
Kronik
Kegelisahan Warga NU Pinggiran
Sayangnya, akses yang begitu besar tersebut tidak pernah sampai ke tangan warga NU.
Sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, kontribusi Nahdlatul Ulama (NU) sudah tak diragukan lagi bagi bangsa dan negara ini. Mulai dari penyelamatan tradisi ke-Islaman lokal melalui delegasi Komite Hijaz tahun 1920-an ke Arab Saudi, manifesto Resolusi Jihad para ulama NU untuk mempertahankan kemerdekaan RI 1945, sampai yang terakhir pembelaan NU terhadap kelompok minoritas antara tahun 1984 sampai sekarang.
Namun, apa yang didapat oleh NU baik secara institusional maupun jamaah? Tidak ada! Secara politik, NU nyaris tak pernah mendapatkan akses kekuasaan yang memuaskan dalam perebutan kursi kekuasaan di negeri ini. Termasuk, harapan untuk mendapatkan policy pemerintah bagi kemajuan warga NU yang nota bene hidup dalam situasi serba kekurangan.
Apalagi jika berbicara secara ekonomi, akses warga NU sungguh sangat terbatas dibandingkan jamaah organisasi ke-Islaman lainnya. Tak mengherankan jika banyak kalangan yang mengatakan sejarah NU hanyalah rangkaian dari kekalahan demi kekalahan.
Satu-satunya kebanggaan warga NU dalam panggung politik nasional adalah ketika KH Abdurrahman Wachid berhasil naik ke kursi RI-1. Namun, kebanggaan inipun akhirnya direnggut dan menghempaskan NU kembali sebagai kelompok pinggiran.
Apalagi jika berbicara secara ekonomi, akses warga NU sungguh sangat terbatas dibandingkan jamaah organisasi ke-Islaman lainnya.
Mengapa hal itu sampai terjadi? Jawaban atas pertanyaan ini bisa sangat beragam. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogya, Lutfi Rahman, memetakan ada dua faktor utama yang membuat posisi warga NU selalu termarginalisasi. Yakni, struktur politik nasional yang timpang dan elitisme dalam tradisi kepemimpinan NU.
Secara ekonomi, kata Lutfi, yang disebut kelompok miskin dalam NU itu adalah warganya. Tapi, para elit NU baik ulama maupun politisinya merupakan kelompok mapan yang memiliki akses ekonomi cukup besar. Bermodalkan legitimasi kultural basis NU, para elit bisa dengan mudah berkolusi dengan pengusaha maupun kekuasaan.
Sayangnya, akses ekonomi yang begitu besar tersebut tidak pernah sampai ke tangan warga NU. Sirkulasi modal berputar dari elit ke elit. Memang ada beberapa akses dana yang jatuh ke NU secara kelembagaan. Namun, sistem pengelolaannya tak memungkinkan untuk bisa menggerakkan potensi ekonomi warga NU.
"Sekitar 70 persen akses dana di NU dihabiskan untuk kegiatan show seperti istighosah maupun rapat akbar. Sisanya, 20 persen untuk membangun infrastruktur perkantoran NU, dan hanya 10 persen yang diperkirakan bergulir ke warga Nahdliyin," katanya.
Sekitar 70 persen akses dana di NU dihabiskan untuk kegiatan show seperti istighosah maupun rapat akbar.
Selain soal sistem pengelolaan, sistem pertanggungjawaban keuangan di internal NU juga tidak cukup transparan. Dari 70 persen dana NU untuk kegiatan show seperti istighosah, tidak jarang bocor ke tangan pribadi-pribadi.
Watak elitisme di NU itu, semakin terlihat ketika para elit NU melakukan mobilisasi massa. Sampai saat ini tema-tema istighosah akbar yang digelar NU sebagian besar bersinggungan dengan kepentingan politik kekuasaan.
Belum pernah ada ceritanya istighosah NU mengangkat tema persoalan riil yang dihadapi warga nahdliyin. Misalnya, penolakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) maupun Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) buruh.
Padahal, untuk mengelar kegiatan istighosah itu, dana yang harus dikeluarkan cukup besar, bisa ratusan bahkan miliaran rupiah. Termasuk, ongkos yang harus dikeluarkan oleh warga nahdliyin untuk menghadiri kegiatan itu.
"Warga NU itu kalau diajak istighosah semangatnya luar biasa. Banyak kasus warga NU rela menjual ayam dan kambingnya hanya untuk menghadiri kegiatan itu. Tapi, apa yang didapatkan sepulang istighatsah? Tidak ada! Mereka berangkat sebagai orang miskin dan kembali lebih miskin lagi," kritiknya.
Belum pernah ada ceritanya istighosah NU mengangkat tema persoalan riil yang dihadapi warga nahdliyin.
Kondisi seperti itu juga terjadi dalam perjalanan Muktamar NU mulai dari pertama sampai ke-30 di Kediri Tahun 1999 lalu. Tak ada perubahan fundamental menyangkut akses ekonomi yang bisa dirasakan warga nahdliyin selama perjalanan panjang tiga dasawarsa lebih usia NU itu.
Situasi semacam ini mulai disadari warga nahdliyin. Mereka mulai merasakan betapa selama ini telah terjadi penindasan berlapis akibat struktur politik nasional yang timpang dan sistem kepemimpinan NU yang elitis. Lutfi menyebut dengan istilah alienasi warga NU.
''Mereka hanya di posisi sebagai penggembira yang dipaksa tersenyum sesaat untuk kemudian menangis selamanya,'' ujarnya puitis.
Puncak kesadaran warga NU itu terjadi ketika sejumlah ulama, simpul-simpul massa dan kader muda NU mendirikan Komite Penyelamat Khittah NU 1926. Komite ini lantas sepakat menggelar Muktamar Besar (Mubes) Warga NU di Ponpes Babakan Ciwaringin Cirebon tanggal 8-10 Oktober 2004 lalu.
Banyak kalangan menyebut Mubes NU ini merupakan bentuk perlawanan kultural warga NU pinggiran terhadap Muktamar NU ke-31 di Boyolali yang bakal digelar mulai besok.
Ajang Mubes NU Cirebon itu betul-betul dimanfaatkan warga nahdliyin untuk menumpahkan kegelisahan mereka setelah sekian lama dilupakan sebagai warga NU. Sekaligus mengingatkan para elite NU agar mulai berpikir tentang masa depan umat NU dan bukan masa depan elite.
Ajang Mubes NU Cirebon itu dimanfaatkan warga nahdliyin untuk menumpahkan kegelisahan mereka setelah sekian lama dilupakan sebagai warga NU.NAMA TOKOH
Dari Mubes NU Cirebon tersebut lahir beberapa keputusan strategis menyangkut persoalan riil yang dihadapi warga NU. Ada sembilan materi keumatan yang dibahas secara intensif melalui forum bahstul masa'il.
Antara lain, pertanian, perburuhan, kelautan dan nelayan, pendidikan dan pesantren, kesenian dan budaya, gerakan perempuan, hubungan NU dan politik, capital resources NU serta scenario building NU Tahun 2015.
Beberapa poin penting yang berhasil dirumuskan antara lain, menegaskan Khittah 1926 sebagai garis perjuangan NU. Menentang dengan sekuat tenaga setiap usaha yang berupaya mengarahkan NU kepada politik kekuasaan, termasuk menghentikan siapapun yang menginginkan NU sebagai ma'isyah (kendaraan) politik.
Selain itu, mendorong masuknya materi kelautan dan nelayan, fikih perburuhan serta teologi pertanian ke dalam kurikulum pendidikan pesantren serta sekolah-sekolah formal NU. Mendesak para elit NU termasuk ulama di setiap tingkatan terlibat aktif dalam gerakan advokasi kelompok terpinggir.
Disadur dari Harian Republika edisi Sabtu, 27 November 2004.
Dr KH Idham Chalid: Dari Politik Beralih ke Pesantren
Ia menjabat ketua umum PBNU selama hampir tiga dasawarsa.
SELENGKAPNYASelayang Pandang Kota Nabi
Dari sinilah, dakwah Islam pada masa Rasulullah SAW kian berkembang pesat.
SELENGKAPNYASosok Reformis Dunia Pesantren
KH Wahab Chasbullah juga memprakarsai berdirinya Pesantren Putri Denanyar Jombang.
SELENGKAPNYA