
Mujadid
Ragam Karya Jalaluddin Rumi
Cinta Illahiah merupakan inti pesan karya-karya Jalaluddin Rumi.
Tidak lengkap rasanya bila tidak menyertakan sosok Jalaluddin Rumi dalam membahas sastra dunia. Karya-karya sastrawan yang hidup pada abad ke-13 Masehi ini berpengaruh besar di lintas zaman. Menurut Prof Abdul Hadi WM dari Universitas Paramadina, sufi dari Konya itu telah menggubah banyak puisi.
Mengutip hasil riset AJ Arberry, penulis buku Classical Persian Literature, di sepanjang hayatnya Rumi telah menulis tidak kurang dari 34.662 bait syair. Semua itu hadir dalam pelbagai bentuk atau genre; mulai dari ghazal (sajak-sajak cinta mistikal), ruba'i (sajak-sajak empat baris dengan pola rima A-A-B-A), hingga matsnawi (karangan prosa ritmis-puitis).
Selain itu, sang mursyid yang tumbuh dalam kebudayaan Persia juga mengarang sejumlah rasa'il (esai ilmiah) dan khitabah (teks khutbah).
Mahakarya Rumi umumnya berbentuk syair-syair. Misalnya, Matsnawi Ma'nawi (sering disebut Matsnawi saja) atau Divan-Syamsi-i-Tabriz (Diwan) yang dibuat demi mengenang gurunya, Syamsi Tabrizi. Selain itu, ada pula Ruba'iyat, yaitu bunga rampai yang terdiri atas 3.318 bait puisi.
Dalam bentuk prosa, Rumi menulis Fihi Ma Fihi (Di Dalam Ada Seperti yang Di Dalam). Buku ini berisi dialog dirinya dengan para murid tentang berbagai persoalan sosial atau keagamaan. Adapun Makatib menghimpun korespondensi Rumi dengan sejumlah sahabat karib, semisal, Shalahuddin Zarkub.
Dua sahabat itu membicarakan beberapa problem praktis dalam bidang tasawuf. Majalis-i-Sab'ah berisi teks-teks khutbah yang pernah dibawakan Rumi dalam berbagai kesempatan.

Tema cinta
Cinta menjadi tema sentral dalam pemikiran Jalaluddin Rumi, sebagaimana tersirat maupun tersurat dalam karya-karyanya Itu muncul terutama setelah dirinya berinteraksi dengan sang guru makrifat, Syamsi Tabrizi. Bahkan, Abdul Hadi mengatakan, cinta adalah inti ajaran Rumi.
“Cinta muncul dalam rangka iman sehingga hasilnya adalah haqq al-yaqin, keyakinan yang tak tergoyahkan kepada Yang Haq,” kata guru besar yang juga sastrawan Indonesia itu.
Dengan cinta, manusia dapat transenden menuju Tuhan. Rumi memandang, cinta adalah pemulihan terhadap kesombongan diri. Ia adalah tabib semua kelemahan. Maulana asal Konya itu berpendapat, cinta merupakan asas penciptaan alam semesta dan kehidupan. Cintalah yang menyebabkan segala sesuatu berjalan tanpa henti menuju asalnya, Tuhan, yang sekaligus merupakan tujuannya.
Seseorang yang berhasrat pada kesejatian, yakni cinta Ilahiah, tidak akan teperdaya kepalsuan dunia. Orang itu akan meyakini, Sang Kekasih tujuannya hanya Allah SWT. Rumi menulis, “Inilah Cinta: terbang tinggi ke langit. Setiap saat mencampakkan ratusan hijab!”
Mula-mula menyangkal dunia (zuhd)
Pada akhirnya jiwa berjalan tanpa jasad
Cinta memandang dunia benda-benda telah raib
Dan tak memedulikan yang hanya tampak di mata
Ia memandang jauh ke balik dunia rupa
Menembus hakikat segala sesuatu
(Diwan--terjemahan oleh Abdul Hadi WM)
Rumi memilah antara diri yang hakikat dan yang palsu. Katanya, “Diri hakiki memancarkan keindahan Illahiah dari Sang Kekasih. Diri palsu tersemu hawa nafsu yang diibaratkan sebagai orang asing atau induk semua berhala.”
Dalam Matsnawi, Rumi mengingatkan, “Menghancurkan berhala itu mudah, namun menganggapmu dah menghancurkan hawa nafsu itu bodoh.” Bagaimanapun, Rumi tidak lupa akan realitas sekitar. Baginya, seseorang yang menempuh jalan cinta sejati tidak lantas mengabaikan kondisi sesama manusia.
Tak perlu ada pertentangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi meskipun yang belakangan lebih baik daripada yang awal. Pada titik ini, sekali lagi, gagasan-gagasan Rumi selaras dengan ajaran Islam.
Dalam Alquran surah al-An'am ayat 32 ditegaskan, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh, kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.”
Ilmu dunia dan ilmu keruhanian sama-sama bermanfaat. Oleh karena itu, keduanya harus berjalan seiring seimbang. Dalam pandangan Rumi, kehidupan duniawi merupakan laluan menuju kehidupan yang kelak. Dunia dan akhirat adalah bagian dari satu kesatuan. Masing-masing tak terpisahkan. Abdul Hadi menjelaskan, visi Rumi selalu sejalan dengan syariat.

Kehidupan sosial yang baik tak mesti berbenturan dengan nilai-nilai transendental. Rumi berpendapat, hidup adalah anugerah yang mesti diterima dengan penuh tanggung jawab. Anugerah itu datang dari Sang Pencipta. Iman kepada Allah tidak lantas membuat orang yang beriman menolak keperluan berikhtiar dan berusaha.
Dalam hal ini, Rumi bukanlah semacam petapa yang gemar menyendiri, sehingga enggan berinteraksi dengan masyarakat. Dia justru mengupayakan perbaikan kondisi mereka dan dunia Islam pada umumnya.
Ia bersenandung dalam Matsnawi.
“Jika kau percaya Tuhan, percayalah pada-Nya ketika bekerja. Tanamlah benih, kemudian barulah bertopang kepada Yang Maha Kuasa. Lebih baik bertarung dengan pedih daripada bersantai. Di jalan ini, biarlah kau tertempa dan tergosok dan ditantang terus.”
Jalan Cinta dan Sastra Rumi
Kepergian sang guru, Syamsi Tabrizi, sempat membuat Jalaluddin Rumi gundah dan bersedih.
SELENGKAPNYAPerjumpaan Rumi dan Syamsi Tabrizi
Salik nan fakir itu mengubah total hidup Jalaluddin Rumi.
SELENGKAPNYAKarier Awal Sang Sufi, Jalaluddin Rumi
Sebelum dikenal luas sebagai sufi dan penyair, Jalaluddin Rumi menekuni ilmu fikih mazhab Hanafi.
SELENGKAPNYA