
Kitab
Sumber Mutiara Itu Bernama Al-Hikam
Ibnu ‘Atha’illah menyajikan Al-Hikam sebagai jalan perenungan untuk Muslimin.
Khazanah literasi dalam sejarah peradaban Islam amatlah kaya. Ada banyak cendekiawan Muslim yang menghasilkan karya-karya bermutu tinggi. Buah pena mereka terus dibaca dan dikaji dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Salah satu kitab yang monumental adalah Al-Hikam. Ini pada mulanya merupakan hasil pendiktean (imla’) yang dilakukan sang penulis, Ibnu ‘Atha’illah, kepada seorang santrinya, Taqiyyuddin as-Subki (wafat 756 Hijriyah). Guru dan murid itu sama-sama bermazhab fikih Syafii.
Belakangan, Ahmad Zarruq (wafat 899 Hijriyah) menemukan salinan hasil dikte tersebut dari seorang pakar hukum bermazhab Syafii, Syamsuddin as-Sakhawi pada 876 H di Kairo. Dari tangan guru Tarekat Syadziliyah itulah, Al-Hikam terus dipopulerkan.
Bagaikan kerang yang amat berharga, Al-Hikam mengandung mutiara-mutiara hikmah yang menakjubkan. Begitu tinggi muatan nasihat di dalamnya, sampai-sampai banyak telaah (syarh) yang dibuat para ulama mengenai kitab tersebut. Ahmad Zarruq sendiri sudah menulis 30 syarh atas Al-Hikam.
Menurut para sejarawan, kitab ini ditulis pertama kali ketika Ibnu ‘Atha’illah masih berguru pada Syekh Abu al-Abbas al-Mursi pada 674 Hijriyah. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa Al-Hikam disusun dalam rentang masa 12 tahun.
Victor Danner dalam buku Mistisisme Ibnu ‘Atha’illah menjelaskan, kata hikam yang menjadi judul karya tersebut adalah bentuk jamak dari kata bahasa Arab, hikmah, yang berarti ‘bijaksana.’
Isi Al-Hikam disusun dalam tiga bagian pokok, yakni aforisme, risalah, dan doa-doa. Ada sebanyak 262 aforisme dan 25 bab dalam keseluruhan buku tersebut.
Bagaimanapun, versi awal Al-Hikam tidak tersusun ke dalam bab-bab. Para murid Ibnu ‘Atha’illah-lah yang kemudian merasa perlu untuk merapikannya. Sebagai sebuah karya sastra, ia sangat kental dan dalam, menyimpulkan berbagai masalah dalam kehidupan dengan kalimat-kalimat yang bernas dan indah.
Tema dasar Al-Hikam adalah makrifat dan tauhid, yaitu bahwa Allah adalah Zat Yang al-Haq. Termasuk di dalamnya, petuah-petuah tentang membangun hubungan yang baik antara seorang hamba dan Rabbnya. Relasi hablum minaallah, hemat Ibnu ‘Atha’illah, hanya bisa dibina secara ideal apabila manusia mampu mengendalikan hawa nafsunya.
Berkata ia dalam Al-Hikam: “Bagaimana sebuah hati akan bercahaya, kalau gambar benda-benda masih melekat pada cermin-cerminnya? Dan bagaimana seseorang akan berjalan menuju Allah, sedang ia masih terbelenggu oleh hawa nafsunya?”

Ibnu ‘Atha’illah beberapa kali menekankan bahwa kunci habluminallah yang ideal adalah ridha-Nya. Bukan seberapa sering seorang hamba mendirikan ibadah. Bukan pula kemuliaan seseorang di hadapan orang-orang lain.
Bahkan, tidak menutup kemungkinan bahwa seorang ahli maksiat yang menyesali kelalaiannya itu lebih baik daripada sang ahli ibadah yang merasa sujud dan rukuknya adalah tiket masuk surga-Nya.
Berkata Ibnu ‘Atha’illah: “Bisa jadi Allah membukakan bagimu pintu ketaatan dan tidak membukakan bagimu pintu penerimaan. Bisa jadi Dia memberikan padamu suatu dosa dan menyebabkanmu sampai ke hadirat-Nya. Bisa jadi suatu kemaksiatan yang melahirkan kehinaan dan ketergantungan (terhadap Allah) lebih baik dari suatu ketaatan yang melahirkan kebanggaan dan kesombongan.”
Maka dari itu, sang penulis Al-Hikam mewanti-wanti pentingnya hati yang bersih dari sifat-sifat takabur dan ujub (berbangga diri). Kuncinya adalah tersingkirnya kesombongan dalam kalbu seorang hamba. Sebab, rasa cinta kepada Allah hanya bisa diperoleh melalui sikap berserah diri secara utuh tanpa paksaan, tanpa pura-pura.
“Tuhanku. Betapa lembut Engkau padaku meski besarnya kebodohanku. Tuhanku. Betapa kasih Engkau padaku meski buruknya perbuatanku. Tuhanku. Betapa dekat Engkau padaku dan betapa jauh aku dari-Mu.”
Masih banyak lagi mutiara-mutiara dan permata-permata berkilauan dalam Al-Hikam. Dengan membaca dan merenungi maknanya, insya Allah seorang Mukmin dapat lebih menyerap kekhusyukan, terutama ketika sedang memanjatkan doa dan harapan kepada-Nya. Melalui karyanya ini, Ibnu ‘Atha’illah mengajak kita untuk tidak habis-habisnya merindu kepada Allah.
Sebelum Al-Hikam, Ibnu ‘Atha’illah telah menghasilkan beberapa karya, semisal Fushush al-Hikam. Namun, kandungan kitab ini agak berbeda, berisi topik-topik falsafi yang diuraikan melalui nama-nama para nabi.
Lelaki kelahiran Iskandariah, Mesir, ini berpulang ke rahmatullah pada 13 Jumadil Akhir 709 Hijriyah atau 10 November 1309 M. Usianya “baru” mencapai 50 tahun ketika dirinya wafat.
Namun, legasinya dalam dunia kepustakaan—terutama melalui Al-Hikam—menjadikan Ibnu ‘Atha’illah terus hidup dan menginspirasi Muslimin masa kini dan mendatang.
Tiba-Tiba Mahfud Mengaku Ditawari Jadi Cawapres Anies
Mahfud mengeklaim ingin menjaga pemilu dan demokrasi.
SELENGKAPNYAPidato Kemanusiaan
Pidato ini merupakan salah satu peristiwa puncak dalam sejarah Islam.
SELENGKAPNYA