seperti itu. Tak lain hal tersebut karena begitu sempitnya ibarat (pengungkapan), sementara tasawuf adalah ilmu isyarat,” tulisnya.

Ia pun menerangkan tingkatan-tingkatan cinta. Yang pertama adalah kedambaan (al-hawa), lalu ketergantungan (al-‘alaqah), kewajiban (al-kalaf), dan keriang-gembiraan (al-wajd). Selanjutnya, kasmaran (al-'isyq), kegandrungan (asy-syaghaf), kelimpungan (al-jawa), keberhambaan (al-tatayyum), dan berakhir pada kelinglungan yang hampir menyerupai kegilaan (al-hiyam).

 
Ada tiga macam cinta menurut al-Bakri.
   

Ada tiga macam cinta menurut al-Bakri. Pertama, memandang baik segala apa yang berasal dari sang kekasih. Bahkan, pemberian dianggapnya sebagai karunia. Tiada kekesalan yang timbul darinya.

Kedua, cinta yang tumbuh dari penglihatan Sifat-sifat dan Keindahan Allah. Itu disertai dengan ingatan (dzikr) dan penyaksian. Ketiga, cinta yang menyabet pemiliknya dari dirinya, merenggutkan nurani terdalamnya, dan bahkan memfanakan namanya. Semua itu, untuk bisa dideskripsikan, tak cukup dengan kata-kata.

Sumber Mutiara Itu Bernama Al-Hikam

Ibnu ‘Atha’illah menyajikan Al-Hikam sebagai jalan perenungan untuk Muslimin.

SELENGKAPNYA

Tiba-Tiba Mahfud Mengaku Ditawari Jadi Cawapres Anies

Mahfud mengeklaim ingin menjaga pemilu dan demokrasi.

SELENGKAPNYA

LSI Denny JA: Prabowo Menang Melawan Ganjar

Prabowo unggul lebih dari 7 persen jika head to head dengan Ganjar.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya