
Mujadid
Jalan Cinta dan Sastra Rumi
Kepergian sang guru, Syamsi Tabrizi, sempat membuat Jalaluddin Rumi gundah dan bersedih.
Dengan kehadiran Syamsi Tabrizi di hidupnya, Jalaluddin Rumi menjadi seorang sufi dalam arti sepenuhnya. Dia selalu mendampingi gurunya tersebut di manapun berada. Keadaan itu berlangsung kira-kira 16 bulan lamanya, sampai kejadian yang tidak disangka-sangka.
Seperti diceritakan William C Chittick dalam buku The Sufi Path of Love, pada suatu hari SyamsiTabrizi itu tiba-tiba meninggalkan Konya, kota tempat Rumi tinggal. Tentu saja, sang murid bertanya-tanya dan mencari gurunya itu ke mana-mana. Namun, upayanya tak kunjung berhasil.
Rumi pun dilanda kegundahan hati. Kepergian Syamsi dari kota itu memang didahului kecemburuan para murid Rumi yang tidak menyukai kehadirannya. Mereka merasa, sejak adanya mursyid tersebut, perhatian guru mereka menjadi berkurang drastis.

Awalnya, Rumi tidak mengetahui sama sekali, ke mana sang guru sekaligus sahabatnya itu pergi. Begitu mendengar kabar keberadaan Syamsi Tabrizi di Damaskus, dia pun segera mengutus anaknya, Sultan Walad, untuk meminta agar dirinya bersedia kembali ke Konya. Padahal, putranya itu juga menyimpan kekesalan yang sama dengan para murid Rumi. Bagaimanapun, Walad melaksanakan amanah dari sang ayah dengan baik.
Akhirnya, Syamsi berkenan datang lagi ke Konya. Annemarie Schimmel dalam buku Mystical Dimensions of Islam mendeskripsikan pertemuan ini. Rumi dan Syamsi diceritakan saling berpelukan dan bersimpuh pada kaki satu sama lain. Sampai-sampai orang yang menyaksikan mereka tidak bisa lagi menyebut, yang mana kekasih dan mana pula yang terkasih.
Kebahagiaan ini tak bertahan lama. Sebab, lagi-lagi para murid Rumi tak dapat membendung rasa dengki. Kali ini, mereka berkomplot dengan seorang anak Rumi, Alauddin, untuk menjerumuskan Syamsi ke dalam marabahaya. Harapan mereka, tak ada lagi alasan untuk mursyid tersebut kembali ke Konya.
Suatu malam, mereka menyampaikan kepada Syamsi Tabrizi bahwa darwis gaek itu mesti keluar dari kediaman Rumi. Setelah itu, Syamsi ditusuk orang-orang ini sampai meninggal dunia. Jasadnya kemudian dibuang ke dalam sumur terdekat. Keesokan harinya, Rumi mencari-cari, ke mana guru sekaligus sahabatnya itu pergi.
Walad pun mencoba untuk menenangkan ayahnya. Tanpa sepengetahuan bapaknya, pada hari berikutnya dia mengangkat jenazah Syamsi dari dalam sumur. Kemudian, jasad itu dikuburkannya secara terburu-buru demi menghilangkan jejak pembunuhan. Sementara itu, Rumi dari waktu ke waktu terus merindukan kepulangan sang darwis. Tentunya, ini menjadi penantian yang sia-sia.

Karya monumental
Siapa sangka, kepiluan yang dirasakan lantas mengubah dirinya menjadi pencinta sejati. Cintanya tak lagi semata-mata tertuju pada sang guru spiritual, tetapi kini mewujud cinta transendental, cinta Illahiah. Setelah sempat pergi dari Konya, Rumi pun kembali lagi ke kota tersebut.
Kali ini, semangatnya tercurah untuk mengajarkan ilmu tasawuf kepada murid-muridnya. Dia membentuk komunitas tasawuf yang di kemudian hari masyhur sebagai Kaum Mevlevi.
Nama itu merujuk pada panggilan dirinya oleh para pengikut nya, Maulana. Mengutip pandangan Prof Abdul Hadi WM dalam “Pesan Profetik Matsnawi: Karya Agung Jalaluddin Rumi”, sejak saat itu Rumi bukan hanya masyhur sebagai guru keruhanian, tetapi juga sastrawan agung di seantero dunia Islam.

Dalam masa itu, Rumi menghasilkan berbagai gubahan liris-puitis tentang berbagai ekspresi jiwa, seperti cinta, rasa rindu, kebahagiaan, dan putus asa. Masyarakat Konya kian menaruh respek terhadapnya.
Menurut Schimmel, tak lama sesudah itu Rumi juga bersahabat dekat dengan pengganti Burhanuddin Muhaqqiq, yakni Shalahuddin Zarkub. Bahkan, dia lantas menjadi bapak mertua bagi anak perempuan Zarkub—yang menjadi istri Sultan Walad.
Seiring waktu, Zarkub pun wafat. Posisinya digantikan oleh Husamuddin Chelebi. Meskipun berstatus murid, Chelebi dianggap Rumi sebagai seorang sahabat karib. Schimmel mengatakan, karya besar Rumi, Matsnawi, mengambil inspirasi darinya.
Suatu ketika, Chelebi meminta sang guru agar menggubah syair-syair tertentu agar para pengikutnya tidak semata-mata menyanyikan gubahan tasawuf karya Sanai atau Attar. Permintaan inilah yang mendorong Rumi berkarya.
Matsnawi ditulis sang sufi dalam bahasa Persia. Penulisannya dimulai setidaknya sejak tahun 1260 hingga 1273. Oleh Rumi, Chelebi diharuskan menuliskan kata-kata indah yang terucap dari lisannya. Kapan pun inspirasi datang, tugas itu mesti dikerjakan sang murid. Sekalipun sang Maulana sedang berjalan kaki ke pasar atau bahkan mandi, misalnya, Chelebi mesti sigap mencatat.
Perjumpaan Rumi dan Syamsi Tabrizi
Salik nan fakir itu mengubah total hidup Jalaluddin Rumi.
SELENGKAPNYAKarier Awal Sang Sufi, Jalaluddin Rumi
Sebelum dikenal luas sebagai sufi dan penyair, Jalaluddin Rumi menekuni ilmu fikih mazhab Hanafi.
SELENGKAPNYA