ILUSTRASI Sejarah keberadaan hotel dapat ditelusuri sejak masa keemasan Islam. | DOK REP RAKHMAWATY LALANG

Dunia Islam

Mengenal Funduq, Perintis Sistem Hotel Modern

Sejarah keberadaan hotel dapat ditelusuri sejak masa keemasan Islam.

Pada masa kini, keberadaan hotel menjadi penunjang aktivitas pariwisata di negara-negara modern. Untuk memanjakan pengunjung, para pemilik bisnis penginapan itu sering kali menyediakan banyak fasilitas. Mulai dari pemesanan yang sangat simpel melalui gawai, potongan harga, hingga tempat bermalam yang serasa di rumah sendiri (feel at home).

Asal usul eksistensi hotel dapat ditelusuri hingga masa kejayaan Islam. Menurut Benedikt Koehler dalam Early Islam and the Birth of Capitalism (2014), kota-kota Islam sejak berabad-abad silam memiliki sistem perhotelan yang diistilahkan sebagai funduq. Fungsinya ialah tempat menginap para pelancong.

Pada mulanya, lanjut Koehler, funduq berkaitan dengan pusat perdagangan (trade centers) yang telah dirintis bahkan sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Maka dari itu, perlu dijelaskan terlebih dahulu bagaimana kondisi perekonomian pada masa tersebut, khususnya yang berpusat di pasar-pasar.

 
Pada mulanya, funduq berkaitan dengan pusat perdagangan (trade centers) yang telah dirintis bahkan sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
 
 

Pada umumnya, pasar-pasar di Jazirah Arab—bahkan sejak pra-Islam—bersifat semipermanen. Keberadaanya berlangsung hanya dalam periode tertentu, yakni puncaknya di musim haji. Di Kota Makkah, misalnya, para pedagang lokal membuka gerai di depan rumah masing-masing pada hari-hari tertentu per pekan.

Kafilah-kafilah dagang dari luar kota mengadakan transaksi dengan mereka. Begitu transaksi usai, gerai itu pun tutup dan para kafilah dari luar melanjutkan perjalanannya.

Sesudah hijrah, Nabi SAW mendirikan tatanan baru di Madinah, termasuk dalam urusan komersial. Beliau SAW menginstruksikan pendirian satu pasar baru, sehingga total ada lima pasar di kota tersebut. Beberapa waktu kemudian, pasar yang wujudnya hanya berupa tenda sederhana itu dihancurkan musuh.

Rasulullah SAW pun mendirikan kompleks pasar baru yang lebih luas. Kali ini, para pedagang di dalamnya tidak dipungut pajak. Adanya bebas pajak (tax exemption) itu membuat Madinah lebih menarik ketimbang Makkah di mata kafilah-kafilah dagang.

Sistem pasar yang telah diinisiasi Nabi Muhammad SAW mulai berubah sejak Kekhalifahan Umayyah. Khalifah ke-10, Hisyam bin Abdul Malik, mengubah bentuk pasar menjadi bangunan permanen dua lantai yang disebutnya magazine.

Lantai pertama difungsikan sebagai tempat tinggal sementara para kafilah terutama dari luar daerah, sedangkan lantai kedua sebagai tempat transaksi dan gudang. Di Madinah, magazine menjadi bangunan terbesar kedua setelah Masjid Nabawi pada masa itu.

Perniagaan tidak kenal batas agama dan bangsa. Islam memberi ruang pada semangat kosmopolitan semacam itu. Syariat menentukan agar penguasa Muslim melindungi para pelancong, termasuk kafilah-kafilah dagang yang datang dari luar, sekalipun mereka non-Muslim. Sepanjang peradaban Islam, pedagang asing (mustamin) rata-rata dibebankan pajak 10 persen.

Setelah membayar kewajibannya, mereka berhak atas perlindungan negara dan izin tinggal satu tahun lamanya—tetapi di saat yang sama mesti mematuhi aturan Islam, termasuk larangan praktik riba dan penjualan minuman yang memabukkan. Koehler membandingkan, dengan beban pajak yang sama, para pedagang Muslim yang singgah di kota-kota Kekaisaran Romawi Timur (Byzantium) hanya memeroleh izin tinggal empat bulan.

 
Mereka memilih funduq yang lebih nyaman dan mudah ditemui tiap kota-kota besar di seluruh penjuru wilayah Islam. Funduq dapat dianggap cikal-bakal hotel modern.
 
 

Dalam perkembangan berikutnya, para pedagang dari luar kota tidak begitu mengandalkan lantai pertama magazine sebagai tempat menginap. Mereka memilih funduq yang lebih nyaman dan mudah ditemui tiap kota-kota besar di seluruh penjuru wilayah Islam. Funduq dapat dianggap cikal-bakal hotel modern.

Akan tetapi, awal mula funduq tidak berasal dari Arab, melainkan kebudayaan dua adidaya pada abad keenam, Byzantium dan Persia. Raja-raja Muslim sejak era Umayyah mengadopsi sistem penginapan mereka dan menamakannya dengan kata berbahasa Arab, funduq. Kata itu sendiri merupakan pengembangan dari bahasa Latin pandocheion atau Ibrani pundaq yang berarti ‘asrama’.

Berbeda dengan, umpamanya, Suffah Masjid Nabawi, funduq ada untuk disewakan kepada para pelanggan. Seorang pemilik funduq akan menugaskan bawahannya untuk mengelola bangunan itu sehari-hari. Dia bertugas merawat kebersihan kamar serta menjamin kenyamanan dan keamanan penghuni.

Adapun menurut perspektif penguasa, funduq berfungsi sebagai tempat penginapan yang layak untuk orang-orang asing. Bagaimanapun, hukum tetap ditegakkan bagi mereka yang hendak melakukan spionase.

Bila ada penghuni yang dicurigai sebagai mata-mata, aparat keamanan langsung meringkusnya beserta barang bukti dari funduq tempatnya menginap. Oleh karena itu, setiap orang asing yang menginap diimbau untuk membawa surat yang memuat cap resmi penguasa daerah tempatnya berasal, sehingga jelas tujuannya datang—apakah berdagang, belajar, dan sebagainya.

Sejak abad kedelapan, dinasti-dinasti Muslim telah memberlakukan aturan itu yang kini menyerupai kebijakan paspor zaman modern.

Syekh Junaid al-Batawi, Ulama Indonesia yang Imam Masjidil Haram

Syekh Junaid al-Batawi adalah orang Indonesia pertama yang jadi imam besar Masjidil Haram.

SELENGKAPNYA

Irjen Teddy Minahasa Dituntut Hukuman Mati

Teddy dituntut lebih berat dari terdakwa lain karena dianggap sebagai aktor intelektual.

SELENGKAPNYA

Masjid Nabawi di Madinah: Contoh Paripurna Keberkahan Wakaf

Berdirinya Masjid Nabawi tak terlepas dari amalan dan keberkahan wakaf.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya