Seorang pedagang mengambil campuran minyak wangi di sebuah toko produk-produk khas Timur Tengah, di Condet, Jakarta Timur. | Republika/ Aditya

Kronik

Jejak Arab

Migrasi warga Arab diawali setelah terjadinya perpecahan besar di antara umat Islam.

Oleh SELAMAT GINTING

Saat menikmati tengkleng, makanan khas Solo, di Pasar Kliwon, datang serombongan orang dengan penampilan khas. Mereka juga memesan tengkleng. Kami sama-sama menikmati makanan yang terbuat dari sumsum dan kepala kambing.

“Makanan ini cocok untuk lidah kami, keturunan Arab. Apalagi, kami menyukai daging kambing,” kata salah seorang memulai pembicaraan.

Mereka mengaku warga asli Pasar Kliwon, Solo, dan tinggal di perkampungan Arab. Selain di Kelurahan Pasar Kliwon, banyak juga yang tinggal di Kelurahan Semanggi dan Kedung Lumbu. Rupanya pengaturan penempatan Kampung Arab secara berkelompok tersebut sudah di atur sejak zaman penjajahan Belanda.

Etnis Arab mulai datang di Pasar Kliwon diperkirakan sejak abad ke-19. Terbentuknya perkampungan di Pasar Kliwon selain disebabkan oleh adanya politik pemukiman pada masa kerajaan, juga tidak terlepas dari kebijakan pemerintah kolonial.

 
Etnis Arab mulai datang di Pasar Kliwon diperkirakan sejak abad ke-19.
 
 

“Ada orang Arab Solo yang jadi menteri loh, Mas, katanya. Ia pun menyebut nama Menteri Sosial Salim Segaf al-Jufri yang masa kecilnya tinggal di Mertodranan, Pasar Kliwon, Solo. Dia pun menunjukkan rumah keluarga Salim Segaf al-Jufri yang berada di dekat SD Diponegoro.

Ya, bukan cuma Salim warga keturunan Arab yang pernah dipercaya menjadi menteri. Bersama dia ada juga Fadel Muhammad Alhadar, mantan menteri kelautan dan perikanan. Sebelumnya ada yang duduk di kabinet, seperti AR Baswedan, Ali Alatas, Fuad Hasan, Marie Muhammad, Fuad Bawazier, Quraish Shihab, Alwi Shihab, dan Said Agil Almunawar.

Warga keturunan Arab adalah penduduk Indonesia yang memiliki keturunan etnis Arab dan etnis pribumi Indonesia. Pada mulanya mereka tinggal di perkampungan Arab yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.

Pada zaman penjajahan Belanda, mereka dianggap sebagai bangsa Timur Asing. Tapi, tidak sedikit kaum Arab yang berjuang membantu kemerdekaan Indonesia.

 
Pada zaman penjajahan Belanda, mereka dianggap sebagai bangsa Timur Asing.
 
 

Hadramaut

Migrasi warga Arab ke berbagai penjuru dunia diawali setelah terjadinya perpecahan besar di antara umat Islam. Terutama, setelah terbunuhnya khalifah keempat Ali bin Abi Thalib. Ketika Imam Ahmad al-Muhajir hijrah dari Irak ke daerah Hadramaut di Yaman sekitar seribu tahun yang lalu, keturunan Ali bin Abi Thalib ini membawa serta 70 orang keluarga dan pengikutnya.

Sejak itu berkembanglah keturunannya hingga menjadi kabilah terbesar di Hadramaut. Dari kota inilah asal mula dari berbagai koloni Arab yang menetap dan bercampur menjadi warga negara di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. Selain di Indonesia, warga Hadramaut ini juga banyak terdapat di Oman, India, Pakistan, Filipina Selatan, Malaysia, dan Singapura.

Terdapat pula warga keturunan Arab yang berasal dari negara-negara Timur Tengah dan Afrika lainnya di Indonesia, misalnya, dari Mesir, Arab Saudi, Sudan, atau Maroko. Tetapi, jumlahnya lebih sedikit daripada mereka yang berasal dari Hadramaut.

 
Sejak itu berkembanglah keturunannya hingga menjadi kabilah terbesar di Hadramaut.
 
 

Kedatangan koloni Arab dari Hadramaut ke Indonesia diperkirakan terjadi dalam tiga gelombang utama. Dimulai pada abad 9-11 Masehi dengan berdirinya Kerajaan Perlak I (Aceh Timur) pada 1 Muharram 225 H (840 M).

Artinya, hanya dua abad setelah wafatnya Rasulullah. Di situ, salah seorang keturunannya, yaitu Sayyid Ali bin Muhammad Dibaj bin Ja’far Shadiq, hijrah ke Kerajaan Perlak. Ia kemudian menikah dengan adik kandung Raja Perlak, Syahir Nuwi.

Dari pernikahan ini lahirlah Abdul Aziz Syah sebagai Sultan (Raja Islam) Perlak I. Catatan sejarah ini resmi dimiliki Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur dan dikuatkan dalam seminar sebagai makalah “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh” pada 10 Juli 1978 oleh Profesor Ali Hasymi.

Kemudian, pada abad 12-15 Masehi. Masa ini adalah masa kedatangan para datuk dari Wali Songo yang dipelopori oleh keluarga besar Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat yang masih keturunan Syekh Muhammad Shahib Mirbath dari Hadramaut.

Ia bersama putra-putranya berdakwah jauh ke seluruh pelosok Asia Tenggara hingga nusantara dengan strategi utama menyebarluaskan Islam melalui pernikahan dengan penduduk setempat, utamanya dari kalangan istana-istana Hindu.

 
Artinya, hanya dua abad setelah wafatnya Rasulullah.
 
 

Abad 17-19 merupakan gelombang terakhir, ditandai dengan hijrah massalnya para Alawiyyin Hadra maut yang menyebarkan Islam sambil berdagang di nusantara. Kaum pendatang terakhir ini berbeda dengan pendahulunya, tidak banyak melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi.

Ditandai dengan marga yang kita kenal sekarang, seperti Alatas, Assegaf, Al-Jufri, Alaydrus, Shihab, Shahab, dll. Hal ini dapat dimengerti karena marga-marga ini baru terbentuk belakangan.

Tercatat dalam sejarah Hadramaut, marga tertua adalah As-Saqqaf (Assegaf) yang menjadi gelar bagi Syekh Abdurrahman bin Muhammad al-Mauladdawilah setelah ia wafat pada 731 H atau abad 14-15 M. Sedangkan, marga-marga lain terbentuk belakangan, umumnya pada abad ke-16. Biasanya nama marga diambil dari gelar seorang ulama setempat yang sangat di hormati. Hingga sekarang ada sekitar 200 marga.

Saat ini diperkirakan jumlah keturunan Arab Hadramaut di Indonesia lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah mereka yang ada di tempat leluhurnya sendiri.

Disadur dari Harian Republika edisi Rabu, 28 Maret 2012.

Nyawa tanpa Nilai

Generasi muda kita seolah kehilangan teladan, kehilangan harapan, dan tak lagi memiliki impian.

SELENGKAPNYA

Kenangan di Kamp Konsentrasi Yahudi Tangerang

Yahudi Shepardic dari Surabaya meminta dapur halal.

SELENGKAPNYA

Literasi Zakat Warga Muhammadiyah di Atas Rerata Nasional

Survei dilakukan untuk memetakan literasi zakat warga Muhammadiyah, khususnya kaum muda.

SELENGKAPNYA