
Mujadid
KH Muntaha, Teladan Mencintai Alquran
KH Muntaha merintis sejumlah lembaga pendidikan untuk cetak kader hafiz Alquran.
Kecintaan dan dedikasi ulama yang satu ini terhadap Alquran tak lagi diragukan. KH Muntaha, tokoh kelahiran Kalibeber, Wonosobo Jawa Tengah, 19 Juli 1912, ini berhasil mencetak kader-kader penghafal Alquran yang andal. Hal itu dilakukannya melalui pengembangan lembaga-lembaga pendidikan.
Bahkan, cita-cita besarnya untuk mengader ulama penghafal, penafsir, dan pengamal Alquran, benar-benar ia lakukan dengan penuh keseriusan. Ini setidaknya terlihat dari dua lembaga yang ia dirikan, baik di tingkat formal maupun nonformal.
Di tingkat nonformal, ia memimpin langsung Pesantren Al-Asyariyah Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah, setelah ayahandanya meninggal pada 1945. Di jenjang formal, ia mendirikan Institut Ilmu Alquran (IIQ), yang kini bertranformasi menjadi sebuah Universitas Sains Alquran (UNSIQ).
Abah Muntaha, begitu akrab disapa, sukses membimbing generasi penerus bangsa yang mencintai Alquran melalui kedua lembaga tersebut. Sudah tidak terhitung lagi berapa jumlah santri dan mahasiswa, yang pernah ia kader di bidang ilmu Alquran. Alumninya turut mengharumkan nama sosok yang meninggal pada 2004 itu.
Kecintaannya terhadap Alquran juga dibuktikan dengan berbagai karya, tak terkecuali di bidang kaligrafi. Abah Muntaha berhasil membuat mushaf raksasa dengan tinggi mencapai dua meter, lebar tiga meter, dan berat satu kuintal.
Mushaf yang ditulis dari 16 Oktober 1991 dan selesai ditulis pada 31 Desember 1992 itu, merupakan mahakarya yang ia buat ketika sudah memasuki usia senja. Untuk itu, karyanya ini sempat diajukan ke catatan rekor dunia. Oleh presiden Suharto ketika itu, mushaf ini diserahkan di Bina Graha Jakarta pada 5 Juli 1994.
Lazimnya anak-anak pada umumnya, khususnya putra dari seorang kiai, putra dari tokoh terkemuka Wonosobo ketika itu, KH Asy'ari bin KH Abdurrohim, Muntaha kecil mendapatkan pendidikan dasar dari kedua orang tuanya, KH Asy'ari dan Safinah.
Menginjak remaja, ia dikirim ayahnya ke Madrasah Darul Ma'arif Banjarnegara di bawah asuhan KH Fadhullah dari Singapura. Pada saat itu, Darul Ma'arif sudah termasuk lembaga pendidikan modern karena sudah menerapkan sistem pembelajaran secara klasikan.
Setelah dari Banjarnegara, KH Muntaha melanjutkan pendidikan di Ponpes Kauman Kaliwungu Kendal, kepada KH Utsman. Di sinilah KH Muntaha untuk pertama kali menekuni bidang tahfiz sampai selesai 30 juz, tepatnya usia KH Muntaha 16 tahun kala itu.
Ponpes Kauman Kaliwungu adalah pesantren terbesar kedua selain pesantren, yang didirikan ayahnya di Kabupaten Kendal, yang secara intensif mengajarkan Alquran dan kitab-kitab kuning kepada para santrinya.
Setelah selesai menghafal Alquran di Kaliwungu, ia memperdalam ilmu-ilmu Alquran lainnya di Pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta asuhan KH Munawir ar-Rosyad, yang dikenal sangat alim dalam bidang Alquran.
Pengembaraan ilmu terakhirnya, ia tamatkan di Pondok Pesantren asuhan KH Dimyati Termas, Pacitan, Jawa Timur. Setelah rampung dari pesantren, KH Muntaha pulang kampung tepatnya pada 1950 untuk mengasuh pesantren, yang didirikan ayahnya.
Meski termasuk orang yang terlahir di kalangan berada, selama proses mencari ilmu KH Muntaha tidak manja. Ia rela berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer menuju pesantren yang dituju. Hal itu ia lakukan dengan niatan ikhlas demi memperoleh keberkahan ilmu.
Dalam perjalanan menuju pesantren, Kiai Muntaha selalu memanfaatkan waktu sambil mengkhatamkan Alquran saat beristirahat untuk melepas lelah. Kisah ini menunjukkan, kemauan keras dan motivasi spiritual tinggi yang dimiliki Kiai Muntaha saat mencari ilmu.
Setelah berkenalan dari berbagai pesantren, Kiai Muntaha kembali ke Kalibeber pada 1950. Dia melanjutkan dakwah ayahnya di Ponpes Al-Asy'ariyyah.
Di bawah kepemimpinan Mbah Muntaha inilah, Al-Asy'ariyyah berkembang pesat dengan berdirinya beberapa sekolah modern, mulai dari sekolah dasar, menengah, hingga universitas yang semua Islami dan sekaligus modern.
Pejuang kemerdekaan
Dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, KH Muntaha adalah pribadi yang bersahaja. Ia merupakan sosok ulama yang sangat sayang terhadap keluarga, santri, masyarakat, dan negaranya.
Abah Muntaha bergabung dengan Barisan Muslim Tumanggung (BMT), untuk mempertahankan kemerdekaan di daerah Temanggung. Dalam perjuangan melawan Belanda, BMT tidak memiliki senjata canggih, tetapi hanya bambu runcing yang diberi doa mampu untuk mengalahkan senjata canggih milik Belanda.
Perjuangan heroik terjadi ketika Abah Muntaha berusia muda. Dia pernah bersama ayahnya mengungsi ke Desa Ndere Duwur, sekitar delapan kilometer sebelah barat Desa Kalibeber, untuk menghindar dari serangan Belanda. Peristiwa penyerangan Belanda ini menyebakan banyak santri dan perjuang yang ditangkap Belanda.
Menurut penuturan Abah Muntaha, ia dan ayahnya tidak ditangkap Belanda karena ada pertolongan Allah SWT. Padahal, pasukan Belanda sudah mengepungnya. Abah Muntaha dan ayahnya tidak berhasil ditangkap karena tentara Belanda yang mengepungnya, tidak bisa melihat target oprasinya.
Semangat Abah Muntaha berjuang malawan kezaliman penjajah adalah warisan dari leluhurnya, yaitu R Hadiwijaya atau KH Muntaha bin Nida Muhammad, salah seorang prajurit pasukan Diponegoro, yang berhasil meloloskan diri dari kejaran Belanda di Magelang.
Pendekar Fikih Lirboyo Berpulang
Pemikiran Kiai Azizi Hasbullah adalah autentik dan memiliki keunikan tersendiri.
SELENGKAPNYAUsul Tokoh Masyumi dan PRRI yang 'tak Perlu Terjadi'
PRRI menunjukkan ketidakpuasan daerah terhadap pusat saat era presiden Sukarno.
SELENGKAPNYA