
Kronik
Kenangan di Kamp Konsentrasi Yahudi Tangerang
Yahudi Shepardic dari Surabaya meminta dapur halal.
Oleh TEGUH SETIAWAN
Bagi kebanyakan orang Tangerang, tidak ada yang istimewa dari bangunan di pojok Jl M Yamin, Kotamadya Tangerang, yang sekian lama menjadi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wanita Kelas II. Tapi, bagi seluruh anggota Tempo Dulu Foundation, bangunan itu menyimpan kenangan menyakitkan.
Tempo Dulu Foundation adalah organisasi kecil yang menghimpun orang-orang Yahudi yang pernah tinggal di Indonesia semasa pendudukan Jepang. Gedung yang kini menjadi Lapas Wanita Kelas II Tangerang bekas kamp konsentrasi Yahudi antara tahun 1943 sampai kedatangan sekutu ke Indonesia.
Anggota Tempo Dulu Foundation adalah individu dari tiga kelompok Yahudi di Indonesia era pendudukan Jepang. Pertama, Yahudi campuran Belanda—dan pemukim kulit putih lainnya—yang sekian generasi berada di Hindia-Belanda.
Kedua, Yahudi Baghdadi, atau orang Yahudi asal Irak dan kebanyakan bermukim di kawasan Arab di Surabaya. Ketiga, Yahudi yang lari dari negara-negara Eropa sebelum Adolf Hitler menjarah Eropa dan mengobarkan Perang Dunia II.

Mereka menghuni kamp konsentrasi Yahudi di Tangerang saat masih anak-anak. Selama di dalam kamp, mereka dipisahkan tinggal bersama ibu mereka. Sedangkan, ayah mereka tinggal di bagian lain di dalam kamp atau di kamp lain.
Pada waktu-waktu tertentu mereka berkumpul untuk sekadar mengulang-ulang cerita tentang masa-masa indah di Hindia-Belanda atau mengenang saat-saat menyedihkan berada di kamp konsentrasi di Tangerang. Namun, dibanding saudara mereka yang menghuni kamp-kamp konsentrasi di Eropa, nasib mereka jauh lebih baik.
Jepang tidak memiliki kebencian terhadap Yahudi sehingga tidak ada kamar gas seperti di kamp-kamp di Eropa semasa Perang Dunia II. Tidak pula ada pembantaian atau pembunuhan massal. Yang ada adalah ketidakcukupan fasilitas dan kekurangan pangan.
Regina Sassoon, kini berusia 95 tahun, adalah salah satu anggota Tempo Dulu Foundation. Lahir dari keluarga Yahudi Baghdadi, Regina menghabiskan masa kecilnya di Surabaya.
Yang ada adalah ketidakcukupan fasilitas dan kekurangan pangan.
Suzzane Lehrer, lahir di Wina pada 1934, adalah pelarian dari Austria. Bersama orang tuanya, Suzzane meninggalkan Austria pada 1938 dan mencari penghidupan baru di Hindia-Belanda. Di Batavia, keluarga Lehrer hanya sempat hidup menyenangkan selama empat tahun dan menjalani tahun-tahun berikutnya mereka hidup di kamp tawanan dan kamp konsentrasi Yahudi.
Terjebak
Tempo Dulu Foundation bukan satu-satunya komunitas masyarakat Yahudi asal Indonesia. Lainnya terdapat di Los Angeles, rumah bagi sebagian besar Yahudi Baghdadi yang beremigrasi pada 60-an atau ketika sentimen anti-Belanda mencuat akibat krisis Irian. Migrasi berikut terjadi setelah Peristiwa G30S PKI.
Mereka yang bermukim di Los Angels, AS, mendirikan perkumpulan dan menerbitkan buletin secara berkala. Buletin berisi kenangan-kenangan akan Indonesia, terutama Surabaya dan kamp konsentrasi di Tangerang.
Di Belanda, Yahudi penghuni kamp konsentrasi Tangerang—meski tidak berhimpun—menulis kenangannya di website, atau dalam buku. Anne-Ruth Wertheim, misalnya, menuliskan pengalamannya dalam buku The Goose Snatches the Bread from the Ducks. Lydia Chagoll meluncurkan Six Years and Six Month.
Di Batavia, keluarga Lehrer hanya sempat hidup menyenangkan selama empat tahun.
Miep Bakker mengabadikan kenangan menjalani hidup di kamp konsentrasi di Tangerang dalam Camp Memories, life in the Japanese camps Tangerang and Adek. Sedangkan, Jessica Champagne, bersama pria asal Aceh bernama Teuku Cut Mahmud Aziz, menulis artikel The Jews of Surabaya di Latitudes Magazine.
Hampir semua buku berkisah tentang pengalaman pengarang, situasi kamp konsentrasi, perlakuan tentara Jepang terhadap mereka, serta situasi pascakekalahan Jepang. Kisah dimulai dengan kehidupan para penulisnya sebelum Perang Dunia II meletus, dan hubungan masing-masing dengan masyarakat multikultur di Hindia-Belanda.
Rob Casutto, dalam Jews in Netherland Indie, mengawali kisah keluarganya dengan kedatangan kakek dan nenek mereka pada 1915. Kakek dari ayahnya berprofesi sebagai pengacara dan guru. Sedangkan, kakek dari ibu menempuh pendidikan di Royal Military Academy di Belanda, dan terdaftar sebagai perwira KNIL.
Seperti kebanyakan keluarga Yahudi Azkenazi di Batavia, keluarga Casutto relatif tidak lagi menjalankan tradisi Judaisme. Mereka bahkan merayakan Natal dan hari-hari besar Kristen lainnya. Beberapa anggota keluarga Casutto berusaha melepaskan ‘label’ Yahudi yang melekat di dirinya, dan berbaur dengan masyarakat kulit putih yang bermukim di Bandung.
Mereka bahkan merayakan Natal dan hari-hari besar Kristen lainnya.
Sebelum 1926, Freemason lebih menarik bagi Keluarga Casutto. Bersama masyarakat Yahudi lainnya, mereka kerap hadir di loji Masonic di Bandung, dan terlibat dalam diskusi tentang Tuhan tapi menolak berbicara soal agama.
Di loji Freemason mereka merayakan semua hari besar keagamaan Kristen dan Judaisme. Mereka terlibat dalam perayaan Natal, Yom Kippur, sampai Hanukkah. Setelah 1926, terutama setelah kedatangan Israel Cohen, Yahudi di Bandung dan kota-kota besar di Jawa dan Sumatra mulai mengenal Zionisme.
Kedatangan Jepang mengubah segalanya. Salah satu anggota Keluarga Casutto yang bertugas di KNIL harus menerima kenyataan pahit. Ditangkap Jepang dan dikirim ke Burma untuk menjadi Romusha. Lainnya menghuni kamp interniran dan akhirnya dikirim ke kamp konsentrasi di Tangerang.
Casutto juga bercerita tentang suami-istri Szymon Goldberg dan Lily Kraus, pemain biola dan piano terkemuka di Hindia-Belanda saat itu. Keduanya melarikan diri dari Jerman tahun 1942. Saat melakukan serangkaian tur ke kota-kota di Hindia-Belanda, Goldberg dan Krauss ditangkap tentara Jepang dan dijebloskan ke kamp tahanan di Tangerang.
Perwira Jepang sering memanfaatkan keduanya sebagai penghibur, yang membuatnya diperlakukan berbeda di kamp tahanan. Namun, semua ‘kemewahan’ itu sirna setelah Jepang memisahkan Yahudi dari tawanan kulit putih lainnya.
Perwira Jepang sering memanfaatkan keduanya sebagai penghibur.
Goldberg dan Kraus harus berpisah kamar. Golberg menempati kamar sendiri. Krauss harus berbagi tempat dengan wanita dan anak-anak di ruang terbuka yang cukup besar di dalam kamp.
Miep Bakker menulis Kraus menghabiskan hari-harinya dengan belajar. Ia masih diperbolehkan memainkan piano, yang membuatnya bisa menggelar konser sebulan sekali di dalam kamp konsentrasi.
Setelah Jepang menyerah, dan sekutu tiba, Golberg dan Kraus melanjutkan kariernya sebagai pemusik. Kraus masih piawai memainkan jemarinya di atas tuts piano, kendati tangannya rusak.
Melukis
Anne-Ruth mengawali kisah dengan kehidupan mewah Keluarga Wertheim di Jakarta. Ada foto-foto dirinya saat dimandikan pengasuh pribumi, dan saat dia berusia empat tahun. Namun, tidak ada foto saat dia dan ibunya menghuni kamp konsentrasi.
Ia memperkirakan sekitar 2.000 orang menghuni kamp konsentrasi Yahudi di Tangerang. Mereka terdiri dari berbagai latar belakang dan kebangsaan. Namun, yang paling menonjol adalah Yahudi Baghdadi asal Surabaya. Mereka berpakaian tidak ubahnya orang Arab, dan terkenal temperamental.
Sekitar 2.000 orang menghuni kamp konsentrasi Yahudi di Tangerang.
Irakers, demikian mereka disebut, cenderung membedakan diri dari Yahudi lain. Mereka adalah Yahudi Shepardic sedangkan lainnya adalah Azkenazim. Mereka lebih religius dan tetap menjalankan ritual Judaisme.
Tidak ada yang dilakukan para wanita Yahudi di dalam kamp. Orang tua Anne-Ruth membunuh waktu dengan melukis. Ia melukis situasi kamp, menara penjaga, dan gerbang kamp. Sebelum menjadi kamp konsentrasi Yahudi, bangunan ini digunakan pemerintah Hindia-Belanda sebagai tahanan wanita.
Pada 2010, Anne-Ruth—bersama suami dan salah satu anaknya—kali ketiga mengunjungi bekas kamp konsentrasi Tangerang yang kini kembali menjadi penjara wanita. Ia berdialog dengan salah seorang tahanan yang menghuni sel.
Kisah paling dramatis dilukiskan Lydia Chagoll. Pada 1940, bersama kedua orang tuanya dan kakak perempuannya meninggalkan diri dari Belgia untuk menghindari kekajaman Nazi.
Pelarian keempatnya dimulai dari Brussels menuju Prancis, yang saat itu belum jatuh ke tangan Nazi, lalu ke Portugal. Dari Portugal, Keluarga Chagoll berlayar ke Mozambique—tanah jajahan Portugal di Afrika.
Ia melukis situasi kamp, menara penjaga, dan gerbang kamp.
Keempatnya melanjutkan perjalanan ke Afrika Selatan untuk mendapatkan kapal yang akan membawanya ke Batavia. Seluruh perjalanan menghabiskan waktu hampir dua tahun.
Hanya beberapa hari setibanya di Tajung Priok, Jepang mendarat di Pulau Jawa. Keluarga Chagoll digiring ke kamp tahanan di Tjideng dan akhirnya menghuni kamp konsentrasi Yahudi di Tangerang.
Di kamp, Chagoll bercerita tentang wahita Yahudi Baghdadi yang kerap membuat gaduh, berpakaian ala wanita Arab, serta tak segan melakukan tindak kekerasan kepada siapa pun yang mengganggu mereka. Irakers, demikian Yahudi Baghdadi dipanggil, kerap menyimpan misteri.
Jepang, menurut Chagoll, tidak mampu mengatasi ulah Yahudi Baghdadi. Setiap orang di kamp sebisa mungkin tidak menjalin kontak dengan mereka. Irakers menjadi terasing di tengah Yahudi senasib. Mereka memegang teguh tradisi Yahudi dengan meminta Jepang membangun dapur halal (kosher kitchen) untuk mereka.
Irakers memang berbeda dengan Azkenazi atau kebanyakan Yahudi yang berbaur bersama penduduk Belanda dan kulit putih lainnya. Jepang semula keberatan menggiring mereka ke dalam kamp karena mereka mengindentifikasi diri sebagai orang Asia dan tinggal di perkampungan Arab. Namun, Dr Helmut Wohltaht, utusan Nazi yang tiba di Hindia-Belanda, memaksa penguasa Jepang menggiring Irakers ke dalam kamp.
Kisah kamp konsentrasi Yahudi di Tangerang berakhir Agustus 1945, setelah Jepang menyerah. Chagoll masih ingat bagaimana mereka dipindahkan dari Tangerang ke Batavia, dan menghuni kamp Adek di Tjideng. Lainnya menghuni kamp di Kramat dan Tanah Tinggi. Sebelum sekutu datang, seluruh penghuni kamp menikmati makanan terbaik. Jepang berusaha berbaik hati, sebelum dilucuti.
Kisah-kisah dari kamp konsentrasi Yahudi di Tangerang masih didengar generasi esok karena banyak yang didokumentasikan dengan baik. Namun, kamp ini tidak akan menjadi daerah tujuah wisata karena Indonesia tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Disadur dari Harian Republika edisi Senin, 16 September 2013.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Nyawa tanpa Nilai
Generasi muda kita seolah kehilangan teladan, kehilangan harapan, dan tak lagi memiliki impian.
SELENGKAPNYA20 Tahun Lalu, Perang Jahanam Itu Dimulai
Invasi AS ke Irak menimbulkan dampak panjang pada dunia.
SELENGKAPNYAMegahnya Baghdad Sebelum Perang
Baghdad merupakan kota paling maju pada masa keemasannya.
SELENGKAPNYA