Asma Nadia | Republika

Resonansi

Nyawa tanpa Nilai

Generasi muda kita seolah kehilangan teladan, kehilangan harapan, dan tak lagi memiliki impian.

Oleh ASMA NADIA

 

Seorang staf United Nation (UN) saat bertugas di Nusa Tenggara Timur setelah Timor Timur baru saja merdeka, menulis surat kepada kerabatnya. Dia mengatakan, di tempat dia bertugas saat ini, nyawa manusia sangat murah.

Menghilangkannya barangkali sama rasanya seperti menepuk seekor nyamuk. Entah apa yang sudah dia lihat, dengar, dan alami hingga akhirnya sampai pada kesimpulan demikian. Tragisnya, tak lama berselang, terjadi kerusuhan di kamp, tempat dia bekerja.

Kelompok demonstran pro integrasi, merangsek masuk ke dalam kantor UN. Merusak barang dan memukuli stafnya. Dua di antara petugas tewas, salah satunya sang penulis surat. Setelah kematiannya, baru keberadaan dan isi surat tersebut terungkap.

 
Tentu siapa pun bisa berkilah, peristiwa nahas tersebut terjadi ketika kerusuhan, situasi penuh konflik, di daerah yang saat itu tertinggal.
 
 

Tentu siapa pun bisa berkilah, peristiwa nahas tersebut terjadi ketika kerusuhan, situasi penuh konflik, di daerah yang saat itu tertinggal. Berbagai alasan lain yang seolah menunjukkan peristiwa getir yang merenggut nyawa itu merupakan bagian dari situasi krisis pada masa silam. Bagaimana kenyataannya sekarang?

Beberapa tahun lalu, terjadi perkelahian pelajar di Jakarta. Seorang siswa ditangkap karena membunuh pelajar lain dari sekolah yang menjadi musuh bebuyutan. Tanpa masalah atau alasan pribadi, tanpa dendam atau sakit hati, tapi satu nyawa dipaksa pergi dari raga.

Parahnya, tak tampak penyesalan dari siswa yang melakukan pembunuhan. Bukan hanya tanpa penyesalan dan permohonan maaf kepada keluarga siswa yang terbunuh, pelaku yang masih usia remaja malah melontarkan sumpah serapah dan mensyukuri kematian korban.

Karena korban adalah pelajar dari sekolah lawan maka seolah layak dibunuh. Terkesan pelaku dengan perbuatan kejinya--merasa telah melakukan sebuah perbuatan heroik dan menjelma pahlawan.

Apa yang salah di tumpah darah tercinta ini? Ironi, miris, tragis!

Tetap saja saya menolak percaya atmosfer kemanusiaan kian menipis di bumi pertiwi. Terlepas peristiwa yang menghancurkan hati, saya masih ingin berpikir, musibah kemanusiaan di atas merupakan penggal episode masa lalu.

Sekarang, tentu tak sama. Pasti, ada perbaikan. Bukankah peristiwa buruk, apalagi kejahatan akan mendorong sederet perenungan, introspeksi serius yang mengantarkan pada islah atau serangkaian perbaikan dari berbagai pihak, berbagai institusi, termasuk pendidikan, juga keluarga?

 
Kenyataan yang kemudian dibentangkan di depan mata kita justru kian menyentakkan. Dalam kurun satu pekan pada bulan Maret 2023, terjadi tiga pembunuhan hanya di satu wilayah, di Bogor.
 
 

Kenyataan yang kemudian dibentangkan di depan mata kita justru kian menyentakkan. Dalam kurun satu pekan pada bulan Maret 2023, terjadi tiga pembunuhan hanya di satu wilayah, di Bogor.

Kasus pertama terjadi 6 Maret 2023. Ketika tim SMPN 1 Parung menolak untuk membayar uang taruhan sebesar Rp 200 ribu setelah kalah futsal melawan siswa SMP Yapia. Alasannya, kemenangan SMP Yapia karena memakai banyak pemain luar.

Tidak ada yang menduga, dalam perjalanan pulang pihak pemain dari SMPN 1 Parung akan dicegat pemain lawan yang membawa senjata tajam, hingga menewaskan TN (15 tahun).

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan kedua orang tua, yang mendapati putra mereka yang pamit untuk bermain atau menonton futsal, pulang dalam keadaan tak bernyawa.

Sama seperti saya tidak sanggup membayangkan ratusan keluarga yang tidak pernah menduga, kepergian anak, istri, bapak, kakak, atau adik mereka untuk sekadar menonton dan bersorak-sorai selama pertandingan sepak bola di Kanjuruhan, berujung kematian.

Peristiwa tragis kedua di wilayah sama di bulan ini terjadi pada 8 Maret 2023. Perkelahian bersenjata antara YV (17 tahun) dan MT (18 tahun) yang mengakibatkan tewasnya YV, sementara MT terluka parah dan dirawat di rumah sakit.

Masih diselidiki apa yang sebenarnya memicu duel senjata tajam itu. Tapi keduanya, menurut aparat memang berjanji bertemu untuk berkelahi dengan menggunakan celurit.

Kasus pembunuhan ketiga terjadi pada 10 Maret 2023 di Bogor Utara. Terlalu abstrak mencari penjelasan bagaimana AS (16 tahun) pelajar SMK, yang sedang menyeberang jalan bersama empat siswa lain tewas dibacok saat hendak menyeberang di lampu merah Pomad, Bogor Utara.

Pembacokan yang mengakibatkan tewasnya AS dilakukan tiga pelajar. Lagi tanpa dendam personal pada korban. Para pelakunya hanya terpicu tantangan yang dilontarkan siswa dari satu sekolah di media sosial.

Mengendarai satu motor bertiga, mereka menyusuri jalan berusaha mencari pelajar yang mengumumkan tantangan tersebut. Gagal menemukan, entah bagaimana mereka lalu memutuskan membacok secara random siswa berseragam yang berpapasan.

Satu pelaku menyetir, satu membacok AS yang kebetulan mereka temui, dan satu lagi membuang barang bukti. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun. Nyawa di negeri ini semakin kehilangan nilai.

 
Apa pun yang mereka coba buktikan, jelas tidak sepadan dengan menewaskan seorang anak yang menjadi tumpuan harapan keluarga.
 
 

Apa pun yang mereka coba buktikan, jelas tidak sepadan dengan menewaskan seorang anak yang menjadi tumpuan harapan keluarga.

Pada era modern, ketika kita mengira manusia akan lebih beradab, tetapi kemanusiaan, kasih, empati, akal sehat, dan hal-hal yang teramat esensial, entah bagaimana berangsur meninggalkan jiwa anak-anak muda kita.

Apa yang salah? Siapa yang bersalah? Apakah institusi pendidikan yang tidak cukup kuat menanamkan budi pekerti dan nilai-nilai moral? Orang tua yang abai, disibukkan dengan medsos, dan gawai hingga kurang mendidik putra putri sejak dini?

Tokoh agamawan yang diharapkan menjadi contoh, sebagian justru terlibat skandal? Pemimpin yang mengabaikan amanah, tidak menjaga, tetapi memperkaya diri dengan menguras uang rakyat? Atau oknum penegak hukum yang tebang pilih dalam menegakkan keadilan? Wallahu a'lam.

 
Bagaimanapun generasi muda kita seolah kehilangan teladan, kehilangan harapan, dan tak lagi memiliki impian hingga tidak melihat perlunya setia di jalan kebaikan, serta menghindari tindak kriminal.
 
 

Bagaimanapun generasi muda kita seolah kehilangan teladan, kehilangan harapan, dan tak lagi memiliki impian hingga tidak melihat perlunya setia di jalan kebaikan, serta menghindari tindak kriminal.

Apakah ringannya langkah mereka --nyaris tanpa berpikir panjang saat membunuh merupakan upaya pelarian? Ketika anak-anak muda kita merasa tidak menemukan bayang masa depan yang menjanjikan?

Seorang teman pernah juga mengatakan, mungkin ini karena hukum terlalu ringan untuk kriminalitas yang dilakukan anak di bawah umur, meski kejahatan mereka serius hingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa.

Ya Allah… terlalu banyak pekerjaan rumah, perenungan yang harus dilakukan. Yang pasti, generasi muda kita meski sebagian menoreh prestasi dan membanggakan, banyak yang tidak sedang baik-baik saja.

Atas nama setiap korban jiwa yang jatuh, kita tak hanya harus prihatin dan khawatir, tetapi wajib segera membuat langkah-langkah konkret. Evaluasi dan perbaikan di sistem pendidikan, pendidikan agama, parenting, hukum, dan lain-lain.

Krisis kemanusiaan yang menyapa generasi kita kian dini merupakan situasi darurat untuk diatasi. Ini penting agar tak ada lagi di antara pelajar dan anak muda kita yang menghilangkan nyawa, semudah menepuk nyamuk.

Kenangan di Kamp Konsentrasi Yahudi Tangerang

Yahudi Shepardic dari Surabaya meminta dapur halal.

SELENGKAPNYA

20 Tahun Lalu, Perang Jahanam Itu Dimulai

Invasi AS ke Irak menimbulkan dampak panjang pada dunia.

SELENGKAPNYA

Megahnya Baghdad Sebelum Perang

Baghdad merupakan kota paling maju pada masa keemasannya.

SELENGKAPNYA