
Nostalgia
Saat Es Jadi Barang Mewah
Es pernah menjadi barang yang sangat mewah di Ibu Kota.
Oleh ALWI SHAHAB
Pada Ramadhan ini, banyak orang yang berbuka puasa dengan minuman dingin. Menjelang sore, pedagang es, mulai dari es kelapa, es buah, dan yang khas tiap puasa, es timun suri, diserbu pembeli.
Meski para ahli kesehatan menganjurkan agar saat berbuka jangan minum minuman dingin, tetap saja orang memilih minuman dingin untuk membasahi kerongkongan.
Saya ingat, pada awal 1950-an, bahkan 1960-an, kulkas yang ketika itu disebut lemari es, merupakan barang mewah dan tidak banyak yang memilikinya. Ketika saya tinggal di Gang Adjutant (kini Jalan Kramat II) pada masa itu, setahu saya hanya seorang yang memiliki kulkas.
Es pernah menjadi barang yang mewah, bahkan sangat mewah di Ibu Kota.
Yakni, tetangga warga keturunan Arab bernama Amir Nahdi yang memang dikenal ‘berpunya’. Sore hari pada Ramadhan, rumahnya biasa didatangi banyak orang membawa panci atau gelas kaleng.
Menilik lebih jauh ke belakang, es pernah menjadi barang yang mewah, bahkan sangat mewah di Ibu Kota. Keberadaan es di Batavia belum lama dan belum sampai dua abad.
Penyejuk dahaga ini baru dikenal di Jakarta pada 16 November 1846. Tidak heran bila pada abad ke-19, es merupakan barang sangat mewah.
Pada pertengahan abad ke-19, para bule dari Belanda dan Eropa sudah mulai banyak berdatangan di Batavia setelah dibukanya ‘kota baru’ Weltevreden sekitar 10 km selatan dari Kota Tua.
Untuk menikmatinya, orang harus mendatangkannya dari Boston, Amerika Serikat.
Ada ceritanya mengapa es disebut barang mewah. Untuk menikmatinya, orang harus mendatangkannya dari Boston, Amerika Serikat. Suatu perjalanan yang sangat panjang.
Menurut Lilie Suratminto, sejarawan dan dosen bahasa Belanda di Universitas Indonesia, untuk mendatangkan es dari Amerika Serikat ke Batavia dengan kapal laut memakan waktu nyaris setengah tahun. Kapal pertama yang mengangkut es ke Batavia berangkat dari pelabuhan di Boston pada 28 Juli 1846 dan tiba di Tanah Air pada 16 November 1846.
Es merupakan komoditas ekspor terbaru Amerika Serikat yang menyasar negara-negara panas dan tropis sebagai pasarnya. Saat itu, es dijual dengan harga 10 sen. Saking ramainya animo warga saat itu, bahkan penjualan es dimuat di surat kabar.
Saking ramainya animo warga saat itu, bahkan penjualan es dimuat di surat kabar.
Untuk menjaga agar es tidak mencair, dari Boston digunakan kolbak semacam peti dilapis timah hitam dan di dalamnya diisi air dan salpeter (semacam organik kimia). Sedangkan, untuk menghidangkan minuman dingin, orang membungkus botol minuman dengan kain dingin.
Baru pada 1870 berdiri pabrik es pertama di Batavia, yakni di Jalan Prapatan (Jakarta Pusat). Setelah itu, pabrik es pindah ke Petojo yang mendistribusikannya ke seluruh pedagang es di Batavia.
Munculnya es di Batavia mendapatkan sambutan hangat dari warga Belanda dan Eropa di kota ini. Maklum, minuman penyejuk dahaga ini sangat dibutuhkan bagi bule kepanasan yang tinggal di Ibu Kota.
Kemunculan es juga membuat pengunjung hotel dan tempat hiburan meningkat.
Kemunculan es juga membuat pengunjung hotel dan tempat hiburan meningkat. Di antara tempat yang menyediakan minuman dingin, yakni Hotel de Provence milik Mr Chaulan & JJ Dodero. Juga, hotel yang terletak di kawasan Harmonie, yakni Hotel des Indes yang merupakan hotel termegah sebelum dibangun Hotel Indonesia pada 1960.
Es kemudian menjadi minuman yang tidak dapat dipisahkan keberadaannya di hotel-hotel dan tempat hiburan, termasuk di Istana Rijswijk (kini Istana Negara) dan Harmonie Club yang kini menjadi bagian dari Sekretariat Negara.
Disadur dari Harian Republika edisi 18 Juli 2013. Alwi Shahab adalah wartawan Republika sepanjang zaman. Beliau wafat pada 2020.
Sejarah Permulaan Penulisan Sirah
Penulisan biografi atau Sirah an-Nabawiyah menjadi perhatian para sarjana sejak abad-abad pertama Hijriyah.
SELENGKAPNYAMemahami Makna Shalat Tarawih, Qiyamulail, dan Tahajud
Shalat pada malam hari dinamakan qiyamulail sekaligus juga tahajud
SELENGKAPNYA