Kekeringan di Somalia (Ilustrasi) | AP Photo/Jerome Delay

Internasional

Krisis Kekeringan Saat Ramadhan di Somalia

Kekeringan ditambah kenaikan harga pangan akibat invasi Rusia ke Ukraina menambah derita warga Somalia.

Oleh DWINA AGUSTIN

Bulan suci Ramadhan tahun ini bertepatan dengan rekor kekeringan terpanjang di Somalia. Saat matahari terbenam dan umat Islam di seluruh dunia berkumpul untuk berbuka puasa dengan makan malam yang berlimpah, Hadiiq Abdulle Mohamed dan keluarganya hanya memiliki air dan makanan apa pun yang tersedia.

Mohamed termasuk di antara lebih dari sejuta warga Somalia yang meninggalkan rumah untuk mencari bantuan. Dia dan suaminya serta enam anak mereka sekarang berlindung di salah satu kamp pengungsian di sekitar Ibu Kota Mogadishu.

Ramadhan membawa kenaikan harga pangan untuk negara yang sudah berjuang melawan inflasi. Negara itu terkena dampak dari invasi Rusia ke Ukraina ditambah dengan layunya tanaman lokal karena lima musim hujan yang gagal berturut-turut. Jutaan ternak yang menjadi pusat makanan telah mati.

photo
FILE -Korban bencana kekeringan di Somalia (Ilustrasi).
- (AP Photo/Mohamed Sheikh Nor)

Makanan semakin sulit didapat bagi mereka yang telantar. Mohamed dan keluarganya mengandalkan simpatisan untuk menyediakan makanan sehari-hari selama Ramadhan.
Mereka berbuka puasa dengan air dan potongan kurma, lalu sesendok nasi.

Akhirnya, mereka bisa makan dari sumbangan berupa nasi yang dimasak dengan daging campur, pisang yang diremukkan, dan sekantong plastik kecil berisi jus. Untuk mendapatkan tambahan makanan itu, Mohamed antre berjam-jam di bawah terik matahari.

"Saya ingat puasa Ramadhan yang kami lakukan di masa lalu ketika kami menikmati dan sejahtera. Kami akan memerah susu kambing kami, memasak ugali (bubur jagung) dan sawi hijau dan minum air dari tangkapan kami,” kata Mohamed.

Meski demikian, Mohamed sadar tahun ini keluarganya tinggal di kamp. "Tanpa plastik untuk melindungi kami dari hujan, tanpa makanan untuk dimakan, kehausan dan mengalami kekeringan," ujar perempuan itu.

 
Beberapa orang membutuhkan makanan untuk berbuka puasa. Tolong bantu mereka. 
SYEKH ABDIKARIM ISSE ALI Imam Masjid
 

Keluarga itu dulunya makmur dan memiliki lahan pertanian dan kambing di sebuah desa sekitar 140 kilometer di sebelah barat ibu kota Somalia. Sekarang mereka mencoba bertahan dari sedikit uang yang dihasilkan suaminya dengan membawa barang-barang di gerobak dorong. Namun, harga sembako melambung tinggi sehingga penghasilannya tidak lagi cukup bahkan untuk membeli 1 kilogram beras. 

Negeri tanduk Afrika itu mengimpor sebagian besar makanannya, dari gandum yang ditanam di Ukraina hingga botol-botol Mountain Dew yang disimpan di beberapa toko berkilauan di Mogadishu. Sementara itu, harga kebutuhan pokok seperti beras dan minyak goreng terus meningkat di beberapa bagian negara.

Bulan ini, pemantauan Program Pangan Dunia melaporkan, ketahanan rantai pasokan secara umum baik di Somalia. Namun, lonjakan permintaan selama Ramadhan akan membuat kerugian bagi rumah tangga rentan yang bergantung pada pasar lokal.

“Kami benar-benar mengalami lonjakan harga pangan dan kebutuhan pokok lainnya,” kata dosen ekonomi di Somalia University, Ahmed Khadar Abdi Jama.

photo
Bencana kekeringan di Somalia - (AP/Jerome Delay)

“Setiap kali ada faktor eksternal yang dapat mengurangi pasokan makanan, seperti konflik Rusia-Ukraina, kemungkinan besar Somalia akan merasakan pasokan yang rendah," ujar Jama.

Satu kilogram daging unta yang harganya sekitar empat dolar AS sebelum bulan suci sekarang sekitar enam dolar AS. Namun, Khadar memprediksi, inflasi itu akan mereda setelah bulan puasa berakhir.

Dengan meningkatnya jumlah pengungsi Somalia akibat kekeringan, para imam masjid di Mogadishu memimpin upaya untuk mendorong orang kaya di kota dan mereka yang mampu untuk bersimpati kepada orang miskin dan memberi dengan murah hati.

“Beberapa orang membutuhkan makanan untuk berbuka puasa. Tolong bantu mereka,” kata seorang imam masjid, Sheikh Abdikarim Isse Ali.

Kemarau panjang bukan hanya menerjang Somalia. Panas ekstrem juga menyapa negara-negara Afrika dari selatan Etiopia hingga ke daerah utara tanduk di Kenya dan Somalia. Dilansir dari Africanews, sebanyak 22 juta orang berisiko mengalami kelaparan akibat bencana kekeringan sejak 2020 itu.

Angka itu naik hampir dua kali lipat sejak awal 2022 saat 13 juta orang menghadapi kelaparan di wilayah tanduk Afrika. Di wilayah ini, yang penduduknya sebagian besar hidup dari peternakan dan pertanian, hampir 5,6 juta orang merasa "sangat tidak rawan pangan" di Somalia, 12 juta di Ethiopia, dan 4,3 juta di Kenya. Sementara itu, lebih dari 1,7 juta orang telah meninggalkan rumah mereka untuk mencari makanan dan air.

Kekeringan yang tidak pernah berakhir

Tanduk Afrika adalah salah satu wilayah yang paling terpukul oleh perubahan iklim. Menurut data dari Jaringan Sistem Peringatan Dini Kelaparan (Fews), sejak 2016, kondisi delapan dari 13 musim hujan di bawah normal. 

Kekeringan saat ini disebabkan oleh rangkaian lima musim hujan yang tidak terjadi sejak akhir 2020. Fenomena tersebut merupakan yang pertama kali terjadi dalam 40 tahun. 

Kelaparan terakhir di wilayah tersebut menewaskan 260 ribu jiwa. Setengah dari mereka (di Somalia) adalah anak-anak yang berada di bawah usia enam tahun. Di seberang tanduk Afrika, tanaman pangan telah dirusak oleh wabah belalang.

Sementara itu, ternak yang membutuhkan air dan padang rumput musnah. Lebih dari 9,5 juta ekor ternak telah mati, menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) pada November 2022 lalu.

Krisis diperparah oleh dampak perang di Ukraina yang telah menaikkan harga gabah dan bahan bakar serta mengalihkan banyak dana bantuan kemanusiaan. Organisasi kemanusiaan memperingatkan, situasinya akan semakin buruk dalam beberapa bulan mendatang, dengan musim hujan keenam, dari Maret hingga Mei yang di bawah normal.

Somalia adalah negara yang terkena dampak paling parah, dengan lebih dari separuh penduduknya (7,85 juta orang) merasakan efek kekeringan ini. Ocha memprediksi, kelaparan akan terjadi antara April dan Juni 2023 di Somalia selatan di antara populasi penggembala pertanian di Distrik Baidoa dan Burhakaba serta di antara populasi pengungsi di Kota Baidoa dan Mogadishu.

Jumlah korban dalam status "bencana pangan"--tahap terakhir sebelum kelaparan menurut terminologi internasional--diperkirakan akan meningkat dari 214 ribu menjadi 727 ribu pada pertengahan 2023.

photo
Doctor Mustaf Yusuf treats Ali Osman, 3, who is showing symptoms of Kwashiorkor, a severe protein malnutrition causing swelling and skin lesions, as he is measured at a malnutrition stabilization center run by Action against Hunger, in Mogadishu, Somalia Sunday, June 5, 2022. Deaths have begun in the regions most parched drought in decades and previously unreported data show nearly 450 deaths this year at malnutrition treatment centers in Somalia alone. - (AP/Farah Abdi Warsameh)

Anak-anak berisiko

Menurut UNICEF, hampir 2 juta anak di seluruh tanduk Afrika memerlukan perawatan segera untuk malanutrisi akut yang parah. UNICEF memperkirakan pada September 2022, sebanyak 730 anak telah meninggal antara Januari dan Juli 2022 di pusat-pusat makanan di Somalia--angka yang dianggap terlalu rendah.

Kekurangan air, susu, dan makanan, juga sering hidup dalam kondisi tidak sehat. Anak-anak bungsu sangat lemah. Tubuh mereka menjadi lebih rentan terhadap penyakit (campak, kolera) dan pertumbuhan mereka berubah dalam jangka panjang.

Mereka menemani keluarga yang mengungsi atau dikirim setiap hari untuk mencari makan. Sebanyak 2,7 juta anak juga telah putus sekolah dan 4 juta lainnya terancam putus sekolah.

Pesantren Tahfidz Tuna Netra di Bandung

27 santri tuna netra mengikuti pesantren tahfidz Alquran.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya