
Kisah
Teladan dan Cinta Sang Istri Nabi
Khadijah binti Khuwailid sebagai istri Nabi Muhammad SAW berperan penting pada awal syiar Islam.
Suatu saat, Khadijah mendengar kabar seorang laki-laki yang terkenal paling tepercaya dan jujur di seantero Makkah. Pria itu bahkan mendapatkan julukan al-Amin dari publik.
Lelaki yang masyhur itu tidak lain adalah Muhammad SAW SAW. Tingginya rasa hormat penduduk Makkah terhadap putra Abdullah bin Abdul Muthalib ini membuat Khadijah tertarik.
Melalui utusannya, Khadijah menawarkan kerja sama ekspor komoditas kepada Muhammad SAW. Dalam perjanjian yang akhirnya disepakati, al-Amin membawa muatan dagang yang dimiliki perusahaan Khadijah ke Negeri Syam.
Di antara semua rekanan bisnis Khadijah, Muhammad SAW-lah yang mendapatkan muatan paling banyak dalam kafilah dagang miliknya. Khadijah juga mengutus Maysaroh untuk mengikuti perjalanan ke Syam.

Bagi Muhammad SAW, Syam bukanlah negeri yang begitu asing. Sebab, sejak kecil ia sudah diajak pamannya, Abu Thalib, menyertai misi dagang ke sana.
Karena itu, lelaki yang tinggi akhlaknya ini dapat melaksanakan kerja sama dengan baik. Bahkan, ia menghasilkan keuntungan yang begitu banyak. Orang-orang Syam senang berbisnis dengannya, apalagi dirinya sudah terkenal amanah.
Ketika di Syam, seluruh barang dagangan yang dibawa Muhammad SAW dari Makkah laku seluruhnya. Sebagian hasil penjualan ini dialokasikan untuk membeli barang-barang dari Syam agar bisa dijual lagi sesampainya di Makkah. Dengan demikian, profit yang diperoleh akan bertambah-tambah. Ini tentunya mendatangkan keuntungan bagi Khadijah.
Sementara itu, Maysaroh terus mencatat bagaimana perkembangan bisnis tuannya itu. Tidak lupa, budak milik Khadijah ini juga menuliskan betapa karakteristik lelaki berjulukan al-Amin ini: selalu jujur dan komunikatif dalam berbisnis. Maka sukseslah misi dagang yang disponsori perusahaan milik Khadijah ke Syam. Sesampainya di Makkah, kesaksian Maysaroh itu semakin membuat Khadijah kagum terhadap kepribadian pria mulia tersebut.
Di sisi lain, sebenarnya Muhammad SAW sendiri juga menyimpan kekaguman terhadap Khadijah. Dalam diri perempuan itu, ada sifat pebisnis yang tangguh, mampu menjalankan usaha dengan sukses. Tidak berbeda halnya dengan kaum pria pada masa itu. Dalam sebuah riwayat disebutkan, Abu Thalib pernah mendeskripsikan sosok Khadijah:
“Aku (Abu Thalib --Red) tidak memiliki harta yang banyak, sedangkan kebutuhan zaman semakin hari kian mendesak. Umur telah kita lalui dengan sia-sia tanpa ada harta dan perniagaan. Lihatlah Khadijah.
Ia mampu mengutus beberapa orang untuk menjalankan perniagaannya. Sehingga, mereka mendapatkan hasil (keuntungan) dari barang yang dijual. Andaikan engkau (Muhammad SAW) datang kepadanya (untuk menjalankan niaga Khadijah), maka dengan keutamaanmu dibandingkan dengan yang lainnya, tentu tidak akan ada yang menyaingimu.”
Bagaimanapun, kesaksian Maysaroh mengenai sosok Muhammad SAW memengaruhinya. Kini, Khadijah jatuh hati terhadap pria berjuluk al-Amin tersebut. Akhirnya, Khadijah mengutus bawahannya itu kepada Muhammad SAW menyampaikan pesan khusus, yakni lamaran dari Khadijah kepadanya.
Muhammad SAW menceritakan perihal lamaran ini kepada para pamannya. Tidak lama kemudian, Hamzah bin Abdul Muthalib mendampingi Muhammad SAW untuk datang kepada ayahanda Khadijah, Khuwailid bin Asad. Muhammad SAW bermaksud meminang Khadijah menjadi istri.
Lamaran pun diterima. Muhammad SAW memberikan mas kawin berupa 20 ekor unta muda, yang merupakan jenis terbaik di seluruh Jazirah Arab. Saat pernikahan ini terjadi, Muhammad SAW berusia 25 tahun, sedangkan Khadijah binti Khuwailid 40 tahun.
Pasangan berbahagia tersebut kemudian dikaruniai enam orang anak, yakni Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah. Adapun Qasim meninggal dunia dalam usia dua tahun. Abdullah berpulang ke rahmatullah pun ketika masih berumur anak-anak.
Khadijah merupakan sosok istri yang sempurna. Begitu menikah dengan Muhammad SAW, ia semakin giat melanjutkan kebiasaan-kebiasaan baik, seperti bersedekah dan menyantuni anak-anak yatim. Di samping itu, kegiatan usaha dan bisnis pasangan ini semakin berkembang. Mereka sangat berbahagia, baik secara materiil maupun batin.

Khalwat: menenangkan diri
Namun, empati Muhammad SAW semakin tumbuh dan peka. Ia melihat di sekelilingnya kebobrokan merajalela. Kaum miskin semakin terjerat praktik-praktik riba. Kalangan elite Makkah banyak yang bersikap sombong dan hanya mementingkan kepentingan diri dan kelompok sendiri.
Mereka senang mabuk-mabukan, menyembah berhala yang tidak lain benda mati yang tidak mendatangkan manfaat maupun mudharat. Ketimpangan sosial begitu nyata.
Untuk menenangkan diri, Muhammad SAW kerap pergi seorang diri ke Gua Hira. Di sana, ia merenungi problem masyarakat di sekitarnya. Dalam kondisi sunyi, pemikiran-pemikiran yang jernih dapat muncul. Sebagai istri, Khadijah mendukung penuh sikap suaminya itu. Khadijah selalu mempersiapkan bekal sebelum suaminya berangkat ke Gua Hira.
Sejarah mencatat, di sanalah Muhammad SAW mendapatkan wahyu untuk kali pertama. Sejak saat itu, ia menjadi Rasulullah sekaligus penutup para nabi. Saat menerima risalah kenabian, Khadijah merupakan orang pertama yang beriman.
Setelah menerima wahyu pertama di Gua Hira, Rasulullah berlari menuju ke rumah. Ia diliputi perasaan takut. Sesampainya di rumah, ia mengetuk pintu dan dengan terbata-bata berkata kepada istrinya, Khadijah: “Selimuti aku! Selimuti aku!” Tubuh beliau tampak menggigil.
Lalu, Khadijah menyelimuti Muhammad SAW, dan membiarkannya. Tidak bertanya apa pun hingga sang suami dapat tertidur. Begitu terbangun keesokan harinya, rasa takut dalam diri Muhammad SAW mulai menghilang. Kemudian, ia menceritakan semua yang telah terjadi kepada sang istri tercinta.
“Aku khawatir pada diriku,” kata beliau.
“Tidak perlu engkau khawatir. Allah tidak akan pernah menghinakanmu. Sungguh, engkau orang yang menjaga tali silaturahim, senantiasa mengemban amanah, selalu menghormati tamu, dan membantu orang-orang yang berhak untuk dibantu,” jawab Khadijah menenangkan suaminya.
Ketika kondisi Rasulullah SAW sudah benar-benar tenang, Khadijah mengajak suaminya itu menemui Waraqah bin Naufal. Secara nasab, Waraqah merupakan sepupu Khadijah. Pria ini memeluk agama Nasrani. Dia juga telah menerjemahkan Injil yang bahasa Ibrani.
“Wahai keponakanku, apa yang engkau lihat?” tanya Waraqah kepada Muhammad SAW. Rasulullah menceritakan sebagaimana adanya tentang apa yang telah dialami di Gua Hira.
Setelah menyimak dengan saksama penuturan beliau, Waraqah berkata: “Ia adalah malaikat yang telah Allah turunkan kepada Nabi Musa. Andaikan aku diberi umur panjang, aku berharap dapat membantumu ketika kaummu mengusirmu.”
“Mengapa mereka sampai mengusirku?” tanya Rasulullah.
“Tidak seorang pun yang datang dengan sesuatu (wahyu Allah), sebagaimana yang kau emban ini, kecuali dimusuhi kaumnya sendiri. Jika aku masih hidup sampai pada harimu, tentu aku akan menolongmu dengan sungguh-sungguh,” jawab Waraqah menjelaskan. Di kemudian hari, ahli tafsir Injil ini lebih dahulu meninggal dunia sebelum Allah SWT menyuruh Nabi -Nya berdakwah secara terang-terangan.
Beberapa waktu kemudian, turun wahyu Allah yang memerintahkan agar dakwah dilakukan secara terang-terangan. Betapa berat ancaman dan tudingan kaum musyrik terhadap Nabi. Namun, Rasulullah SAW pantang menyerah.
Terlebih lagi, di sisinya selalu ada sang istri yang setia dan memperkuat jiwanya. Khadijah tidak pernah mendebat suaminya, baik sebelum maupun setelah turunnya risalah kenabian. Berkat cinta Khadijah, Rasulullah SAW merasa lapang dada, walau amat keras kebencian dan tekanan yang dialamatkan orang-orang Quraisy kepadanya.

Datangnya Tahun Kesedihan
“Tiap yang bernyawa akan merasakan maut.” Khadijah binti Khuwailid meninggal dunia pada tahun ketiga sebelum Hijriyah. Sang ummul mukminin wafat di Makkah dalam usia 65 tahun. Kala istrinya terkulai lemas, Rasulullah SAW menghampiri sembari berkata, “Engkau pasti tidak menyukai apa yang aku lihat saat ini.”
Sedangkan, Allah telah menjadikan dalam sesuatu yang tidak engkau kehendaki itu sebagai kebaikan. Sebagai pasangan suami istri, perpisahan memang tak diinginkan. Namun, hikmah Allah menanti bagi mereka yang bersabar.
Saat pemakaman jenazah Khadijah, Rasulullah SAW turun ke liang lahat. Dengan tangannya sendiri, beliau memasukkan jenazah istrinya. Betapa berat perasaan Nabi SAW melihat paras wajah wanita yang dicintainya itu untuk terakhir kalinya. Sejarah mencatat, Rasulullah SAW tidak menikah dengan wanita lain ketika bersama Khadijah.
Wafatnya Khadijah menjadikan tahun itu sebagai Tahun Kesedihan. Rasulullah SAW melalui masa itu dengan penuh ketabahan dan kesabaran demi mencapai ridha Allah SWT.
Terpesona Keindahan Islam, Samuel Shropshire Bersyahadat
Mualaf dari Amerika Serikat ini menemukan keindahan Islam kala bekerja di Arab Saudi.
SELENGKAPNYAKH Muntaha, Teladan Mencintai Alquran
KH Muntaha merintis sejumlah lembaga pendidikan untuk cetak kader hafiz Alquran.
SELENGKAPNYAMisi Besar Iblis di Balik Perceraian
Setiap keluarga berkewajiban memperkuat ketahanan keluarganya dengan iman dan takwa
SELENGKAPNYA