
Dunia Islam
Teladan Memuliakan Tamu Sejak Zaman Nabi
Para nabi Allah telah memberikan teladan perihal memuliakan tamu.
Islam adalah agama yang menyediakan pedoman dalam setiap aspek kehidupan, termasuk yang mengenai hubungan sosial. Dalam perkara menerima tamu, misalnya, kaum Muslimin diajarkan untuk selalu mengutamakan akhlak.
Para nabiyullah pun menunjukkan keteladanan yang paripurna tentang pokok ini. Dalam Alquran surah az-Zariyat ayat 24-34, terdapat tuntunan memuliakan tamu. Surah Makkiyah itu mengisahkan keteladanan Nabi Ibrahim AS.
Sang Kekasih Allah (Khalilullah) itu mempersilakan dengan baik orang yang datang berkunjung ke rumahnya. Diam-diam, Nabi Ibrahim lantas menemui keluarganya agar mereka mempersiapkan hidangan istimewa, daging anak sapi yang gemuk sebagai jamuan untuk para tamu.
Belakangan diketahui bahwa tamu-tamu itu adalah para malaikat yang diutus Allah SWT untuk mengabarkan kelahiran Nabi Ishaq AS dan azab yang akan menimpa kaum Sodom.
Belakangan diketahui bahwa tamu-tamu itu adalah para malaikat yang diutus Allah SWT untuk mengabarkan kelahiran Nabi Ishaq AS dan azab yang akan menimpa kaum Sodom sebagai balasan telah mengingkari dakwah Nabi Luth AS.
“Maka diam-diam dia (Ibrahim) pergi menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkannya kepada mereka (tetapi mereka tidak mau makan). Ibrahim berkata, ‘Mengapa tidak kamu makan?’ Maka dia (Ibrahim) merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata, "Janganlah kamu takut," dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishaq).”
Adab yang diwariskan Nabi Ibrahim AS itu terus hidup di tengah bangsa Arab pra-Islam, khususnya yang berpegang pada monoteisme (tauhid). Ka’bah yang didirikan Sang Khalilullah bersama dengan Nabi Ismail AS menjadi situs sakral yang rutin dikunjungi orang-orang dari pelbagai penjuru.
Oleh karena itu, siapa pun yang mengurus Baitullah akan dipandang terhormat bagi seluruh bangsa Arab. Sejak abad kelima, Qushay menguasai Makkah, sehingga berhak menangani segala urusan Ka’bah. Pasca meninggalnya leluhur kaum Quraisy itu, wewenang tersebut diwariskan kepada putra sulungnya, Abdud Dar, kakak Abdul Manaf.
Setelah Abdul Manaf wafat, mulai terjadi pertentangan di antara para elite Quraisy. Untuk menghindari konflik, disepakatilah pembagian tugas. Keturunan Abdul Manaf menangani penyambutan jamaah haji, sedangkan keturunan Abdud Dar memegang panji politik. Hasyim bin Abdul Manaf ditetapkan sebagai penanggung jawab logistik bagi para peziarah Ka’bah.
Setelah Hasyim wafat, kedudukan itu diteruskan oleh saudaranya, Abdul Muthalib bin Hasyim—kakek Nabi Muhammad SAW.
Pada masa permulaan dakwah Islam, tugas mulia itu dilakukan putra-putra Abdul Muthalib, termasuk Abbas, paman Nabi SAW. Sesudah pembebasan Makkah (Fathu Makkah), semua keputusan tentang pemeliharaan Ka’bah ada di tangan Rasulullah SAW.
Sejak saat itu, tidak ada perubahan yang signifikan dalam tata cara menyambut para jamaah, kecuali bahwa semua berhala di sekitar Ka’bah dan pelbagai ritual syirik yang sebelumnya mewarnai ibadah haji dimusnahkan sama sekali.
Tentu saja melayani para tamu Masjidil Haram tidak hanya meningkatkan prestise, tetapi juga faktor materi.
Tentu saja melayani para tamu Masjidil Haram tidak hanya meningkatkan prestise, tetapi juga faktor materi. Setiap bulan Dzulhijjah, pendapatan warga Makkah otomatis naik lantaran tingginya permintaan (demand) barang-barang kebutuhan.
Berbeda umpamanya dengan Madinah yang bertanah subur, Makkah sangat mengandalkan sektor perdagangan untuk menggerakkan ekonomi. Oleh karena itu, penduduk setempat mementingkan sikap terbuka dan ramah terhadap kafilah-kafilah dari luar, termasuk para jamaah haji.
Ada banyak hadis sahih yang mengajarkan keutamaan memuliakan tamu, tanpa memandang kaya atau miskin. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia memuliakan tamunya” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Abu Syaikh meriwayatkan, Nabi SAW telah memperingatkan kaum Muslimin, “Tamu datang dengan membawa rezekinya dan pergi dengan menghapus dosa-dosa kalian. Dan Allah menghapus dari dosanya dan dosa-dosa kalian.”
Menurut riwayat Ibnu Abbas, beliau menjelaskan, Allah SWT memberikan pahala setara haji dan umrah kepada seorang Mukmin yang menjamu tamunya “setiap kali suap makanan yang diterima tamu".
Islam memberikan perhatian khusus pada tamu yang secara materiel serba kekurangan. Merujuk pada surah at-Taubah ayat 60, ibnu sabil adalah salah satu golongan yang berhak menerima zakat.
Kalangan ulama mendeskripsikannya sebagai orang yang kehabisan bekal ketika dalam perjalanan yang tidak bertujuan maksiat. Tidak hanya bekal, tetapi juga tempat tinggal sementara. Pada zaman Rasulullah SAW, ada suatu pelataran Masjid Nabawi yang disebut sebagai Suffah (harfiah: ‘tempat berteduh’).
Penghuninya (ahl as-suffah) adalah para tamu kaum Muslimin yang tidak menetap dengan keluarga dan juga tidak memiliki harta memadai. Beberapa orang Muhajirin yang tidak mendapatkan rumah di Madinah kerap menghabiskan malam di sana.
Nabi Muhammad SAW senang duduk-duduk bersama dengan mereka di kala luang. Jumlah ahl as-suffah tidak statis karena sering ada yang datang dan pergi, tetapi biasanya lebih dari 50 orang.
Menurut Akram Dhiya al-Umuri dalam Shahih Sirah Nabawiyah, ahl as-suffah menyibukkan diri dalam mencari ilmu dan beribadah di Masjid Nabawi. Oleh karena itu, banyak di antaranya yang menjadi pakar lantaran menghafal begitu banyak hadis. Salah satu contohnya adalah Abu Hurairah.
Bagaimanapun, ahl as-suffah juga terlibat aktif dalam kegiatan sosial dan jihad. “Mereka adalah ahli ibadah pada malam hari dan prajurit yang gagah berani pada siang hari,” tegas Dr Akram.
Rasulullah SAW selalu menyediakan setangkup kurma untuk dua orang ahl as-suffah setiap hari. Tidak jarang beliau SAW mengundang mereka untuk makan bersama di rumah, meski dengan hidangan seadanya.
Mereka juga hidup bersahaja. Kurma menjadi makanan sehari-hari. Rasulullah SAW selalu menyediakan setangkup kurma untuk dua orang ahl as-suffah setiap hari. Tidak jarang beliau SAW mengundang mereka untuk makan bersama di rumah, meski dengan hidangan seadanya.
Dalam riwayat Abu Hurairah, Nabi SAW jika menerima sedekah, akan mengirimkannya kepada ahl as-suffah. Apabila menerima hadiah, beliau SAW akan mengambil sebagian, sedangkan sebagian lainnya diberikan kepada mereka.
Semasa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, sikap ramah tamah (hospitality) tanpa pamrih untuk para pelancong terus dipertahankan. Khalifah Umar, misalnya, melanjutkan kebiasaan Nabi SAW yang menyediakan penginapan gratis bagi jamaah haji yang ibnu sabil.
Bahkan, sosok yang berjulukan al-Faruq itu mengikutsertakan pendirian rumah-rumah persinggahan gratis di Makkah, Madinah, dan Kuffah, ke dalam program infrastruktur nasional. Pada masa ini, pembangunan jalan-jalan, saluran irigasi, serta sistem birokrasi dan keamanan memang berlangsung cukup pesat.
Tukang Bubur Ini Bagikan Bubur Gratis Bulan Ramadhan
120 porsi bubur dibagikan setiap hari oleh Dimas pada bulan Ramadhan
SELENGKAPNYAMengenal Funduq, Perintis Sistem Hotel Modern
Sejarah keberadaan hotel dapat ditelusuri sejak masa keemasan Islam.
SELENGKAPNYA