
Kisah Dalam Negeri
Lantunan Alquran Safitri dari Kamar yang Mengurungnya
Keluarganya terpaksa mengurung Safitri karena ia kerap mengamuk.
OLEH LILIS SRI HANDAYANI
Safitri (47 tahun) berdiri mematung sambil terus menggaruk tubuhnya. Ia mengalami penyakit gatal-gatal. Tatapan matanya yang kosong menembus pintu terali besi yang membatasinya dari dunia luar.
Sejak 2010, Safitri terpaksa dikurung di sebuah kamar di rumah orang tuanya di Desa Singaraja, Blok Langgen, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Hingga kini, kamar yang dilengkapi pintu berjeruji besi itu menjadi dunia bagi Safitri.
Hanya ada Safitri seorang diri di rumah kosong tersebut. Kedua orang tuanya sudah meninggal dan sembilan saudara kandungnya tinggal di tempat lain. Meski terkurung, Safitri tak jarang melantunkan bacaan Alquran yang terdengar lirih dari luar ruangan yang ia tempati.
“Safitri dulu pintar mengaji dan menyanyi. Dulu juga pernah kabur dan ternyata kaburnya ke masjid,” kata Saerah (60), kakak kandung Safitri, Kamis (12/1).

Rumah yang ditinggali Safitri pun sudah rusak berat dan tampak tidak terawat. Keluarganya terpaksa mengurung Safitri karena ia kerap mengamuk dan menyakiti orang lain. Bahkan, Safitri pernah memukul orang dengan menggunakan kayu hingga keluarga harus memberikan ganti rugi kepada korban.
“Dia juga suka kabur. Saya tidak kuat untuk mengejarnya,” kata Saerah.
Saerah menjelaskan, Safitri awalnya merupakan gadis yang sehat dan cantik. Saat usianya masih 20 tahun atau pada 1995, Safitri bahkan pernah bekerja sebagai pekerja migran Indonesia (PMI) di Brunei Darussalam.
Bahkan, karena kecantikannya, anak majikan tempatnya bekerja jatuh cinta kepada Safitri dan ingin menikahinya. Namun, Safitri menolaknya karena merasakan perbedaan status dan kekayaan di antara keduanya.
“Safitri terus pulang dan sejak saat itu suka menangis sendiri, kadang tertawa sendiri,” ujar Saerah.
Safitri tak jarang melantunkan bacaan Alquran yang terdengar lirih dari luar ruangan yang ia tempati.
Keluarganya lantas berusaha mengobati Safitri hingga akhirnya ia berhasil sembuh. Safitri bahkan membuka warung sembako dan berjualan pakaian dengan uangnya sendiri hingga kemudian menikah dengan pemuda setempat.
Namun sayang, pernikahan itu kandas di tengah jalan. Safitri dan suaminya bercerai tanpa kehadiran anak. Kesedihan yang dialami Safitri akibat perceraian itu bertambah karena warung yang dijalankannya juga bangkrut. Sebab, banyak pembeli yang berutang sehingga menghabiskan modalnya. “Sejak saat itu, Safitri ‘sakit’ lagi,” ujar Saerah.
Saerah mengatakan, keluarganya sudah berusaha mengobati Safitri, baik secara medis di rumah sakit jiwa maupun dengan pengobatan nonmedis. Namun, usaha itu tak membuahkan hasil hingga akhirnya Safitri dirawat sendiri oleh ibu kandungnya di rumah.
Saat ibunya meninggal dunia pada 2015, Saerahlah yang menggantikan peran mengurus adiknya itu. Padahal, pada saat bersamaan, dia juga harus merawat tujuh orang anak kandungnya.

Setiap hari, Saerah datang untuk menyediakan makan dan minum bagi Safitri. Dia juga yang memandikan adiknya dan membersihkan kotorannya karena Safitri kerap buang air besar sembarangan di lantai kamar.
“Saya ikhlas mengurus adik saya. Saya hanya ingin dia sembuh seperti dulu. Sakit dan sedih sekali rasanya melihat Safitri seperti itu,” kata Saerah dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca.
Kepala Dusun di Desa Singaraja, Rifkie Widasarandi, mengatakan, pihaknya saat ini sudah membantu pengurusan administrasi kependudukan untuk Safitri. Pihaknya juga membantu proses pembuatan BPJS Kesehatan untuk memudahkan proses pengobatan di rumah sakit.
“Supaya lebih mudah, sementara dibuatkan BPJS mandiri dulu sebelum nanti dipindahkan ke BPJS PBI (penerima bantuan iuran, red),” ujar Rifkie.
Beberapa waktu lalu, Menteri Sosial Tri Rismaharini mengatakan, pemasungan dan diskriminasi dalam bentuk apa pun terhadap penyandang disabilitas mental/psikososial harus dihilangkan.
“Masih banyak yang mengalami gangguan jiwa lalu dipasung. Ini tidak memperbaiki kondisi bersangkutan, malah memperburuk karena akan berakibat pada gangguan kesehatan yang lain. Melalui acara ini, kita ingin menyampaikan bahwa kondisi ini bisa disembuhkan,” kata Risma pada peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS) Oktober 2022.
Selain itu, masalah kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Isu seputar penyandang disabilitas mental/psikososial juga meliputi stigmatisasi, ketelantaran, pasung, rehabilitasi medis dan sosial, ketersedian obat, aksesibilitas serta peran pemerintah daerah.
“Mereka (penyandang disabilitas mental/psikososial, red) bisa bekerja dengan rekomendasi dokter/psikiater,” kata Mensos Risma.
Produk Fesyen Lokal Dominasi Penjualan Harbolnas
Total transaksi Harbolnas 2022 mencapai Rp 22,7 triliun.
SELENGKAPNYAWajah Teknologi Pendidikan Kita
Sebanyak apa pun produk digital, guru akan tetap menjadi klaim keberhasilan pembuat platform.
SELENGKAPNYA