
Tokoh
Sosok Reformis Dunia Pesantren
KH Wahab Chasbullah juga memprakarsai berdirinya Pesantren Putri Denanyar Jombang.
Tatkala DPR dibubarkan menyusul pembubaran Konstituante, lahirlah DPR Gotong Royong. Kelahiran DPR-GR ini memicu pro-kontra, termasuk di kalangan NU (Nahdlatul Ulama). Sebagian menolak kehadiran DPR-GR dan lebih memilih berada di luar gelanggang.
Sebagian lainnya setuju bergabung dengan mengusung prinsip "ber-amar ma'ruf nahi munkar dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja".
Pada forum Mubes (Musyawarah Besar) Partai NU diusulkan agar NU memanggil seluruh pimpinan wilayah di seluruh Indonesia guna memusyawarahkan apakah NU menerima DPR-GR atau tidak. Perdebatanpun berlangsung. Saat itulah tampil KH Abdul Wahab Chasbullah menyudahi perdebatan.
"Kita putuskan sekarang saja, karena waktunya sangat mendesak. Menunggu berlangsungnya musyawarah wilayah, kita bisa ketinggalan kereta api. Kita putuskan sekarang saja, kita masuk saja dulu dalam DPR-GR, setelah itu kita minta penegasan musyawarah antar-wilayah. Jika musyawarah antar-wilayah memutuskan kita harus masuk, kita sudah berada di dalamnya.
Selesai kan. Tapi, jika musyawarah memutuskan menolak DPR-GR, apa sulitnya kita keluar dari DPR-GR? Akan tetapi kalau sekarang ini kita menolak duduk di DPR-GR, lalu musyawarah antarwilayah memutuskan kita harus masuk ke DPR-GR, kita sudah terlambat. Pintu masuk sudah tertutup. Jadi, kita masuk dulu, keluarnya nanti gampang," demikian ujar Kiai Wahab meyakinkan forum.
Akhirnya NU menerima DPR-GR. Demikian antara lain ketokohan Kiai Wahab sebagaimana disajikan dalam buku bertajuk KH Abdul Wahab Chasbullah: Perintis, Pendiri dan Penggerak NU yang diterbitkan oleh Panitia Penulisan Buku Sejarah Perjuangan KH Abdul Wahab Chasbullah.
Kiai Wahab dilahirkan di Tambakberas, Jombang, pada 1888. Sampai usia 13 tahun, ia memperoleh pendidikan dari ayahandanya, KH Chasbullah di Pesantren Tambakberas, khususnya pendidikan Alquran dan tasawuf.
Setelah masa itu, Wahab menghabiskan masa mudanya dari satu pesantren ke pesantren lain guna menimba ilmu. Mulai dari Pesantren Mojosari, Nganjuk, Kediri, Kademangan, Bangkalan, sampai Pesantren Tebuireng Jombang. Wahab mengakhiri statusnya sebagai santri dengan belajar dan bermukim tiga tahun di Mekkah. Kala itu usianya 27 tahun.
Kiai Wahab menghabiskan masa mudanya dari satu pesantren ke pesantren lain guna menimba ilmu.
Karena tekun, Wahab hafal di luar kepala bait-bait nadham ilmu Nahwu seperti nadham Alfiyah dan Imrithi. Ia pun hafal nadham shalawat dan pujian kepada Rasulullah SAW seperti nadham Burdah dan Banat Suadu.
Ketika di Makkah ia menimba ilmu dari beberapa ulama asal Indonesia yang bermukim di sana, seperti: Syekh Mahfudz Termas, Syekh Muchtarom Banyumas, Syekh Ahmad Chatib Minangkabau, dan Syekh Asy'ari Bawean. Dari para guru itu, ia memperdalam tata bahasa Arab, fikih, 'arudh, dan ma'ani.
Di Mekkah, ia tak cuma belajar, namun juga aktif berorganisasi. Di Tanah Suci itu ia mendirikan Syarekat Islam cabang Mekkah. Kiai yang selalu mengenakan kain sarung plus kopiah putih dan sorban, itu memang dikenal sebagai kiai yang pintar beretorika dan piawai dalam berorganisasi. Karena itu tak mengherankan, jika sepulang dari Tanah Suci ia mendirikan organisasi Tashwirul Afkar (1918), Nahdlatut Tujjar (1918), dan Madrasah Nahdlatul Wathan (1916) di Surabaya.
Tak cuma itu, saat bersamaan di pesantrenya Tambakberas, Kiai Wahab mendirikan Madrasah Mubdilfan (1918). Dan yang monumental, pada 1926 ia mendirikan Komite Hijaz yang merupakan cikal bakal berdirinya NU. Tak sebagaimana pesantren waktu itu --yang berjalan secara alamiah tanpa target tertentu-- kelompok pengajian/madrasah Mubdilfan ini dikelola secara klasikal dan menggunakan bangku.
Model pengajian yang dianggap menyerupai cara belajar yang dilakukan oleh Hindia Belanda ini, tentu saja ditentang oleh ayahnya sendiri, KH Chasbullah. Karena ditentang itu, ia pun memindahkan lokasi Madrasah Mubdilfan dari Pesantren Tambakberas ke pesantren asuhan pamannya Kiai Syafi'i, sekitar 1 km arah barat Pesantren Tambakberas. Namun, demi melihat pesantren ini banyak memberikan manfaat, Kiai Chasbullah akhirnya menerima kehadiran Mubdilfan.
Di Mekkah, ia tak cuma belajar, namun juga aktif berorganisasi. Di Tanah Suci itu ia mendirikan Syarekat Islam cabang Mekkah.
Kiai yang enerjik dan humoris ini juga memprakarsai berdirinya Pesantren Putri Denanyar Jombang, yang diasuh dan dikelola oleh KH Bisri Syansuri, iparnya. Pada saat itu, KH Hasyim Asy'ari kurang berkenan dengan kehadiran pesantren putri.
Lalu mengapa Kiai Wahab tak mendirikan sendiri pesantren putri?
Ada yang menilai, berdirinya pesantren putri di Denanyar itu sebagai semacam test case, apakah KH Hasyim Asy'ari bisa menerima kehadiran pesantren putri atau tidak. Sebab, pada akhirnya, Pesantren Tambakberas juga membuka pesantren putri.
Karena itu, melihat kiprah dan rintisannya di dunia pesantren, ia layak disebut sebagai seorang reformis dunia pesantren. Bahkan, dengan adanya Mubdilfan, boleh jadi Pesantren Tambakberas merupakan pesantren pertama di Jawa Timur yang mengadopsi sistem pendidikan di luar pesantren.
Demen kebangkitan
Kecuali menaruh perhatian di dunia politik dan pendidikan, Kiai Wahab juga mencurahkan perhatiannya pada bidang ekonomi. Pada tahun 1918, di tengah situasi sulit akibat penjajahan, Kiai Wahab mendirikan lembaga ekonomi yang dinamakan Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Para Saudagar). Lembaga ini merupakan koperasi dagang yang sahamnya dimiliki para kiai.
Ia memang dikenal sebagai pekerja keras. Wahab misalnya pernah berjualan nila dan pernah menjadi agen sebuah biro perjalanan haji, pedagang beras, grosir gula dan berdagang batu mulia. Karena itu kendati hidup sederhana, namun waktu itu ia dikenal sebagai kiai yang kaya.
Kala itu Kiai Wahab sudah memiliki mobil sedan buatan Amerika serta motor besar HD (Harley Davidson). Dengan motor HD-nya, ia kerap bolak-balik Surabaya-Jombang dengan mengenakan pakaian khasnya; sarung, sorban putih, dan sepatu.
Karena itu kendati hidup sederhana, namun waktu itu ia dikenal sebagai kiai yang kaya.
Kiai yang wafat pada 29 Desember 1971, itu memprakarsai pembentukan Komite Hijaz di rumahnya pada 31 Januari 1926. Para ulama yang hadir antara lain KH Mohammad Hasyim Asy'ari, KH Bisri Syansuri, KH Ridwan Semarang, KH Nahrawi Malang, KH Nawawi Pasuruan, dan KH Raden Asnawi Kudus. Pertemuan itu membuahkan dua keputusan penting.
Pertama, meresmikan dan mengukuhkan berdirinya Komite Hijaz sebagai delegasi ke Kongres Dunia Islam di Makkah guna memperjuangkan kepada Raja Ibnu Saud agar hukum-hukum Islam menurut madzhab yang empat mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaannya.
Kedua, membentuk jam'iyyah bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama) atau NU, sebagai wadah persatuan para ulama dalam tugasnya sebagai pemimpin umat menuju terwujudnya cita-cita izzul Islam wal Muslimin.
Walau Kiai Wahab sebagai penggagas pertemuan itu, namun nama NU diusulkan oleh KH Alwi Abdul Aziz dari Surabaya. Dan jabatan Rais Akbar diserahkan kepada KH Hasyim Asy'ari dan wakilnya KH Achmad Dahlan Surabaya. Sedangkan Presiden Tanfidziyah dipercayakan kepada Haji Hasan Gipo. Ia sendiri menduduki jabatan sebagai Katib 'Am Syuriah.
Kiai Wahab memang sangat menghormati KH Hasyim Asy'ari, yang juga gurunya itu, sebagaimana para kiai lainnya di Jawa yang sangat menghormati pendiri Pesantren Tebuireng Jombang itu. Memang, tanpa dukungan dan restu KH Hasyim Asy'ari organisasi NU tak bakal terbentuk.
Dr KH Idham Chalid: Dari Politik Beralih ke Pesantren
Ia menjabat ketua umum PBNU selama hampir tiga dasawarsa.
SELENGKAPNYASelayang Pandang Kota Nabi
Dari sinilah, dakwah Islam pada masa Rasulullah SAW kian berkembang pesat.
SELENGKAPNYAPerjalanan ke Pusat Semesta
Suku Koroway, Kombay, dan Citak percaya pada moyang awal yang bernama Saifafu.
SELENGKAPNYA