Anggota suku Kombay di pedalaman Kabupaten Mappi, Papua, beberapa waktu lalu. | Fitriyan Zamzami

Jelajah

Perjalanan ke Pusat Semesta

Suku Koroway, Kombay, dan Citak percaya pada moyang awal yang bernama Saifafu.

OLEH FITRIYAN ZAMZAMI

Istilah saudara-saudara di Papua, gaya Pace Ayob Yama bicara bahasa Indonesia “patah-patah.” Dari satu kata menuju kata yang lain tersendat, berbeda dengan rekan-rekannya di kota yang berbicara tangkas dan lugas.

Sukar menerka umur Ayob, kendati ada gurat tawa yang sudah membekas di dia punya pipi yang sewarna kayu jati. Ayob sendiri juga tak paham kapan ia lahir. Yang jelas, ia sempat menyaksikan dan masih ingat, saat beberapa orang misionaris Kristen dari Eropa menyambangi hutan tempat dia hidup, sekira tiga puluh tahun lalu.

Saya bertandang ke kampung Ayob pada akhir 2012 lalu. Ia adalah anggota Suku Koroway. Bersama suku Citak dan Kombay, mereka tersebar di pedalaman paling timur Papua. Dengan gaya bicaranya yang patah-patah itu, Ayob mencoba menjelaskan mitologi asal muasal sukunya.

Menurut Ayob, suku Koroway, Kombay, dan Citak percaya pada moyang awal yang bernama Saifafu. Moyang inilah yang pertama-tama menciptakan alam semesta. Ia kemudian mengisi dunia mula-mula dengan suku Koroway, Kombay dan Citak.

“Dengan otak,” kata Ayob menerangkan bagaimana Saifafu melakukan penciptaan. Ketika saya menanyai apakah maksudnya dengan pikiran, Ayob mengiyakan. “Seperti Tuhan Allah,” ujarnya mengingat ajaran para misionaris.

 
Menurut Ayob, suku Koroway, Kombay, dan Citak percaya pada moyang awal yang bernama Saifafu.
 
 

Selepas menciptakan ketiga suku, Saifafu kemudian menyebar mereka di rentang hutan-hutanan dan sungai. Sebagai berkah untuk ketiga suku, tempat mereka disebarkan kemudian dinobatkan Saifafu jadi pusat alam semesta.

Di salah satu lokasi di pusat dunia itulah saya menemui Ayob. Tepatnya di Kampung Basman, Distrik Ti Zain, Kabupaten Mappi, Papua. Namanya pusat dunia, mestinya daerah tempat tinggal suku Koroway, Kombay, dan Citak bisa relatif mudah dicapai dari mana saja. Namun tak demikian kenyataannya.

Kota “besar” yang paling dekat dengan Basman terletak di Kabupaten Merauke, Papua. Dari Bandara Merauke, mesti naik pesawat berisi 12 orang untuk sampai ke Kepi, ibukota kabupaten Mappi dengan jarak tempuh satu jam.

Dari Kepi, masih harus berperahu lagi menyusuri Sungai Daeram menuju Kampung Senggo di Distrik Citak Mitak selama tiga sampai lima jam tergantung kekuatan mesin perahu. Perahu harus singgah di Senggo guna mengisi bahan bakar untuk kemudian berjalan lagi tiga sampai lima jam menuju Basman.

photo
Anggota suku Koroway di pedalaman Kabupaten Mappi, Papua, beberapa waktu lalu. - (Fitriyan Zamzami)

Suku Koroway, Kombay, dan Citak, pertama kali ditemukan suku manusia lainnya sekitar 37 tahun yang lalu. Saat itu, misionaris Kristen dari negeri Belanda tengah gencar-gencarnya menyebar injil.

Kendati mengaku berasal dari jalur keturunan yang sama, bahasa ketiga suku tak seragam. Misalnya, Suku Koroway menggunakan kata Haem untuk menyebut rumah. Sementara Suku Kombay memakai kata Kinafo, dan Suku Citak menyebut Same.

Malah, setelah saya menanyai beberapa anggota suku dari Koroway, Kombay, dan Citak, hanya satu kata dimana mereka punya kesamaan. Ketiganya memanggil Sang Pencipta dengan nama Saifafu.

Saat pertama kali ditemukan, menurut Sakraria Abraro, anggota suku Kombay, perang bukan hal tak lazim di antara ketiga suku. Tak hanya itu, ada juga budaya memakan daging musuh yang berhasil dibunuh kala itu.

 
Saat pertama kali ditemukan, menurut Sakraria Abraro, anggota suku Kombay, perang bukan hal tak lazim di antara ketiga suku.
 
 

Tradisi mengerikan ketiga suku bukan itu saja. Upacara perkawinan di masa lampau, tak boleh tidak, harus dibarengi dengan kematian. “Satu perempuan diganti satu laki-laki,” ujar Sakraria, yang seperti Ayob, tak begitu lancar berbicara Indonesia.

Maksud dia, saat melamar seorang perempuan, calon mempelai laki-laki harus mengambil nyawa satu pria lainnya. Misal seorang anggota Suku Koroway hendak melamar gadis Suku Kombay, ia harus membawa sejenis mahar berupa potongan kepala seorang pria dari suku yang sama dengan calon mempelai perempuan. “Kalau sekarang dua babi saja,” kata Sakraria.

Ketika menemani saya jalan-jalan, mengelilingi hutan di sekitar kampung, tiba-tiba Sakraria berhenti di dekat sebuah pohon kayu besi rawa yang nampak sudah tua umurnya. Salah satu busur panahnya ia cabut, kemudian ia tancapkan ke tanah hingga menusuk sebuah daun jatuh. Daun itu ia angkat dengan busur, kemudian diarahkan ke pohon sejenak.

Sakraria menjelaskan, pohon yang ia tunjuk bukan pohon biasa. Di pohon itu, tinggal arwah leluhur Suku Kombay. Jika tak melakukan ritual yang baru saja ia kerjakan, kami berdua terancam kena penyakit.

Dalam bahasa Kombay, tempat-tempat yang dinaungi arwah seperti pohon yang kami lewati disebut Ba’ano. Sementara Suku Koroway menyebutnya Wotop, dan Suku Citak menyebut tempat serupa Karwage.

photo
Anggota suku Koroway di pedalaman Kabupaten Mappi, Papua, beberapa waktu lalu. - (Fitriyan Zamzami)

Sejatinya, suku Koroway, Kombay dan Citak tak hanya berlokasi di Basman saja. Mereka tersebar dalam kelompok-kelompok kecil di hutan-hutan sebelah timur Papua. Sebagian tersebar di hutan-hutan Kabupaten Boven Digul, sebagian lainnya di Kabupaten Asma, di dekat Kabupaten Timika, di hutan Kabupaten Yahukimo, dan Kabupaten Pegunungan Bintang.

Bentang sebaran ketiga suku ini luas. Perjalanan dari satu lokasi ke lokasi lainnya bisa mencapai tiga pekan jalan kaki. Karena itu, anggota ketiga suku hanya berkumpul pada saat-saat khusus seperti ketika ada Pesta Ulat Sagu.

Lokasi tempat ketiga suku tersebar juga tak tetap. Cara hidup ketiga suku yang masih berpola berburu dan meramu memaksa mereka mesti berpindah lokasi saat bahan makanan di satu tempat mulai langka.

Sehari-hari, lelaki dari Koroway, Kombay, dan Citak keluar dari rumah begitu matahari naik. Mereka mengejar aneka buruan seperti babi, kasuari, dan rusa sampai matahari kembali ke peraduan. Sementara kaum perempuan tinggal di rumah dan sekitarnya untuk menanam dan mencari umbi-umbian untuk dimakan.

Ketika semua makanan sudah terkumpul, bahan-bahan itu akan dimasak dengan cara bakar batu. Daging dan umbi dibungkus dengan dedaunan, ditaruh di ceruk yang digali di tanah, kemudian ditutupi dengan batu yang sudah dipanaskan. Cara masak ini oleh Suku Koroway disebut ido, dan oleh Suku Citak dibil ang elai.

Turun Pohon

Saya berangkat menuju Basman menumpang helikopter TNI yang membawa rombongan Menteri Sosial, Salim Segaff Al Jufri dari Bandara Merauke. Di Basman, Kementerian Sosial membangun sebuah perkampungan untuk membujuk suku Koroway, Kombay, dan Citak untuk keluar dari hutan.

Perjalanan potong kompas ini, walau tak enak di perut, memakan waktu sekitar satu setengah jam saja. Petualangan sebenarnya saya alami kelak saat keluar dari Basman menyusuri Sungai Deram.

 
Sejatinya, upacara yang diperagakan ketiga suku bukan sekadar penyambutan.
 
 

Ketika saya sampai di Kampung Basman, Distrik Ti Zain, Kabupaten Mappi, aneka tarian dari tiga suku, Koroway, Kombay, dan Citak tengah digelar. Nyanyian-nyanyian adat juga didendangkan. Teriakan-teriakan penyambutan bersahut-sahutan.

Kelihatannya, tak ada masalah antara ketiga suku. Mereka berbaur dalam penyambutan terhadap rombongan Kementerian Sosial dengan antusias. Perempuan-perempuan dengan rumbai-rumbai berkelompok melakukan tarian mereka sendiri, sementara yang laki-laki juga berlarian bergerombol kesana-kemari. Terik matahari yang menyengat di Basman seperti tak jadi kendala.

Sejatinya, upacara yang diperagakan ketiga suku bukan sekadar penyambutan. Mereka juga merayakan sejenis upacara perdamaian yang terjemahan lepasnya “Tanam Busur.” Tak ada darah dari anggota ketiga suku hari itu.

Tapi, upacara perdamaian ini juga menyiratkan sesuatu yang lain. Bahwa suku Koroway, Kombay, dan Citak tak selalu hidup damai. Masa lalu mereka penuh dengan pertempuran antar suku untuk memperebutkan entah perempuan, hasil ternak, atau wilayah yang dinilai bisa menyediakan umbi-umbian dan hewan untuk dimakan.

Masa silam seperti itulah juga yang jadi alasan ketiga suku merancang rumah tempat mereka tinggal. “Kita tinggal di pohon tinggi karena musuh,” kata Ayob Yama, anggota suku Koroway. Dari ketiga suku, hanya Koroway dan Kombay yang kebanyakan anggotanya masih keukeuh tinggal di rumah pohon dalam hutan. Suku Citak sudah jauh lebih dahulu “turun ke tanah.”

photo
Anggota suku Koroway di pedalaman Kabupaten Mappi, Papua, beberapa waktu lalu. - (Fitriyan Zamzami)

Rumah pohon yang ditinggali suku Koroway dan Kombay biasanya menjulang sampai lebih dari sepuluh meter, dengan hanya batang utama pohon sebagai pondasi. Sementara bangunan rumah di atas pohon dirangkai dengan menyusun kayu-kayu lebih kecil sebagai lantai dan tembok, untuk kemudian ditutupi dengan atap dari daun pohon sagu.

Anggota suku Kombay, Simson Biakke menjelaskan, untuk membangun rumah pohon, biasanya dicari pohon besar jenis kayu besi rawa. Diameter batangnya mesti setidaknya sepanjang pelukan dua orang dewasa. Jika pohon kayu besi yang cocok sudah ditemukan, giliran dukun adat menentukan boleh tidak pohon tersebut jadi rumah. Terkadang, dukun mengatakan ada arwah penunggu di sebagian pohon sehingga tak boleh ditingali. Pohon utama ini disebut tiang raja. Dalam bahasa Koroway disebut Kholol atau Finop dalam bahasa Kombay.

Ketika sudah ada tiang raja, menaikkan kayu-kayu buah yang panjangnya mencapai dua meter dengan diameter sekira sepuluh sentimeter jadi persoalan selanjutnya. Untuk membawa kayu-kayu ke atas pohon, anggota kedua suku menggunakan tali-temali yang dirajut dari tanaman, atau dengan membuat tangga hingga ke ujung pohon.

Di atas pohon utama, yang pertama kali dibangun adalah bagian lantai. Lantai ini dibuat mengandalkan cabang-cabang dari pohon utama, atau ditumpu batang-batang kayu ke tiang utama. Setelah lantai selesai, pembangun rumah kemudian merinda, atau membangun dinding dengan merapatkan batang-batang kayu buah. Kayu-kayu yang digunakan untuk lantai dan tembok disebut tiang hidup,atau bahasa Koroway-nya Hohul. Setelah tembok dan lantai jadi, pelepah-pelepah pohon sagu beserta daun-daunnya kemudian dibawa ke atas pohon untuk jadi atap.

 
Rumah pohon suku Koroway dan Kombay bisa diisi tiga sampai lima keluarga.
 
 

Tak ada interior apapun dalam rumah pohon. Hanya satu ruangan yang dipakai tidur bersama-sama oleh penghuni. Di bagian tengah rumah, dekat tiang raja, biasanya dibuat sejenis perapian dari bebatuan yang disusun.

Untuk manusia yang terbiasa bernaung di rumah dari beton dan kayu di tanah macam saya, rumah suku Koroway dan Kombay ini sedikit mengkhawatirkan. Pertama, untuk memasukinya tak bisa sekedar buka pintu. Harus memanjat dahulu batang-batang kayu yang kelihatannya mudah patah.

Di atas rumah juga tak jarang saya terhenyak karena kerap kali rumah bergoyang-goyang ketika angin kencang bertiup. Para penguhuni rumah tertawa setiap melihat raut muka saya berubah ketika rumah condong ke kiri dan ke kanan. “Enak di atas, banyak angin,” kata Simson Biakke.

Rumah pohon suku Koroway dan Kombay bisa diisi tiga sampai lima keluarga. Berbeda dengan rumah panjang milik suku Asmat atau Dani, tak perlu ikatan keluarga untuk tinggal dalam satu rumah. Dua atau lebih keluarga yang berbeda marga bisa tinggal bersama-sama. Dan yang jelas, tak ada juga bayar sewa.

Belakangan, Kementerian Sosial punya program untuk bikin anggota suku Koroway dan Kombay bersedia tinggal menetap di tanah. Pasalnya, rumah pohon yang mereka tempati bukan permanen. Ketika sumber makanan di suatu wilayah habis, rombongan suku-suku ini akan meninggalkan begitu saja rumah mereka, dan mencari lokasi lain untuk mendirikan rumah baru sekaligus menyambung hidup. Dengan cara hidup nomaden di hutan seperti itu, sukar mengurusi legalisasi kependudukan mereka.

Pendapat anggota kedua suku terbelah soal upaya ini. Ayob Yama misalnya, mengatakan lebih memilih tinggal di pohon dari pada di tanah. Kendati sudah tak ada lagi perang saat ini, menurut Ayob ada sejumlah keuntungan lain dari tingggal di pohon. Salah satunya, ia bisa terhindar dari gigitan nyamuk di pedalaman Papua yang terkenal mematikan itu. “Nyamuk tidak berani ke atas,” kata dia. Di atas pohon, kata Ayob, binatang buas juga tak mungkin menerkam.

 
Tak ada pasar, tak ada fasilistas kesehatan, tak ada sekolah.
 
 

Ia mengatakan, sudah dibangunkan rumah di tanah oleh Kementerian Sosial dan Dinas Sosial Kabupaten Mappi di Kampung Basman. Walaupun begitu, ia tetap berniat kembali ke rumah pohon di hutan dan menjalani hidup seperti leluhurnya di masa lampau.

Ayob Yama dengan cerdik mengamati bahwa kampung buatan Kemensos hanya terdiri dari rumah semata. Tak ada pasar, tak ada fasilistas kesehatan, tak ada sekolah. Listrik juga tak ada, lebih-lebih sarana transportasi yang murah dan memadai. Upaya menurunkan mereka ke tanah. Kata Ayob, sejenis tipu-tipu karena mereka hanya diberi rumah dan kampung tanpa penunjang kehidupan “modern” lainnya.

Sementara Enos Warop, anggota Suku Kombay mengatakan sudah lelah harus memanjat pohon setiap hendak beristirahat. Apalagi rumah pohon yang harus ia naiki di hutan terbilang tinggi. Rumah panggung yang dibangunkan kementerian di Basman, menurutnya, lebih nyaman ditinggali dari rumah pohon di hutan yang jaraknya dua jam jalan kaki dari Basman.

Ketika menyambut rombongan Menteri Sosial, kebanyakan anggota ketiga suku mengenakan pakaian. Tapi begitu rombongan pergi, saya yang tinggal dan berpisah dari rombongan melihat anggota ketiga suku pelan pelan melucuti pakaian mereka dan kembali pada kebiasaan sehari-hari mereka. Yang laki-laki sama sekali tak menutupi tubuh kecuali dengan selembar daun di daerah vital. Sementara yang perempuan hanya mengenakan sejenis rumbai-rumbai yang menutupi bagian bawah tubuh saja.

Enos Zutupi salah satu yang saya lihat menanggalkan pakaiannya begitu rombongan dari Jakarta beranjak pergi. Ketika saya menanyai alasannya, anggota suku Citak ini menjawab sederhana, “tidak ada sembunyi.”

Ketua Lembaga Masyarakat Adat Koroway dan Kombay, Elly Pasagay menjelaskannya lebih jauh. Menurut dia, ketiga suku hanya berpakaian justru ketika hendak perang. Saat akan berhadapan dengan musuh, prajurit-prajurit suku Koroway, Kombay, dan Citak akan menutupi tubuh mereka dengan bulu-bulu dari rerupa unggas hutan seperti burung kasuari, burung mambruk, dan ayam hutan.

Sementara untuk menemui saudara atau sahabat, suku-suku ini menanggalkan pakaian. “Mereka mau bilang, kami tra (tidak) menyembunyikan apa-apa. Tra ada rahasia di antara kitorang,” kata Elly.

Disadur dari Harian Republika edisi 9 Desember 2012

Dr KH Idham Chalid: Dari Politik Beralih ke Pesantren

Ia menjabat ketua umum PBNU selama hampir tiga dasawarsa.

SELENGKAPNYA

Kekonyolan Berulang Candu Judi Daring

Jangan berharap menang di judi daring.

SELENGKAPNYA

Selayang Pandang Kota Nabi

Dari sinilah, dakwah Islam pada masa Rasulullah SAW kian berkembang pesat.

SELENGKAPNYA