Umat muslim dari berbagai negara berada di pelataran Jabal Rahmah di Mekkah, Arab Saudi, Senin (1/5/2023). | Republika/Prayogi

Internasional

Cuaca Ekstrem Ancam Timur Tengah

Lebih dari 2 juta orang meninggal akibat cuaca ekstrem setengah abad belakangan.

ABU DHABI -- Cuaca ekstrem kian sering melanda berbagai wilayah di muka Bumi belakangan. Kenaikan suhu global disebut memicu hal tersebut dan mengancam kelayakhunian sejumlah negara. 

Negara-negara di seluruh wilayah Teluk dan Timur Tengah sangat rentan terhadap panas ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim. Populasi yang lebih miskin menjadi sangat berisiko dalam beberapa dekade ke depan.

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature Sustainability melihat cara negara-negara terpapar panas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Suhu tahunan rata-rata mencapai 29 derajat Celcius atau lebih tinggi.

Studi tersebut mengevaluasi paparan dalam dua skenario pada 2070, yaitu jika suhu global naik 1,5 derajat celcius atau 2,7 derajat celcius. Dalam skenario populasi global 9,5 miliar orang dan suhu global naik 2,7 derajat celcius pada saat itu, Qatar akan membuat seluruh penduduknya terkena panas ekstrem, diikuti oleh Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain dengan hampir seluruh populasinya terpapar, studi tersebut menemukan.

photo
Suasana Kota Dubai terlihat dari gedung Burj Khalifa, Kota Dubai, Uni Emirat Arab, Senin (14/3/2022). - (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)

Kuwait dan Oman akan memiliki lebih dari 80 persen populasi mereka terpapar, diikuti oleh Arab Saudi dengan lebih dari 60 persen, dan Yaman dengan sekitar setengahnya. Saudi dan UEA mungkin menghadapi situasi yang mengerikan dalam skenario kenaikan suhu manapun karena mayoritas populasi mereka diproyeksikan akan terpapar panas ekstrem bahkan jika suhu global naik 1,5 derajat celcius.

Salah satu penulis utama studi yang rilis pada awal pekan ini Tim Lenton mengatakan, Timur Tengah adalah wilayah yang sudah panas dan  diperkirakan akan menghadapi panas ekstrem yang meluas di masa depan. “Ini akan menimbulkan tantangan kelayakhunian untuk mengatasi panas ekstrem secara fisiologis, memproduksi makanan, mencari sumber air, dan bekerja di luar," kata Tim Lenton.

Tantangan-tantangan tersebut, menurut profesor perubahan iklim di  University of Exeter, sudah ada sebelumnya. Dengan kondisi itu seharusnya strategi adaptasi setidaknya sebagian sudah ada.

Meskipun bernasib relatif lebih baik, negara-negara lain di Timur Tengah juga tidak sepenuhnya aman. Diperkirakan negara lainnya akan mengalami beberapa tingkat panas rata-rata yang tinggi.

Ancaman Krisis Iklim - (Republika)  ​

Contoh saja Iran yang lebih dingin dalam peta keterpaparan. Hanya saja negara ini masih diperkirakan memiliki hampir empat juta orang yang rentan terpapar panas ekstrem.

Pekan lalu, Organisasi Meteorologi Dunia mengatakan, lima tahun ke depan akan menjadi periode terpanas yang pernah tercatat.  Untuk pertama kali suhu global sekarang kemungkinan besar akan melebihi 1,5C derajat celcius dari pemanasan hingga 2027.

Lenton menyatakan, seberapa kaya suatu negara dapat berperan dalam seberapa rentannya negara itu. Populasi yang lebih miskin akan menghadapi risiko yang lebih besar.

Orang tua dan kelompok sangat muda, serta perempuan hamil dan orang yang sakit menjadi sangat rentan. “Jadi, negara-negara miskinlah yang cenderung memunculkan risiko terbesar. Namun orang kaya tidak dapat sepenuhnya mengisolasi diri mereka dari dampak panas ekstrem bahkan jika mereka memiliki [dan] kendaraan ber-AC," kata Lenton.

photo
Seorang petani setempat memanen padi secara paksa akibat kemarau panjang, di Banda Aceh, Indonesia, 24 April 2023. Petani Aceh menderita kerugian besar akibat kemarau panjang akibat kondisi cuaca ekstrim dan perubahan cuaca yang tidak bisa diprediksi. - ( EPA-EFE/HOTLI SIMANJUNTAK)

Profesor pembangunan berkelanjutan di Hamad Bin Khalifa University Qatar Muammer Koc setuju dengan temuan penelitian Lenton. Dia mengatakan, seperti banyak tempat lain di seluruh dunia, Timur Tengah juga dapat mengalami peningkatan suhu, panas, kelembapan, dan laut yang akan memperburuk kondisi kehidupan.

Kondisi yang memburuk itu membuat daerah tertentu, termasuk bagian Timur Tengah, tidak dapat ditinggali selama beberapa bulan dalam setahun. “Dampak seperti itu diperkirakan akan menyebabkan bencana lebih lanjut, kerusakan dan risiko pada infrastruktur seperti jalan raya, rel kereta api, jaringan pasokan air dan listrik serta peningkatan beban dan akses terbatas pada fasilitas kesehatan,” kata Koc. 

Bunuh 2 juta orang

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengatakan, lebih dari 2 juta orang di dunia tewas akibat cuaca ekstrem dan peristiwa terkait iklim dalam 50 tahun terakhir. Bencana iklim selama setengah abad terakhir juga telah menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 4,3 triliun dolar AS.

Dalam siaran persnya pada Senin (22/5/2023), WMO mengungkapkan, sejak 1970 hingga 2021, terdapat 11.779 kejadian terkait cuaca, iklim, dan air. Dari 2 juta kematian yang tercatat akibat peristiwa-peristiwa iklim itu, 90 persen lebih berasal dari negara-negara berkembang.

Dampak ekonomi yang timbul dari bencana iklim juga paling dirasakan oleh negara-negara tersebut. “Masyarakat yang paling rentan sayangnya menanggung beban cuaca, iklim, dan bahaya terkait air,” kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas, dikutip Anadolu Agency.

photo
Seorang wanita dan anak-anak Somalia menunggu untuk diberi tempat tinggal di sebuah kamp pengungsi di pinggiran Dollow, Somalia pada Selasa, 20 September 2022. Sebuah laporan baru menyebutkan sekitar 43.000 orang tewas akibat kekeringan terpanjang dalam sejarah di Somalia tahun lalu dan setengah dari mereka kemungkinan besar adalah anak-anak. - ( AP Photo/Jerome Delay)

Dari kerugian sebesar 4,3 triliun dolar AS yang tercatat akibat bencana atau peristiwa iklim selama 50 tahun terakhir, Amerika Serikat memikul 1,7 triliun dolar di antaranya atau setara 39 persen. Kendati demikian, WMO menyebut, negara-negara berkembang dan kepulauan kecil tetap yang paling terimbas perekonomiannya akibat bencana iklim. Hal itu mengingat ukuran ekonomi mereka.

Menurut WMO, kerugian ekonomi meningkat dengan badai sebagai penyebab utamanya. “Suhu ekstrem adalah penyebab utama kematian yang dilaporkan dan banjir adalah penyebab utama kerugian ekonomi,” ungkapnya.

Sementara terkait kematian, WMO menjelaskan, pengembangan sistem peringatan dini telah memangkas jumlah korban tewas akibat bencana atau peristiwa iklim selama 50 tahun terakhir. Terkait hal itu, Petteri Taalas menyinggung tentang topan Mocha yang menerjang Bangladesh dan Myanmar belum lama ini.

"Badai siklon Mocha yang sangat parah mencontohkan hal ini. Mocha menyebabkan kehancuran yang meluas di Myanmar dan Bangladesh, berdampak pada orang-orang termiskin dari yang miskin,” kata Taalas.

Sinyal Perubahan Iklim - (Republika)  ​

Dia mengungkapkan, sebelum ada pengembangan teknologi serta sistem peringatan dini, badai seperti Mocha dapat menyebabkan puluhan bahkan ratusan ribu orang di Myanmar dan Bangladesh tewas. “Berkat peringatan dini dan penanggulangan bencana, tingkat kematian yang parah ini sekarang untungnya menjadi sejarah. Peringatan dini menyelamatkan nyawa,” ucapnya.

Temuan WMO terkait kematian dan kerugian finansial akibat bencana iklim selama 50 tahun terakhir disusun sebagai pemutakhiran atas Atlas of Mortality and Economic Losses from Weather, Climate, and Water Extremes. Pada awalnya, atlas tersebut hanya mencakup data dari 1970 hingga 2019.

WMO merilis temuan terbarunya menjelang penyelenggaraan Kongres Meteorologi Dunia yang dihelat setiap empat tahun. Lewat kongres tersebut, WMO ingin memastikan bahwa layanan peringatan dini menjangkau semua orang di bumi pada akhir 2027.

Prediksi Suram Suhu Terpanas Dunia

Para ahli menekankan lonjakan suhu global akan terjadi dalam lima tahun ke depan.

SELENGKAPNYA

Panas Ekstrem Capai Singapura

Gelombang panas Asia terus menjalar.

SELENGKAPNYA

Cuaca Panas dan Serba-serbi Hidrasi

Hindari konsumsi minuman dingin manis atau minuman dingin dengan nilai gula yang tinggi saat menghadapi cuaca panas.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya