
Mujadid
Perjumpaan Rumi dan Syamsi Tabrizi
Salik nan fakir itu mengubah total hidup Jalaluddin Rumi.
Jalaluddin Rumi kala berusia 37 tahun sudah menjadi seorang cendekiawan yang terhormat. Menggantikan peran ayahnya, almarhum Burhanuddin Tirmidzi, ia merupakan panutan seluruh Konya, daerah tempat tinggalnya. Orang-orang memanggilnya “Maulana”, yang berarti 'tuan guru'.
Kalangan istana, sesama fukaha, dan rakyat biasa pun memuliakan dirinya. Majelis ilmu tempatnya mengajar selalu dipenuhi hadirin. Dia juga rutin mengimami jamaah di masjid resmi negara. Bisa dikatakan, inilah momentum puncak kesuksesannya sebagai seorang pemuka agama.
Tentu saja, Rumi tidak tahu-menahu ketika Syamsuddin alias Syamsi Tabrizi tiba di Konya pada 11 Oktober 1244. Seperti tampak dari namanya, pria 60 tahun itu berasal dari Tabriz, Persia. Sebelum singgah di kota tempat Rumi berada, orang misterius ini telah mengembara dari satu negeri ke negeri lainnya.

Penampilannya cenderung urakan. Tak ubahnya seorang pengelana fakir. Namun, raut wajahnya begitu teduh. Sorot matanya juga tajam. Semua itu menandakan kedalaman berpikir dan kejernihan nurani.
Perjumpaan Rumi untuk pertama kalinya dengan Syamsi Tabrizi diceritakan dengan berbagai versi narasi. Reynold Alleyne Nicholson dalam buku Rumi: Divani Shamsi Tabriz mengutip salah satu sumber. Diceritakan, saat mendatangi Rumi, Syamsi mengenakan jubah wol hitam kusam yang menutupi kepala hingga kakinya.
Waktu itu, Rumi sedang asyik membaca buku. Tiba-tiba, sang sufi pengelana itu merebut kitab yang sedang dinikmati ulama tersebut dan melemparkannya ke kolam air. “Sekarang, engkau harus hidup dari apa yang engkau ketahui!” katanya.
Rumi terperanjat kaget dan langsung berlari untuk menyelamatkan bacaannya. Belum hilang rasa terkejutnya, ulama itu kembali diperingatkan sang lelaki misterius. Syamsi berseru bahwa teori-teori yang dicernanya dari semua buku tidak akan berarti apa-apa.

“Bila engkau menginginkannya, aku bisa mengeluarkan kitab yang tercebur itu dalam keadaan kering,” kata pria itu lagi. Rumi pun menyadari, sosok di hadapannya itu bukanlah orang biasa. Ada karisma dan kebijaksanaan yang memesona darinya di balik pakaian lusuh itu. Sejak saat itu, keduanya berkenalan dan bersahabat erat.
Rumi memandang sang darwis bak matahari yang menyinari hidupnya dalam Jalan Cinta menuju Allah, Sang Maha Cinta. Versi lain menyebutkan, Rumi pertama kali berjumpa dengan Syamsi saat berada dalam perjalanan pulang dari Madrasah Khudavandgar.
Waktu itu, sufi asal Tabriz itu tiba-tiba bertanya kepadanya, “Siapakah yang lebih agung: Rasulullah ataukah Bayazid Bistami?”
Bayazid merupakan seorang salik asal Persia yang hidup pada era Dinasti Abbasiyah. Konon, Bayazid telah mencapai level makrifat. Merespons pertanyaan itu, Rumi menjawab dengan pasti, “Tentu saja Rasulullah lebih mulia.”
“Lantas, mengapa Nabi Muhammad pernah mengatakan, 'Kami belum mengetahui Engkau (Allah) dengan cara yang seharusnya Engkau diketahui' (maa arafnaaka haqqa ma'rifatika), sedangkan Bayazid mengatakan, 'Mulialah diriku, betapa agungnya diriku'?” tanya Syamsi lagi.
Belum sampai menjawab, Rumi langsung jatuh pingsan begitu mendengar kata-kata itu. Itulah awal perkenalannya Syamsi Tabrizi. Kisah tersebut juga dimuat dalam sumber yang dikutip Afzal Iqbal.

Adapun versi berikutnya dituturkan Iqbal berdasarkan riwayat dari Daulat Shah. Pada suatu hari, Rumi sedang duduk-duduk bersama dengan sejumlah muridnya. Tak disangka, Syamsi lewat dan menyerbunya dengan pertanyaan, “Apa tujuan hikmah dan ilmu pengetahuan?”
“Tujuannya mengikuti Nabi Muhammad SAW,” jawab Rumi penuh keyakinan.
“Jawabanmu sangat biasa,” kata Syamsi lagi.
“Menurutmu, apa tujuan ilmu?” kali ini Rumi balik bertanya.
“Ilmu adalah apa yang membuatmu sampai kepada Sumber segala ilmu,” ujar Syamsi. Darwi stersebut kemudian menggumamkan syair gubahan Sanai, penyair Persia yang hidup pada abad ke-12 M: “Bodoh jauh lebih baik daripada berilmu yang tidak menjauhkanmu dari dirimu sendiri.” Mendengar itu, Rumi pun menjadi terkesima. Sejak saat itu, ulama tersebut berguru kepada Syamsi.
Ilmu adalah apa yang membuatmu sampai kepada Sumber segala ilmu.Syamsi Tabrizi
Ya, berkat mengenal Syamsi Tabrizi, kehidupan Rumi berubah total. Dari semula sosok ahli fikih dan menjabat posisi akademis menjadi seorang salik yang hatinya mudah tersentuh keindahan. Bahkan, dia memilih untuk meninggalkan seluruh aktivitasnya sebagai pengajar di kampus, padahal dirinya memiliki banyak murid dan berpengaruh besar.
Hari-hari dilaluinya bersama dengan sang darwis. Menurut sebuah riwayat, keduanya sempat menjalani rihlah 100 hari lamanya. Syamsi mengajarkan berbagai petuah bijaksana.
Pribadi Rumi bertransformasi dari seorang ahli hukum yang begitu formal menjadi seorang penggubah sajak-sajak cinta illahiah, “pemabuk” katarsis sastrawi. Interaksinya dengan sang darwis yang faqir itu telah membangkitkan bakat terpendamnya hingga menjadi penyair terkemuka, dengan karya-karya yang melintasi ruang dan waktu.
Karier Awal Sang Sufi, Jalaluddin Rumi
Sebelum dikenal luas sebagai sufi dan penyair, Jalaluddin Rumi menekuni ilmu fikih mazhab Hanafi.
SELENGKAPNYAMuhammadiyah-NU Menggagas Kepemimpinan Moral
NU-Muhammadiyah mendorong pentingnya kepemimpinan moral menjelang Pemilu 2024.
SELENGKAPNYA