
Kabar Utama
Pendidik Jangan Jadi Predator
Kasus pencabulan oleh oknum pendidik terus bermunculan.
Oleh FEBRIANTO ADI SAPUTRO, MUHAMMAD NOOR ALVIAN
Lagi dan lagi, kasus pencabulan dan kekerasan yang dilakukan oknum pendidik terus mengemuka. Dalam sepekan belakangan saja, sejumlah kejadian dengan total puluhan korban terungkap.
Terkini, Direktorat Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda DIY kembali mengungkap kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur. Pelaku berinisial R (64 tahun) tega mencabuli 11 anak berusia 5-10 tahun.
Kabid Humas Polda DIY Kombes Nugroho Arianto mengatakan, pelaku melakukan tindakan cabulnya secara berulang sejak 2020 hingga 23 Mei 2023 di kediaman R di daerah Kalasan, Sleman. "Pelaku telah ditahan di rutan Polda DIY sejak tanggal 25 Mei 2023," kata Nugroho dalam konferensi pers Senin (5/6/2023).
Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda DIY Kombes Nuredy Irwansyah Putra mengatakan, R merupakan pensiunan pendidik di salah satu sekolah. Adapun modus R melakukan tindakan keji, yaitu dengan menjanjikan korban uang jajan Rp 2.000-Rp 10 ribu, sehingga korban mau diajak ke rumah pelaku.

"Atas kejadian tersebut, salah satu anak mengadu ke orang tuanya dan kemudian diinterogasi oleh orang tua dan anak tersebut menceritakan peristiwa yang dialaminya dan ternyata di sekeliling tempat pelaku banyak anak-anak yang mengalami peristiwa serupa dan orang tua para korban mendatangi rumah pelaku untuk meminta pertanggungjawaban dan kemudian melaporkan hal tersebut ke polda DIY," ujarnya.
Di Jawa Tengah, pihak Polres Wonogiri mengungkapkan, korban pelecehan yang dilakukan oknum guru madrasah berinisial Y (51) dan kepala sekolah M (47) ada yang masih berusia di bawah 10 tahun. Kasatreskrim Polres Wonogiri, AKP Untung Setiyahadi, mengungkapkan hal ini ketika ditemui oleh awak media, Senin (5/6/2023).
"(Kelas berapa?) Kami belum bisa menyampaikan ya, tapi kalau umur kisaran 8-12 tahun," katanya. Dari hasil pemeriksaan, M mengakui perbuatannya dan melakukan pencabulan kepada siswinya sejak awal 2023 hingga pertengahan 2023.
Sementara, Y diketahui sudah sejak 2021 lalu melakukan pencabulan terhadap siswinya. "Sesuai keterangan pelaku tersangka pertama (M) awal 2023, kemudian tersangka lainnya (Y) pada 2021," katanya.

Disinggung apakah ada korban tambahan selain 12 siswi tersebut, pihaknya mengungkapkan masih dalam proses penyelidikan. Namun, pihaknya memastikan dari laporan aduan yang diterima masih berjumlah 12 siswi.
"Untuk korban sementara masih kami dalami sampai di mana nanti berkembang, tapi untuk saat ini kami pastikan korban yang kami terima aduan masih 12 korban," ujarnya.
Di sisi lain, pihak kepolisian Kapolres Wonogiri AKBP Andi Muhammad Indra Waspada Amirullah memastikan akan mendampingi 12 korban pencabulan yang dilakukan oleh oknum guru dan kepala sekolah. "Ada pendampingan dari psikolog," katanya, Senin (5/6/2023).
Di Jawa Barat, Polres Garut mengungkap kasus pencabulan terhadap anak yang dilakukan oleh seorang guru ngaji rumahan di Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut. Diduga, korban guru rumahan yang berinisial AS (50 tahun) itu mencapai 17 orang.

Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Garut AKP Deni Nurcahyadi mengatakan, kasus itu bermula dari adanya salah satu korban yang melaporkan perbuatan guru tersebut kepada orang tuanya. Orang tua anak tersebut kemudian mengonfirmasi kepada orang tua lainnya.
"Setelah diklarifikasi, baru orang tua melaporkan kepada polisi terkait perbuatan cabul yang dilakukan oleh guru homeschooling terhadap beberapa orang anak yang diajar," kata dia saat konferensi pers, Kamis (1/6/2023).
Seusai menerima laporan pada 22 Mei 2023, polisi disebut langsung melakukan penyelidikan dan penyidikan. Alhasil, tersangka AS berhasil ditangkap di rumahnya yang berada di Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, pada Jumat (26/5/2023).
Deni mengatakan, polisi telah melakukan pemeriksaan kepada sejumlah korban. Para korban juga telah diminta melakukan visum. Berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, korban aksi guru tersebut berjumlah 17 orang, yang semuanya adalah anak laki-laki berusia 9-12 tahun.

Ia menjelaskan, tersangka melakukan aksi tersebut dengan modus mengajar di rumahnya. Ketika mengajar, tersangka membujuk rayu anak-anak itu. Selain membujuk, tersangka juga mengancam anak-anak agar mau menuruti kehendaknya.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Garut KH Sirodjul Munir mengutuk perbuatan cabul yang dilakukan guru ngaji tersebut. Menurut dia, tersangka bukanlah seorang ustaz.
"Kedua, barusan saya melihat dan bertanya kepada yang bersangkutan. Dia mengaku pernah mondok di Bayongbong, itu bohong. Dia tidak punya sanad keilmuan dalam agama," kata lelaki yang akrab disapa Ceng Munir itu.
Ceng Munir mengaku sudah aktif dalam organisasi Islam di Kabupaten Garut sejak 1990-an. Menurut dia, hampir semua ustaz di daerah itu mengenal dirinya, begitu pun sebaliknya.
Namun, ia mengaku tak kenal dengan tersangka. Tersangka pun disebut tidak mengenal dirinya. "Dia ini bukan ustaz. Dia ustaz abal-abal yang mengaku-ngaku," ujar dia.

Atas adanya kejadian itu, Ceng Munir mengimbau masyarakat untuk lebih selektif apabila hendak menitipkan anaknya. Jangan sampai masyarakat salah menitipkan anak ke ustaz abal-abal. MUI juga disebut akan terus melakukan edukasi kepada masyarakat, baik secara langsung maupun melalui organisasi Islam.
Ratusan korban
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melakukan pendataan kasus kekerasan seksual yang terjadi di wilayah satuan pendidikan yang berada di bawah kewenangan Kemendikbudristek maupun Kemenag. Dari sana didapatkan, dalam lima bulan terakhir sudah terjadi 22 kasus dengan jumlah korban mencapai 202 anak peserta didik.
"Pendataan dilakukan sejak Januari sampai dengan Mei 2023. Data menunjukkan bahwa sejak 5 bulan di tahun 2023 sudah terjadi 22 kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan dengan jumlah korban mencapai 202 anak atau peserta didik," ujar Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, lewat keterangannya, Ahad (4/6/2023).
Adapun, kata dia, pelaku kekerasan seksual adalah orang-orang yang seharusnya dihormati dan melindungi para peserta didik selama berada di satuan pendidikan. Di mana, dua kategori pelaku terbanyak terdiri atas guru sebanyak 31,80 persen serta pemilik dan atau pemimpin pondok pesantren sebanyak 18,20 persen.
"Kepala sekolah sebanyak 13,63 persen; guru ngaji, satuan pendidikan informal, sebanyak 13,63 persen; pengasuh asrama/pondok sebanyak 4,5 persen; kepala madrasah sebanyak 4,5 persen; penjaga sekolah 4,5 persen; dan lainnya 9 persen," kata dia.

Dari 22 kasus, sebanyak 50 persen terjadi di satuan pendidikan di bawah Kemendikbudristek. Menurut dia, dari 11 kasus tersebut ada satu kasus yang terjadi di luar sekolah, tapi pihak sekolah melakukan dugaan kekerasan dengan “memaksa orang tua membuat surat pengunduran diri” karena dianggap memalukan sekolah.
"Padahal anak korban siswa dari keluarga tidak mampu dan merupakan korban perkosaan delapan orang tetangganya. Kasus kekerasan seksual ini terjadi di Kabupaten Banyumas," kata Retno.
Sementara, delapan kasus atau 36,36 persen terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemenag, dan tiga kasus terjadi di lembaga pendidikan informal, yaitu tempat pengajian di lingkungan perumahan, dimana korban mencapai puluhan.
Atas dasar itu, FSGI mengeluarkan rekomendasi. Pertama, FSGI mendukung Kemendikbudristek melakukan perubahan terhadap Permendikbudristek Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan, khususnya memerinci apa saja perilaku di sekolah yang termasuk kekerasan seksual.

"FSGI mendorong Kementerian PPPA untuk terus menyosialisasi juga hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp 08111-129-129 untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami dan mendorong pembentukan sekolah-sekolah ramah anak," kata Sekjen FSGI, Heru Purnomo.
FSGI, kata Heru, juga mendorong Kemenag untuk melakukan sosialisasi dan implementasi kebijakan PMA Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di Madrasah dan Pondok Pesantren atau Satuan Pendidikan di Bawah Kewenangan Kemenag. "Mengingat kasus kekerasan seksualnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek," ujar dia.
Kasus kekerasan seksualnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan satuan pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek.
FSGI pun mendorong dinas-dinas pendidikan kabupaten/kota/provinsi dan kantor Kemenag kabupaten/kota/provinsi untuk melakukan kerja sama dengan SKPD di daerah seperti Dinas PPPA dan P2TP2A kabupaten/kota/provinsi dalam penanganan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual, mengingat guru-guru BK tidak ada di jenjang pendidikan sekolah dasar (SD).
"FSGI mendorong pemerintah daerah untuk melakukan kerja sama dengan perguruan-perguruan tinggi di wilayahnya yang memiliki Fakultas Psikologi untuk membantu pemulihan psikologi anak-anak korban kekerasan seksual, mengingat proses pemilihan psikologi anak korban kekerasan seksual umumnya membutuhkan waktu pemulihan yang cukup panjang dan harus tuntas," kata Heru.
Wajah Separuh Dunia di Isfahan
Naqsh-i Jahan merupakan taman terluas di Isfahan, Iran. Namanya secara harfiah berarti 'separuh dunia.'
SELENGKAPNYASatu Abad Lestarikan Kebudayaan Tradisional
Salah satu strateginya, adalah memasukan bahasa kekinian yang juga viral di media sosial.
SELENGKAPNYA