
Tuntunan
Mereka yang tak Wajib Berangkat Haji
Setiap Muslim harus bertekad dan bersungguh-sungguh memenuhi seluruh rukun Islam mereka.
Dari lima rukun Islam dan ibadah-ibadah yang disyariat Allah SWT, hanya hajilah yang yang pensyariatannya diikuti kata istitha'ah (mampu). Artinya, gugurlah kewajiban melaksanakan haji tersebut kalau tidak ada istitha'ah.
Firman Allah SWT, "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah" (QS Ali Imran [3]: 97).
Para ulama telah mendefinisikan istitha'ah dan mengejawantahkannya dalam beberapa kriteria. Mereka yang layak memikul istitha'ah untuk berangkat haji harus memenuhi beberapa persyaratan dan kriteria. Jika tak terpenuhi persyaratannya, gugurlah kewajiban haji bagi dirinya.

Syekh Abdul Azhim Badawi dalam kitabnya al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz menerangkan, istitha'ah untuk mengadakan perjalanan ke Baitullah terwujud dengan beberapa syarat.
Pertama, sehat secara jasmani. Jika orang itu tidak sehat dan tidak mampu melakukan perjalanan jauh, gugurlah kewajiban haji baginya. Terkecuali, ia punya harapan sehat dan bisa sehat pada kemudian hari. Maka istitha'ah akan ada baginya setelah ia sehat.
Hal ini berdalil dengan hadis Abdullah bin Abbas RA yang mengisahkan seorang wanita dari Khats'am bertanya kepada Rasulullah SAW.
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku telah diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji saat dia telah tua renta. Tetapi, dia tidak mampu untuk tetap bertahan di atas kendaraan, apakah aku melaksanakan haji untuk mewakilinya?" tanya wanita tersebut. Beliau SAW menjawab, "Lakukankah haji untuk (mewakili)-nya" (HR Bukhari Muslim).
Syarat kedua, adanya bekal yang cukup untuk berangkat ke Tanah Suci. Syarat ini mencakup cukupnya bekal untuk mengadakan perjalanan pulang pergi serta bekal bagi keluarga yang ditinggalkan. Jika hanya cukup untuk dirinya yang akan berangkat, sementara keluarga yang nafkahnya masih dalam pertanggungannya tidak tercukupi, gugurlah kewajiban haji baginya.
Hal ini berdalil dengan hadis Rasulullah SAW yang mengatakan, "Cukuplah dosa bagi seseorang (tatkala) dia menyia-nyiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya" (HR Nasa'i dan Hakim).
Sebenarnya istitha'ah dalam hal finansial bisa disiasati dengan menabung. Jika seseorang bisa mencicil kendaraan, seperti motor dan mobil, tentulah ia juga bisa menabung untuk berangkat ke Tanah Suci.
Misalnya, cicilan motor Rp 800 ribu setiap bulannya. Dalam kurun empat tahun saja, ia sudah bisa mengumpulkan dana Rp 33,6 juta. Demikian dengan kalkulasi orang yang mencicil mobil Rp 3 juta per bulan. Dalam setahun saja ia bisa mengumpulkan dana Rp 36 juta. Jika untuk membeli kendaraan saja mereka sanggup, pastilah mereka juga sanggup mencicil ONH sebesar Rp 35 juta.
Dalam kaidah fikih ditegaskan, sesuatu yang wajib harus mendapatkan prioritas dari yang sunah. Jika kebutuhan sekunder, seperti kendaraan bahkan gaya hidup adalah kebutuhan tambahan yang bisa dipenuhi, tentu kebutuhan wajib yang menjadi pilar rukun Islam, yakni haji harus terpenuhi pula.
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.QS ALBAQARAH: 286
Mufti Arab Saudi Syekh Utsaimin menegaskan, setiap Muslim harus bertekad dan bersungguh-sungguh memenuhi seluruh rukun Islam mereka, jika mereka ingin tergolong dan tercatat sebagai umat Islam. Salah satunya adalah haji ke Baitullah. Alasan istitha'ah dalam hal finansial haruslah disiasati dengan menabung, walau memakan waktu berpuluh tahun.
Kendati demikian, Syekh Utsaimin juga tidak memperbolehkan jamaah haji yang akan berangkat haji dengan cara mengutang. Jika memang secara finansial belum mampu, tidak boleh pula dipaksakan. Firman Allah SWT, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" (QS al-Baqarah [2]: 286).
Syarat ketiga, terjaminnya keamanan dalam perjalanan dan tempat lokasi yang dituju. Misalnya, salah satu tempat manasik, seperti Mina, Muzdalifah, atau Arafah dikabarkan tidak aman yang mengancam jiwa jamaah haji. Maka gugurlah kewajiban haji baginya pada tahun tersebut selama masih belum dalam kondisi aman.
Hal ini berdalil dengan kaidah fikih yang menyebutkan, la dharara wala dirara (tidak boleh ada faktor memudharatkan dan dimudharatkan). Kaidah juga menegaskan, segala faktor yang menimbulkan terjadinya kemudharatan harus dihindari. Hal demikian bila kadarnya sampai mengancam jiwa dan keselamatan jamaah haji.

Syekh Badawi mengatakan, jika ketiga syarat ini sudah terpenuhi, seorang laki-laki sudah bisa dikatakan istitha'ah. Adapun bagi perempuan, sebagian ulama mensyaratkan harus ada pendamping dengan mahram. Kaum wanita tidak boleh melakukan safar (perjalanan jauh) seorang diri. Namun, sebahagian ulama lainnya menyebutkan, berangkatnya jamaah haji dalam rombongan sudah menggugurkan syarat mahram bagi wanita.
Pengarang kitab Fat-hul Mu'in, Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani, mendefinisikan istitha'ah menyepakati tiga kriteria yang disyaratkan Syekh Badawi. Jika salah satunya hilang, taklif (beban) berangkat haji pun hilang. Di samping itu, menurut Syekh Zainuddin, seorang yang telah cukup syarat-syarat istitha'ah pada dirinya harus membekali diri dengan pengetahuan manasik haji.
Adapun orang yang punya kemampuan namun tidak juga melaksanakan ibadah haji tanpa ada uzur atau alasan syar'i, tahzir (peringatan) bagi mereka sangatlah keras. Mengingat haji adalah rukun Islam, seorang mukalaf yang tidak melaksanakan haji tidak bisa dikatakan telah sempurna keislamannya.
Allah SWT menyindir orang yang tak mau berangkat haji dalam Alquran, "Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam" (QS Ali Imran [3]: 97).
Maksudnya, Allah berlepas diri dari mereka. Kebaikan dan amal saleh yang dilakukannya tak dipandang di sisi Allah SWT. Ibaratnya, mereka tak dianggap lagi sebagai bagian dari umat Islam.
Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.QS ALI IMRAN:97
Umar bin Khattab RA menegaskan, siapa yang punya kemampuan tapi tidak mau menunaikan haji, sama saja dia ingin mati sebagai orang Yahudi atau Nasrani. Yang demikian karena ia belum menyempurnakan rukun Islam, padahal dia ada kemampuan. Sebagaimana diketahui, suatu ibadah dipandang tidak sah jika rukunnya tidak sempurna.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya (2/85) meriwayatkan, Umar bin Khatab bahkan ingin mengutus petugas ke berbagai penjuru negeri untuk memeriksa kaum Muslimin. Siapa di antara mereka yang memiliki istitha'ah tetapi enggan berangkat haji, mereka diancam untuk membayar fidyah. Umar bin Khatab bahkan menyebut orang-orang tersebut sebagai kalangan yang bukan lagi dari kaum Muslimin.
Karena urgensi dari kewajiban haji ini pulalah, khusus ibadah haji boleh dibadal (digantikan) oleh orang lain. Misalkan, seorang yang berniat berangkat haji tetapi maut terlebih dahulu menjemputnya.
Ahli waris atau orang yang dekat dengannya boleh membadalkan hajinya. Istilah badal dalam ibadah seperti ini tidak ditemui dalam ibadah-ibadah yang lain, terkecuali haji. Wallahu a'lam.
KH Muhammad Ali Alhamidi, Ulama Betawi yang Modernis
KH Muhammad Ali Alhamidi dikenang sebagai tokoh Persatuan Islam di Jakarta.
SELENGKAPNYATitik Kritis Kehalalan Dimsum
Jika siomay menggunakan daging yang berasal dari hewan laut, bisa dipastikan halal.
SELENGKAPNYAMenag Ingatkan Jamaah Jangan Bawa Atribut Politik
Jamaah juga dilarang membawa segala bentuk jimat karena bisa terkena pasal syirik.
SELENGKAPNYA