KH Muhammad Ali Alhamidi Matraman | DOK NU

Mujadid

KH Muhammad Ali Alhamidi, Ulama Betawi yang Modernis

KH Muhammad Ali Alhamidi dikenang sebagai tokoh Persatuan Islam di Jakarta.

Tanah Betawi telah melahirkan banyak ulama besar dan sekaligus pejuang. Sejarah mencatat nama-nama, seperti KH Noer Ali, Guru Mansur, dan Guru Amin. Namun, ada seorang lagi alim dari Jakarta yang juga berperan besar walaupun, mungkin, sosoknya belum dikenal luas. Dialah KH Muhammad Ali Alhamidi.

Tokoh ini juga akrab disapa Kiai Ali Alhamidi Matraman. Sebutan di belakang namanya itu dinisbatkan pada nama jalan tempat tinggalnya, Jalan Matraman Dalam I Nomor 56. Area itu kini termasuk dalam wilayah Pegangsaan, Menteng, Kota Jakarta Pusat.

KH Muhammad Ali Alhamidi merupakan figur yang cukup unik. Secara genealogis, dirinya tumbuh besar di tengah kalangan tradisionalis Muslim Betawi. Namun, pengalaman dan corak pemikirannya amat dipengaruhi gagasan modernisme Islam. Hal itu terutama melalui pengaruh guru dan sekaligus sahabatnya, Syekh Ahmad Surkati.

 
Kiai Ali Alhamidi adalah tokoh pertama di Betawi yang memprakarsai penyelenggaraan shalat Idul Fitri di tanah lapang.
   

Sebagai ulama yang berpahaman modernis, Kiai Ali Alhamidi adalah tokoh pertama di Betawi yang memprakarsai penyelenggaraan shalat Idul Fitri di tanah lapang. Ini pun direalisasikan pada masa genting, Agresi Militer II yang dilakukan Belanda atas Jakarta. Pelaksanaan shalat Id yang digelar di Lapangan Banteng itu pun dalam pengawasan mobil-mobil panser NICA—entitas yang hendak mengukuhkan lagi penjajahan di Indonesia. Dalam kesempatan itu, sang kiai bertindak selaku khatib.

Seperti dinukil dari buku Database Orang Betawi, disebutkan bahwa KH Muhammad Ali Alhamidi lahir di Kwitang, Jakarta Pusat, pada 20 September 1909. Ia menghabiskan masa kecilnya di kampung halamannya itu hingga berpindah ke Matraman. Sejak masa remaja hingga dewasa, dirinya sering berdakwah di wilayah Tanjung Priok dan Pekojan, Jakarta Barat.

Keluarganya berasal dari Bogor, Jawa Barat. Ia termasuk salah seorang pemuda Betawi yang beruntung pada zamannya. Sebab, Ali Alhamidi bisa mengenyam pendidikan formal sehingga piawai membaca dan menulis.

Madrasah Unwanul Falah, yang diasuh Habib Ali al-Habsyi, menjadi tempatnya menimba ilmu. Gurunya tersebut dikenal sebagai pusat keilmuan para ulama di Jakarta. Namanya lebih populer dengan sebutan Habib Ali Kwitang.

photo
Syekh Ahmad Surkati - (dok persis)

Di samping itu, Ali Alhamidi juga belajar pada Syekh Ahmad Surkati, seorang guru asal negeri Sudan. Sang syekh didatangkan oleh Jamiat Kheir untuk mengajar di sekolah milik organisasi tersebut. Lokasi lembaga ini berada di Kampung Arab Pekojan, Jakarta.

Sekolah Jamiat Kheir telah beroperasi sejak tahun 1901. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 1905, institusi tersebut mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah kolonial Belanda. Dari Pekojan, Jamiat Kheir lalu membuka cabang di Tanah Abang.

Kiai Ali Alhamidi senang mendengarkan nasihat-nasihat Syekh Ahmad Surkati. Pelajaran yang disampaikannya di Madrasah Jamiat Kheir tak pernah terlewati. Dari kekaguman itulah, pemuda tersebut mulai terpengaruh untuk turut menggelorakan pemikiran modernisme Islam. Pada akhirnya, ia pun dikenal di Batavia—nama Jakarta pada era kolonial Belanda—sebagai “Mubaligh Kaum Muda.”

Ahmad Surkati termasuk perintis organisasi al-Irsyad al-Islamiyyah. Alim dari Sudan ini dikenal pula sebagai ulama pembaharu. Di antara rekan-rekan seperjuangannya adalah Ustaz A Hassan, guru utama Persatuan Islam (Persis).

Ali Alhamidi pun berkenalan dan akhirnya bersahabat erat dengan A Hassan. Ia kagum pada alim yang berdomisili di Bandung itu karena sangat produktif berkarya. Berangkat dari persahabatan itu, Ali pun turut aktif membesarkan Persis, khususnya di daerah Betawi.

photo
Persatuan Islam (Persis) - (DOK PERSIS)

Ustaz Artawijaya menjelaskan, Kiai Ali Alhamidi sejak terlibat dalam Persis kian masyhur sebagai “Mubaligh Kaum Muda.” Kemudian, sang kiai sering berdakwah di Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Ketua Divisi Kajian Aliran Pemikiran dan Keagamaan Dewan Tafkir PP Persis itu melanjutkan, pada 1931 Kiai Ali Alhamidi membuka majelis taklim. Bersama pamannya, Tuan Abdurrahman, ia pun mendirikan Madrasah at-Tarbiyatul Islamiyah. Lokasi institusi pendidikan Islam itu berada di rumah sang paman, yang terletak di Gang V, Tanjung Priok.

Daerah di Jakarta utara tersebut, pada masa itu, sudah menjadi pusat syiar Islam “Kaum Tua” yang terkenal. Mereka umumnya dimaknai sebagai kaum Wahhabi. Tidak jarang, dakwah yang dilakukan Kiai Ali Alhamidi memunculkan perdebatan dengan mereka, terutama seputar permasalahan khilafiyah.

Namun, permasalahan yang muncul segera teratasi tanpa konflik berlarut-larut. Sebab, duduk perkara yang menjadi pangkal perselisihan diselesaikan oleh kedua belah pihak dengan jalan dialog.

Lambat laun, aktivis dakwah dari golongan Kaum Muda mulai dapat diterima masyarakat Betawi, termasuk penduduk Tanjung Priok.

photo
Para tokoh Persatuan Islam (Persis) pada masa-masa awal. Sosok yang duduk kedua dari kiri ialah Ustaz A Hassan. - (DOK WIKIPEDIA)

Guru utama Persis, A Hassan, menjadi sumber pemantik maraknya kegiatan dakwah di Tanjung Priok. Ia pun secara khusus sering didatangkan dari Bandung untuk menjadi narasumber kegiatan-kegiatan Madrasah at-Tarbiyatul Islamiyyah di Gang V.

Dari situlah, ide mencuat untuk mendirikan cabang organisasi Persis di Tanjung Priok pada 1930-an. Pada awal berdirinya, cabang tersebut diketuai oleh KH Muhammad Thahary. Adapun KH Muhammad Ali Alhamidi bertindak sebagai ketua dewan penasihat.

Pada saat terjadi perdebatan antara A Hassan dengan tokoh-tokoh Ahmadiyah di Gang Paseban, Batavia, pada 1934, Kiai Ali Alhamidi turut menyaksikan. Ia datang ke sana bersama para muridnya datang dengan menggunakan delman.

Sejak saat itu, hubungan kedua ulama yang sama-sama tersentuh oleh magnet pembaharuan yang dibawa oleh Ahmad Surkati tersebut semakin akrab. Bahkan, setiap kunjungan dakwahnya di Betawi, kediaman Kiai Ali Alhamidi di Kampung Matraman kerap menjadi tempat singgah A Hassan.

Karena keahliannya dalam menulis kaligrafi Arab, Kiai Ali Alhamidi lalu diminta A Hassan untuk datang ke Bandung. Ia diminta menjadi penulis khat tetap untuk Majalah al-Lisaan, yang kantor redaksinya terletak di Jalan Lengkong Nomor 90.

Kiai Ali Alhamidi ketika itu baru saja menikah. Karena pekerjaan tersebut, sejak 1937 ia pun mulai tinggal di Bandung. Di samping bekerja membuat kaligrafi, dirinya juga turut dalam syiar Islam di tengah masyarakat setempat. A Hassan juga memintanya untuk menakhodai rubrik An-Nisaa di majalah tersebut serta mengajar di Pesantren Persis Bandung.

Saat A Hassan menulis Tafsir Al-Furqan, At-Tauhid, dan Panduan Membaca Huruf Hijaiyyah, Kiai Ali Alhamidi ikut menjadi pembuat khat Arab pada masing-masing karya tersebut.

Lambat laun, karya-karya kaligrafi Kiai Ali tersebar di mana-mana. Namanya pun semakin dikenal publik luas di Bandung.

 

 
Ia (KH Ali Alhamidi) salah satu maestro Indonesia dalam bidang ini (kaligrafi).
   

“Ia (KH Ali Alhamidi) salah satu maestro Indonesia dalam bidang ini (kaligrafi) pada masanya. Tafsir Al-Furqan karya A Hassan, khat-nya itu ditulis beliau,” kata Ustaz Artawijaya saat dihubungi Republika, Rabu (24/5/2023).

Selain dikenal sebagai penulis khat, Kiai Ali Alhamidi juga sebagai seorang ulama yang melestarikan budaya penulisan Arab pegon atau aksara Jawi. “Di antara perannya yang sangat menonjol adalah memasyarakatkan tulisan Arab Pegon atau Arab Melayu ke masyarakat dengan berbagai karyanya. Beliau juga dikenal sebagai ulama yang pertama kali mempelopori shalat hari raya di tanah lapang di Jakarta pada masa penjajahan,” jelas Ustaz Artawijaya.

Kiai Ali Alhamidi juga pernah ikut menemani A Hassan mendirikan Pesantren Persis di kota Bangil di Jawa Timur. Namun, di tengah perjalanan dirinya terpaksa kembali ke kampung halamannya. Waktu itu, masa pendudukan Jepang. Pondok pesantren milik Persis cabang Bangil itu lantas ditutup paksa oleh bala tentara Nippon.

Sebab, seluruh kiai dan santri setempat menolak aturan wajib saikerei, yakni ritual membungkuk ke arah timur sebagai simbol penghormatan pada Dewa Matahari. Kembali ke Betawi, Kiai Ali Alhamidi pun melanjutkan aktivitas dakwahnya.

Menag Ingatkan Jamaah Jangan Bawa Atribut Politik

Jamaah juga dilarang membawa segala bentuk jimat karena bisa terkena pasal syirik.

SELENGKAPNYA

Samarkand, Sang Permata dari Timur

Samarkand adalah salah satu kota pusat peradaban Islam yang gemilang dalam sejarah.

SELENGKAPNYA

Pesona Sejarah di Istana Topkapi

Istana Topkapi memiliki luas sekitar 700 ribu meter persegi, dikelilingi benteng sepanjang 5 km.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya