Kuntowijoyo | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Gugurnya Mitos-Mitos Politik

Pada awal pergerakan nasional perbedaan antara Islam dan sekuler tidak dirasakan.

Oleh KUNTOWIJOYO

OLEH KUNTOWIJOYO

Dalam sebuah cerita pendek Metamorphosis, Franz Kafka (Austria, 1883-1924) menceritakan seseorang yang tanpa sepengetahuannya tiba-tiba berubah jadi besar dan mengancam keselamatan orang lain. Pengalaman semacam itu dialami Hari dan Sumanto, keduanya penduduk desa di Klaten, Jawa Tengah.

Sehari-harinya, Hari bekerja sebagai pembuat kancing baju di sebuah usaha penjahitan. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga ia juga mencari ikan di sungai dengan jala atau memasang perangkap ikan.

Sumanto adalah pekerja serabutan: mengangkut bata, memanjat kelapa, menggali lubang, membuat pagar, dan sebagainya. Tapi, tiba-tiba dua orang itu dituduh melawan negara, mendirikan Negara Islam, dan anti-Pancasila.

Peristiwa absurd itu diketahui kawan saya pada 1982, waktu dia pulang ke desa untuk sebuah pengajian memperingati 1.000 hari meninggalnya kakeknya. Kedua orang itu dimasukkan penjara di Ambarawa selama sembilan bulan.

Entah apa yang terjadi di penjara, tapi sejak pulang dari penjara, Hari jadi bongkok dan berjalan dengan tongkat. Sumanto lebih celaka lagi. Ia tidak pernah sembuh dari sakit, dan tiga bulan sesudah keluar dari penjara meninggal.

Cerita semacam itu hampir saja mengenai kawan saya. Padahal, kawan saya sudah berusaha jadi warga negara yang baik. Ia menulis untuk Wanhankamnas, di antaranya soal Pancasila. Pada suatu hari, di tahun 1985, ia dipanggil Laksusda Jawa Tengah, dengan tuduhan anti-Pancasila.

 
Kisah kawan itu mustahil terjadi pada 1995, ketika Islamophobia di kalangan birokrat dan tentara sudah hilang.
 
 

Dia harus menghadapi seorang kapten yang mula-mula memanggil dia hanya dengan namanya -- satu hal yang tidak biasa baginya karena di sekolah dia biasa dipanggil "Pak".

Aneh, seumur hidupnya baru kali itu tangannya gemetar waktu harus menuliskan identitasnya. Barangkali karena dia melihat pistol di dinding, dan diberitahu bahwa dapat saja dia disuruh "menginap".

Tapi, pengalaman pahit itu berlalu juga. Pada perjumpaan kedua, panggilannya sudah bertambah dengan "Saudara", dan pada perjumpaan ketiga dia sudah merasa direhabilitasi karena dia sudah dipanggil "Pak".

Bahkan, kepadanya juga ditunjukkan sejumlah file dari orang-orang yang akan mendirikan "Negara Islam" dan senjata yang ditemukan di sumur seorang tertuduh. Pengalaman kawan itu ternyata masih berlanjut.

Dia sudah memberikan makalah untuk seminar tentang Kamtibmas Polwil Jawa Timur, sebuah kertas kerja untuk Polri, memberikan prasarana untuk seminar Angkatan Darat, dan ikut ke Seskoad di Bandung untuk mempersiapkan Seminar Angkatan Darat. Tapi hasilnya? Undangannya untuk Seminar Angkatan Darat tahun 1991 datang terlambat -- hal yang tidak terjadi sebelumnya.

Dia selalu diundang dalam sarasehan di pendapa Taman Siswa dalam rangka Harpenas. Tapi, sekalipun belum pernah dia diundang ke Ambarukmo Palace Hotel dalam acara yang sama ketika seorang petinggi ABRI datang.

Padahal dia merasa layak diundang ketika bahkan kawan-kawannya dari Yogyakarta dan Jakarta yang lebih junior datang. Dia berpikir, pasti ada yang salah tempat. Hanya pikiran bahwa hidup itu absurd dan penuh misteri, dia dapat melupakan hal-hal "kecil" itu.

 
Mitos ini umurnya sangat tua, setua kolonialisme di Indonesia.
 
 

Kisah kawan itu mustahil terjadi pada 1995, ketika Islamophobia di kalangan birokrat dan tentara sudah hilang. Tidak akan ada lagi mahasiswa yang dengan senyum-senyum bilang, "Wah, ceramah Bapak tadi malam ilmiah." Bagaimana ia tahu bahwa ceramah itu ilmiah, padahal ceramah diselenggarakan di mushala, dan ia beragama Kristen!

Pada 1995, khususnya dengan Muktamar II ICMI, beberapa mitos politik telah gugur. Setidaknya ada empat mitos yang gugur waktu itu: (1) pembangkangan Islam; (2) dua macam ulama: ulama negara dan ulama rakyat; (3) tradisionalis versus modernis; dan (4) Islam versus sekuler.

(1) Mitos pembangkangan Islam. Mitos ini umurnya sangat tua, setua kolonialisme di Indonesia. Hampir semua perlawanan terhadap kolonialisme memakai simbol-simbol Islam untuk memobilisasi penduduk karena itu Islam demikian dibenci oleh penjajah.

Diponegoro memakai sorban dan pakaian serba putih dalam perlawanannya terhadap Belanda. Dia juga merekrut seorang kiai, Kiai Mojo.

Imam Bonjol juga melawan Belanda atas nama Islam. T Ibrahim Alfian dalam "Perang di Jalan Allah" dan Eros Djarot membuat film "Tjoet Njak Dhien" untuk melukiskan betapa melawan kape telah menggerakkan rakyat Aceh.

Dalam revolusi, ada laskar Hizbullah dan Sabilillah; pekik "Allahu Akbar" Bung Tomo telah menggerakkan arek-arek Suroboyo melawan Inggris; dan Angkatan Oemat Islam aktif bergerilya di Jawa Tengah Selatan.

Dengan demikian, Islam sekaligus dicintai, ditakuti, dan dibenci. Keadaan itu berlanjut setelah Proklamasi, sebagian karena kesalahan umat Islam, sebagian karena ada kepentingan politik yang berusaha melestarikan mitos itu.

Pada 1948, SM Kartosuwiryo mengumumkan berdirinya Negara Islam Indonesia. Dia mendapat pengikut dari Angkatan Oemat Islam, Daud Beureueh, Kahar Muzakkar, dan sebagainya. Sebab dari pemberontakan itu bisa bersifat lokal, misalnya ada yang menjelaskan pemberontakan Kahar Muzakkar dengan psikologi etnis sirik, tapi pemberontakan tetaplah pemberontakan.

 
Jadi, meskipun arus utama umat Islam ada di belakang NKRI, mitos pembangkangan itu tetap hidup.
 
 

Jadi, meskipun arus utama umat Islam ada di belakang NKRI, mitos pembangkangan itu tetap hidup. Dengan dibukanya Muktamar I dan Muktamar II ICMI oleh Presiden RI, mitos tentang pembangkangan itu gugur.

(2) Mitos dua macam ulama: ulama negara dan ulama rakyat. Serat Babad Kaliwungu mengisahkan perlawanan Abdul Kadir alias Secayuda alias Raja Darap pada kekuasaan Belanda dan Sunan Surakarta pada 1763 yang berpusat di Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah.

Buku itu menunjukkan peran ulama yang berpihak pada kerajaan, yaitu Pangeran Wijil, yang silsilahnya dapat dirunut sampai Sunan Kalijaga.

Dikatakan bahwa sudah sepatutnya raja mencari nasihat para ulama karena merekalah yang tahu soal hukum. Berkat nasihat Pangeran Wijil itulah Abdul Kadir dikalahkan.

Serat Cebolek terbitan Depdikbud menceritakan pembelotan KH Rifa'i yang ditangkap Belanda pada 1859 dan dibuang ke Ambon.

Dikisahkan adanya dua macam ulama: Haji Pinang, penghulu Batang, yang mewakili pemerintah kolonial berdebat dengan KH Rifa'i, dari desa Kalisasak di Pekalongan, yang mewakili rakyat. Haji Pinang dilukiskan sebagai pintar, bicaranya lancar, mengutip kitab dengan persis karena tahu maknanya. Sementara itu KH Rifa'i dilukiskan sebagai selalu kalah berdebat.

 
Dikatakan bahwa sudah sepatutnya raja mencari nasehat para ulama sebab merekalah yang tahu soal hukum.
 
 

Ketika ia kalah berdebat mukanya pucat seperti kertas, keringatnya keluar, menoleh-noleh ke belakang mencari pertolongan muridnya, tapi ketika muridnya menyodorkan buku menunjukkan jawabnya ia membentak bengis karena malu. Gambaran tentang ulama negara dan ulama rakyat terus ada sebab ada ulama yang jadi pegawai Depag dan ada ulama yang punya pesantren.

Dalam penutupan Muktamar II ICMI hadir KH Umar Nasir, Imam Besar masjid Istiqlal, yang menjadi imam pada upacara-upacara kenegaraan, dan dapat dipandang sebagai ulama negara, serta Dr Anwar Harjono dari Dewan Dakwah Islamiyah yang mewakili ulama rakyat.

Kehadiran KH Hasan Basri dari MUI, sebuah lembaga yang setengah-resmi, melengkapi peta baru Islam itu.

(3) Mitos pertentangan tradisional versus modernis. Mitos ini belum begitu lama masuk dalam sejarah. Berasal sekitar tahun 1926 ketika NU berdiri, dan mengritik SI karena terlalu berpolitik dan melupakan substansi keagamaan, serta Muhammadiyah yang dipandang sebagai bukan ahlussunnah wal jama'ah karena tidak bermazhab.

Pertentangan dilembagakan ketika NU keluar dari Masyumi pada 1952, yang dipersangkakan condong kepada modernis. Sejak itu NU dan Masyumi selalu berseberangan dalam politik.

NU yang besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur merasa lebih enak duduk dengan PNI dan PKI yang juga berbasis di Jawa. Masyumi meskipun besar di Jawa Barat dan luar Jawa, tapi selalu dipandang sebagai partai luar Jawa.

Masalah primordialisme kedaerahan yang sudah selesai bagi SI pada dasawarsa 1910-an dengan jadinya Agus Salim dan Abdul Muis tokoh SI di Jawa masih dilestarikan dalam mitos ini.

 
Masyumi meskipun besar di Jawa Barat dan luar Jawa, tapi selalu dipandang sebagai partai luar Jawa.
 
 

Selain soal kedaerahan, juga kebanyakan tokoh NU berasal dari pesantren. Sedangkan kebanyakan tokoh Masyumi adalah orang sekolahan yang dalam konteks tahun 1950-an adalah didirikan Barat.

Mitos bahwa terdapat perbedaan tajam antara tradisionalis dan modernis itu berlanjut, meskipun kenyataan sosial sudah berubah. Perubahan itu berasal dari adanya pendidikan agama yang seragam antara anak-anak orang tradisionalis dan modernis yang mengunjungi sekolah-sekolah umum.

Adanya IAIN yang nonsektarian membuat pengetahuan agama di Indonesia mengalami internasionalisasi. Namun, mitos ini masih berkembang sampai awal 1980-an di Timur Tengah dan Eropa, tempat banyak mahasiswa Indonesia merantau, dan di Indonesia masih berkembang sampai sekarang.

Di luar negeri ada mitos tentang "bintang sembilan" -- yang berarti NU -- dan "bintang satu" -- yang berarti Masyumi. Namun, ada usaha-usaha dari kedua pihak untuk mengakhiri mitos yang ketinggalan zaman itu.

Dalam kepengurusan ICMI hasil Muktamar II, KH Ali Yafie, dari NU dan tradisi pesantren, adalah Ketua Dewan Penasihat; dan Dr HM Amien Rais, dari Muhammadiyah dan berpendidikan "Barat" adalah Ketua Dewan Pajak.

(4) Mitos pertentangan Islam versus sekuler. Pada awal pergerakan nasional perbedaan antara Islam dan sekuler tidak dirasakan. Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) yang mewakili orang sekuler adalah anggota SI di Bandung.

H Samanhudi dan Ahmad Dahlan menjadi pengurus Budi Utomo, masing-masing di Surakarta dan Yogyakarta. Dwijosewoyo dari Budi Utomo menjamin ketika pada 1914, Ahmad Dahlan akan mendirikan sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta.

 
Pada awal pergerakan nasional perbedaan antara Islam dan sekuler tidak dirasakan.
 
 

Mitos itu baru muncul ketika timbul PKI (Partai Komunis Indonesia) pada 1920, yang memaksa SI mengadakan kristalisasi. Dalam kongres Oktober 1921, SI menegakkan "disiplin partai" dengan maksud mengeluarkan PKI dari SI. Mungkin mitos itu berasal dari kenyataan politik bahwa orang Islam harus membedakan diri dengan kaum sekuler.

Pada 1924, Tjokroaminoto memberi ideologi sosialis pada SI dengan menerbitkan buku tentang Sosialisme Islam. Mitos itu dikukuhkan dengan tulisan Soekarno, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme tahun 1926. Sejak itulah dengan jelas Islam berbeda dengan nasionalisme dan Marxisme yang sekuler.

Yang masih harus diteliti adalah kapan timbul istilah "nasionalis Islam" dan "nasionalis sekuler". Perbedaan antara Islam dan sekuler dijembatani oleh sebuah partai Permi (Persatuan Muslim Indonesia) yang didirikan pada 1930 di Minangkabau oleh Ilyas Yacub dan Muchtar Lutfi yang bersemboyan Islam dan Kebangsaan.

Tapi, tokoh-tokoh itu dibuang ke Digul pada 1932-1934, dan nasib dari partai itu tidak diketahui. Dalam Muktamar II ICMI, duduk Sumitro Djojohadikusumo yang dulu adalah tokoh PSI (Partai Sosialis Indonesia), sebuah partai sekuler. Maka, gugurlah mitos pertentangan antara Islam dan sekuler.

Mitos (1) dan (2) berasal jauh dalam sejarah, sedangkan mitos (3) dan (4) relatif baru. Kalau mitos (3) dan (4) dengan sendirinya harus hilang dalam negara nasional yang berdasarkan Pancasila, maka mitos (1) dan (2) masih tetap merupakan "ujian" bagi bangsa.

Sebab, ada orang dan kelompok yang punya kepentingan dengan lestarinya mitos-mitos politik itu.

Disadur dari Harian Republika edisi 20 Maret 1996. Kuntowijoyo (1943-2005) adalah guru besar UGM Yogyakarta. Ia salah satu cendekiawan Muslim paling berpengaruh di Indonesia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Selayang Pandang Kota Nabi

Dari sinilah, dakwah Islam pada masa Rasulullah SAW kian berkembang pesat.

SELENGKAPNYA

Sosok Reformis Dunia Pesantren

KH Wahab Chasbullah juga memprakarsai berdirinya Pesantren Putri Denanyar Jombang.

SELENGKAPNYA

Kegelisahan Warga NU Pinggiran

Sayangnya, akses yang begitu besar tersebut tidak pernah sampai ke tangan warga NU.

SELENGKAPNYA