
Opini
Wajah Teknologi Pendidikan Kita
Sebanyak apa pun produk digital, guru akan tetap menjadi klaim keberhasilan pembuat platform.
IMAN ZANATUL HAERI; Kabid Advokasi Guru P2G, Wasekjen Hisminu
Salah satu produk kebijakan pendidikan nasional paling dibanggakan Nadiem Makarim, lebih tepatnya produk kerja 400 orang tim bayangan adalah Platform Merdeka Mengajar (PMM). Dalam satu platform, guru bisa mengakses semua dokumen dan contoh praktik kurikulum baru.
Termasuk produk percontohan para guru yang sudah mencoba kurikulum itu. Cara ini memperpendek jarak sosialisasi kurikulum baru dengan kecepatan yang tidak pernah bisa dicapai perubahan kurikulum mana pun sebelumnya di Indonesia.
Kecepatan memperoleh informasi, sosialisasi, dan pengetahuan baru selalu membuat teknologi digital tampak menjanjikan. Hasilnya, lebih dari dua juta guru telah mengunduh aplikasi ini.
Kecepatan memperoleh informasi, sosialisasi, dan pengetahuan baru selalu membuat teknologi digital tampak menjanjikan.
Melalui teknologi digital, Kurikulum Merdeka (KM) bisa sampai pada guru daerah yang terdalam sekalipun. Tentu dengan syarat, ia memiliki keterampilan digital, perangkat gawai memadai, sinyal yang baik, dan akses listrik.
KM diharapkan mendorong perubahan guru agar memiliki paradigma ‘berpihak pada anak atau pelajar.’ Perubahan paradigmatik ini membutuhkan sosok guru yang bisa menjadi agensi perubahan di sekolah.
Karena itu, kurikulum ini diperkuat program Sekolah Penggerak (SP) dan Guru Penggerak (GP). Namun secara politik, kondisi sekolah ditentukan sejauh mana kepala sekolah mampu memberi ruang seluas-luasnya bagi guru ‘penggerak’ kreatif dan inovatif ini.
Kemudian, Kemendikbudristek mengeluarkan Permendikbud Nomor 40 Tahun 2021 yang mensyaratkan calon kepala sekolah memiliki sertifikat GP. Ini dukungan struktural kementerian pada guru penggerak yang mungkin memiliki motivasi mencari jabatan kepala sekolah.

Namun, ada juga sekolah yang sebenarnya memiliki kepala sekolah yang kapasitasnya sudah ‘guru penggerak.’ Tak jarang sekolah negeri dan swasta ini, yang pada masa sebelumnya dilabeli ‘sekolah unggul’ kembali terpilih menjadi ‘Sekolah Penggerak’ karena kebetulan semata.
Maka itu, sebelum kurikulum ini diluncurkan, kementerian membuka pendaftaran ‘Sekolah Penggerak’, yang akan menjadi percontohan dan percobaan kurikulum yang saat itu tidak bernama.
Selama dua tahun proses ini berlangsung (2020-2022), ada yang menyebutnya ‘Kurikulum Sekolah Penggerak’, ‘Kurikulum Operasional Sekolah’ atau ‘Kurikulum Prototipe'. Baru belakangan pada 2022, kurikulum ini dinamai resmi sebagai ‘Kurikulum Merdeka (KM)’.
Dua kaki penopang KM adalah program SP dan GP. Penyesuaian dengan KM pada SP dan pelatihan GP mampu dicapai dengan kecepatan luar biasa melalui penggunaan teknologi digital.
Pelatihan melalui konferensi video, kertas kerja yang bisa dikerjakan secara terpisah dan penggunaan media digital lainnya memperpendek bimbingan teknis, yang pada masa sebelumnya membutuhkan biaya akomodasi dan waktu yang tidak sedikit.
Untuk membuktikan keberhasilan program prioritasnya sendiri, seperti KM, PMM, GP, dan SP, inspektorat Jenderal Kemdikbudristek merilis Hasil Evaluasi 9 Program Prioritas Kemendikbudristek Tahun 2022 (nomor 73743/A.A6/HM.00.07/2022).

Hasilnya, pertama, 71,1 persen guru merasa KM lebih memudahkan daripada Kurikulum 2013 (K13), 23,8 persen merasa sama saja, dan 5,1 persen guru menganggap lebih menyulitkan. Kedua, KM menciptakan 214 model kurikulum (?). Survei juga dilakukan pada PMM.
Hasilnya, platform ini digunakan oleh lebih dari dua juta guru dan berhasil membentuk 8.100 komunitas guru. Sebanyak 93,5 persen guru yang disurvei menilai PPM sesuai kebutuhan penggunanya dan 94 persen guru menilai PMM membantu dalam menyelesaikan masalah.
Laporan evaluasi ini juga menunjukkan persepsi positif Dinas Pendidikan terhadap KM dan PMM sebesar 76,4 persen. Angka-angka ini sangat fantastis dan teatrikal untuk tidak mengatakan lebih mirip jeruk makan jeruk.
Namun, bukankah dengan demikian seharusnya terjadi peningkatan luar biasa terhadap kompetensi guru dan pemahaman yang baik atas KM dalam skala besar?
Mempertanyakan ulang
Pertanyaannya, mengapa angka-angka tersebut tidak terasa di lapangan? Pertama, akses sinyal internet yang menjadi jalan utama tercapainya sosialisasi KM, melalui PMM masih menjadi masalah yang belum terselesaikan.
Sebanyak 39,68 persen sekolah di Indonesia masih nirkoneksi internet (Tableau, 2022). Artinya, masih ada gap cukup besar, yang tidak bisa dijembatani PMM. Masih dibutuhkan pelatihan nondigital yang menopang transmisi pemahaman kurikulum ke penjuru negeri ini.
Kepercayaan diri bahwa platform tunggal PMM bisa menyelesaikan Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) di sekolah, dibuktikan dengan pernyataan kementerian bahwa mereka membiarkan 142 ribu sekolah melaksanakan kurikulum ini secara mandiri tanpa pelatihan.
Sebanyak 39,68 persen sekolah di Indonesia masih nirkoneksi internet.
Hasilnya, berbagai sekolah di daerah mengeluhkan, mereka harus belajar mandiri (andragogi) dan mendatangkan para ahli, narasumber, dan fasilitator secara mandiri.
Padahal, tidak jarang guru dan sekolah menggelar iuran mandiri untuk mempelajari kurikulum ini. Sangat tak setimpal karena anggaran pendampingan KM sekitar Rp 2,86 triliun, lebih besar Rp 40 miliar dari anggaran implementasi K13.
Kedua, SP hanya bisa berhasil pada dirinya sendiri. Model ini segera runtuh ketika diterapkan pada sekolah dengan fasilitas kurang memadai.
Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan (PSKP) Kemendikbudristek mencatat, 63,62 persen pelatih ahli SP terhambat karena bentrok dengan kegiatan lain. PSKP merilis, pelatih ahli kurang memahami SP bahkan tak bisa memberi solusi yang ditanyakan sekolah (PSKP, 2022).
Para guru penggerak atau perwakilan SP (kategori sekolah berbagi) yang dikirim ke sekolah di sekitarnya, juga hanya menjadi pengkhotbah yang berbagi cerita keberhasilan.
Sangat tak setimpal karena anggaran pendampingan Kurikulum Merdeka sekitar Rp 2,86 triliun, lebih besar Rp 40 miliar dari anggaran implementasi K13.
Sekolah-sekolah ini (kategori belajar dan berubah) kemudian mencari jalan pintas karena tekanan dinas pendidikan, dengan cara menyalin semua dokumen dari sekolah penggerak untuk menyelesaikan syarat menggunakan kurikulum merdeka yang sukses di atas kertas.
Sayangnya, cara yang keliru ini dianggap satu satunya jalan bagi sekolah-sekolah tersebut memangkas beban administrasi dari percobaan KM.
Ketiga, beban guru dalam mengajar dan kegiatan sekolah dalam kalender akademik tidak memungkinkan mereka secara keseluruhan mendokumentasikan pembelajaran dan praktik, baik secara digital, kreatif, maupun inovatif.
Beberapa di antaranya, berhasil menerbitkan aksi nyata, tetapi mengorbankan jam belajar sehingga banyak keluhan para guru yang sibuk shooting dan meninggalkan kelas.
Tak jarang, para guru mengikuti dua pelatihan sekaligus secara daring dalam jam pelajaran, sekali tepuk tiga kegiatan dilaksanakan. Yang terjadi, pelatihan jadi tak efektif dan layanan belajar terbengkalai. Jika siswa mengalami learning loss, guru loss everything.
Jika siswa mengalami learning loss, guru loss everything.
Keempat, munculnya mental ‘guru peraga'. Mereka memilih prioritas membuat model pembelajaran sebanyak-banyaknya. Para guru ini sibuk mendokumentasikan model pembelajaran dan hasil belajar siswa. Mereka terjebak pada etalase pembelajaran.
Guru peraga cenderung mendorong pembelajaran yang menciptakan hasil belajar aneka visual. Hasil belajar ini tercipta dari siklus pendek berorientasi produk. Siklus ini hanya bekerja bagi kepentingan guru yang terobsesi mengoleksi karya siswa dalam etalase pembelajaran.
Guru yang seharusnya memaksimalkan tujuan pembelajaran, malah sibuk menjadi pemandu pameran dalam etalase pembelajaran. Relasi pembelajaran akhirnya terbatas antara guru dan target publik di luar kelas. Sebab, hasil belajar pelajar didorong menjadi mesin pertunjukan.
PMM yang diciptakan kementerian membuat guru merasa telah membuat produk di dalamnya. Sementara pembuat platform, merasa guru yang membuat produk adalah produk mereka.
"Jika kau tidak membayar produknya,” kata Aza Raskin, mantan karyawan Mozilla &Firefox, “Berarti kau adalah produknya" (Netflix, 2022). Sangat wajar, sebanyak apa pun produk digital, guru akan tetap menjadi klaim keberhasilan pembuat platform.
Teknologi telah berhasil membuat guru mengetalasekan dirinya. Inilah wajah teknologi pendidikan kita.
Khalifah Pun Menjadi Kuli Panggul
Dia juga rajin menguping langsung dari rakyat dan menyaksikan praktik langsung kebijakannya di lapangan.
SELENGKAPNYAMenjaga Ibadah Sunnah
Di antara ibadah sunnah yang mesti kita jaga shalat sunnah Rawatib dan shalat Dhuha.
SELENGKAPNYAMemanen Jutaan Gigawatt Listrik dari Laut
Kalau arus laut, sumbernya jelas tersedia dan melimpah, tinggal mengambil.
SELENGKAPNYA