MALAM JUMAT | Republika/Daan Yahya

Sastra

Malam Jumat

Cerpen Zakiyyah Sholichah

Oleh ZAKIYYAH SHOLICHAH

Banyak orang berfikir bahwa diantara seribu malam terdapat satu malam yang sangat sakral. Sakral bagi umat yang beriman kepada tuhannya. Sehingga mereka memperbanyak ibadah. Dan bagi orang yang percaya kepada selain tuhan alam semesta, memberi sesajen, sesembahan makanan, buah, hingga dupa. Sehingga satu malam tersebut menjadi sacral bagi kebanyakan orang.

Pukul 19.00

Icha berangkat kuliah. Ia memilih angkutan umum, sebab tidak membayar sepeser pun. Lumayan uangnya untuk jajan. Lima belas menit perjalanan hingga sampai di kampusnya. Meski jam kuliah malam, kampus itu tidak pernah sepi. Ramai kakak mahasiswa memenuhi kampus malam itu. Kursi taman terlihat penuh oleh mahasiswa yang sedang berdiskusi. Ada yang duduk seorang diri fokus mengerjakan skripsi atau hanya sekedar menumpang wifi kampus.

Hujan baru saja berhenti Ketika bus menurunkan Icha di gerbang kampus. Meski ramai oleh mahasiswa tetapi malam itu sedikit gelap dan mencengkam. Icha tidak langsung menuju kelas. Jadwal dosen diundur satu jam kedepan. Ia menyisir sekeliling, mencari kursi taman yang kosong kemudian duduk dan membuka laptop.

Beberapa mahasiswa berangkat kuliah mengendarai sepeda ontel. Hal ini biasa dilakukan bagi mereka yang jarak kampus dan kosnya hanya sebatas parit. Tinggal loncat saja.

“Hai, Cha!” orang yang dipanggil tidak menyahut.

Kan sudah kubilang. Cahaya disana sedang redup. Orang itu hanya terlihat kerudungnya yang berwarna kontras kuning krem tetapi mukanya datar hitam tak rupa.

Heh, disapa kok! Gitu ya. Sombong” sumber suara itu mulai mendekatkan mukanya ke arah Icha. Cahaya laptop menimpa muka orang tersebut.

Owalaah… Firda taaa!! Aku kira siapa. Nggak kelihatan oi!” ujar Icha merasa tak berdosa. Muka Firda manyun kemudian segera berlalu menuju kelasnya.

Pukul 19.15

Taman kampus mulai sepi. Mahasiswa yang berdiskusi tadi sudah menuju kelas masing-masing menyisakan Icha sendiri di taman. Ah, masuk kelas saja, gumamnya. Ia berjalan menuju kelas, menaiki anak tangga, belok kiri sedikit. Kelas masih sepi. Tak ada seorangpun di kelas kecuali Icha sendiri. Bolehlah ia dicap sebagai mahasiswi terajin masuk kelas. Haha…

Seraya menunggu, ia membuka laptopnya lagi. Sudah mulai bosan, ia membuka laman Youtube. Podcast om Deddy Corbuzier, Habib Ja’far dan Onad. Satu persatu anak kelas mulai berdatangan.

Pukul 20.00

Dosen yang ditunggu belum menunjukkan batang hidungnya. Menunggu lagi hingga lima belas menit kemudian. 

“Kita panggil saja dosennya!” ajak Sabil. Icha mengangguk. Mereka beranjak menuju transit dosen di lantai satu. Kantor redup! Mereka menyisir seluruh ruangan dosen. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Artinya, jamkos kuliah telah tiba! Icha dan Sabil kembali ke kelas mereka dengan muka sumringah. Ditengah perjalanan mereka bertemu dengan miss Rahma. Dosen pengajar mereka di semester lalu.

“Sedang apa kalian disini?”

“Cari dosen miss.

Kok tidak masuk kelas?”

“Iya ini dosennya belum datang miss”

Owalah… iya. Kalian ini sudah semester lima ya. Saya kira kalian semester tiga! Ya sudah saya pulang dulu” dosen itu segera berlalu.

Icha dan Sabil menuju kelas dengan memasang muka tegang. 

“Ada dosen tidak?” tanya Irma tidak sabar.

Sabil melirik Icha, mengatupkan rahang kuat-kuat, menarik napas dalam-dalam dengan mata terpejam.

Woi ada tidak?” Reyhan mulai kesal. 

“Jam kosong!” seru Icha dan Sabil hampir bersamaan. Semua menggerutu, tapi setelahnya seuntai senyum terbit dimuka setiap orang. Tak ada dosen artinya tak ada kuliah, jam kosong. Tidak ada tugas juga. Tidak ada presentasi mandiri pula! 

Sudah malam. Lebih baik Icha menuju halte angkutan umum. Kali ini jarak kelas menuju halte cukup jauh bagi Icha, mahasiswi pejalan kaki. Lima ratus meter. Dengan kondisi kampus yang remang-remang ditambah hawa setelah hujan. Membayangkan apabila tidak ada manusia yang berlalu Lalang, betapa menyeramkannya jalanan kampus.

Ia memutuskan untuk segera menuju halte. Tidak ada yang tahu kapan hujan akan turun lagi, atau cowok nggak jelas, Aqill, bakal muncul kembali mengajaknya.

“Mau balik?” tanya Zayn. Icha mengangguk. “Yuk pulang bareng.”

Syukurlah Zayn paham. Ia salah seorang mahasiswi yang membawa sepeda satiap ngampus.

“Kamu bonceng ya!” Icha mengangguk. Ok!

Maklum badan Zayn lebih ringan dan ramping dibanding Icha yang berisi. Saat Icha menaiki sepeda, Zayn pun duduk di kursi belakang. Beberapa saat kemudian,

“Eh, sebentar! Ada dosen lewat. Turun turun!” kata Icha. Zayn menurut. Mereka berjalan menuntun sepeda hingga dosen yang dimaksud berlalu.

Yok!” Icha segera naik dan tancap gas.

Sepanjang perjalanan mereka berbincang. Icha berkicau. Bercerita ngalor-ngidul. Zayn terdengar hanya menanggapinya dengan “hmm..” hingga….

“Eh Zay kamu tahu tidak? Tadi saat aku dan Sabil mencari dosen, kita bertemu dengan dosen yang pernah mengajar kita pas semester satu. Mm… miss siapa sih Namanya, aku lupa. Ah! Miss Rahma. Kamu ingat tidak?

Lawan bicaranya tidak menyahut.

“Zay. Kamu dengar tidak?”

Icha melewati gerbang hingga tiba di Gedung farmasi, Icha baru menyadari. Ia mengerem sepeda mendadak. ZAY?!!

Tidak ada orang dibelakang. Tidak ada manusia yang ia bonceng. Tidak ada siapa-siapa. Kemana dia? Yang sejak tadi mendengarkan kicauan Icha siapa? Yang menyahut dengan ‘hmm’ itu siapa? Tidak mungkin Zayn lompat begitu saja dari kursi boncengan. Beberapa mahasiswa yang melalui Icha menatapnya keheranan. Tidak bisa dibiarkan. Segera ia mencari tahu. Ia menghampiri bapak penjaga gerbang.

“Pak, tadi lihat saya lewat naik sepeda tidak?” bapak itu mengangguk. 

“Bapak lihat saya membonceng seseorang tidak?” kali ini si bapak menggeleng.

“Yang saya lihat, tadi kamu berbicara sendiri, senyum-senyum sendiri. Saya kira kamu sedang Bahagia sekali. Saya tidak lihat siapa-siapa di belakangmu”

Deg!

Bulu kuduk Icha berdiri. Lalu siapa yang sejak tadi bersamanya? Ia merasa membawa beban Zayn di kursi belakang (meski Zayn kurus kerempeng).

Hayo loh mbak! Malam Jumat loh!”

Aih bapak ini! Kok bisa ditengah kebingungan Icha, tiba-tiba ia berkata ‘malam Jumat’. Langit semakin gelap. Sinar rembulan tertutup oleh awan mendung diatas sana. Lampu jalan diatas Icha berhenti itu sesaat berkedip-kedip. Menyeramkan.

Ia pamit, berlalu dan kembali menuju Gedung kelas. Beberapa mahasiswa sudah bubar dari jam kuliahnya. Jalanan menjadi lebih ramai, terutama parkiran sepeda.

“Zayn! Zayn!” Icha memanggil Namanya. Tetapi orang yang yang dipanggil tidak juga menyahut apalagi menampakkan diri. Ia mulai memikirkan hal yang tidak-tidak. Apa jangan-jangan Zayn yang aku temui tadi, yang berjalan menuruni tangga denganku tadi, yang menawarkan diri dengan sepeda hijau tosca tadi, bukanlah Zayn yang asli?! Apakah dia qorin dari Zayn!? Atau jelmaan dari mbak-mbak berbaju putih berambut Panjang itu?!

Tidak tidak tidak!! Akal rasional Icha membantah. Mencoba berpikir sejernih dan setenang mungkin. Zayn yang Bersamanya benar-benar menapakkan kakinya di tanah. Tidak ada yang ganjil! Ah! Malam ini…

Pukul 21.00

Ia memutuskan untuk membawa sepeda Zayn menuju halte segera. Sebelum angkutan berangkat meninggalkannya sendiri di kampus. Ia harus segera sampai di halte! Ada atau tidak Zayn disana, urusan kedua. Yang jelas dia tidak ada lagi di depan Gedung kelas.

Icha menancapkan gas, mengayuh secepat yang ia bisa. Keringat sebesar biji jagung mengalir di dahinya. 

Pukul 21.10

Sesampainya di halte…

Halte sudah penuh dengan mahasiswa yang akan kembali ke tempat tinggal mereka masing-masing. Beberapa kawan kosnya melambai padanya. Icha hanya tersenyum getir sambil berhenti dan turun dari sepeda.

“Basah banget mukanya!” 

“Eh, kamu dari tadi dicari orang. Dua kali dia bolak balik kemari. Mukanya terlihat cemas. Aku tidak tahu siapa Namanya” lapor Wawa, salah seorang kawan Icha. Matanya berkilat.

Gimana ciri-ciri orangnya?” mungkin saja bukan Zayn, atau Aqill yang biasanya mencarinya. 

“Cewek” syukurlah benar-benar bukan Aqill, “tinggi, kurus, muka-muka anime begitu.” Icha menepuk dahi. Alamak. Zayn ternyata sudah sampai di halte.

“Mana dia?” Icha buru-buru mencari orang yang dimaksud.

Icha menuntun sepeda tosca itu melewati halte. Berhenti di samping Gedung Ekonomi (yang posisinya di belakang halte). Terlihat di pelupuk matanya, seseorang sedang berdiri. Tinggi, kurus, memiliki muka anime itu, ia sedang bersedekap, dengan tas kuliah di punggung. Kakinya, beralaskan Sepatu kets itu, menapak bumi. Ia terlihat mencemaskan sesuatu.

“Zayn!!” Icha berseru. Orang yang dipanggil menoleh dan mereka berlari di pelataran Gedung. Seperti sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Tidak menghiraukan para mahasiswa yang menonton mereka.

“Kamu kemana saja?” tanya Icha gusar.

“Aku yang harusnya bertanya. Kenapa kamu ninggalin aku!” kilah Zayn. Icha tertegun.

Loh. Kamu ketinggalan? Tadi aku sudah bonceng kamu. Kita bercerita Panjang lebar, sana sini. Kamu jawab dengan dehem-dehem” Icha tak mau kalah, tapi memasang muka tak berdosa.

“Heh! Ngaco! Aku ketinggalan. Kamu ninggalin aku. Dan aku pikir kamu tidak bakal balik lagi. Jadi aku jalan lewat jembatan belakang Gedung kelas kita Bersama yang lain. Lagian sih!” Zayn membela diri.

Oh iya?” Icha hanya menatap Zayn tidak percaya. Kemudian tertawa.

Mereka berpisah setelah beberapa saat kemudian. Zayn kembali ke kosnya yang sangat dekat sedekat parit itu, dan Icha kembali ke halte untuk pulang.

Malam Jumat… oh malam Jumat…

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Lutfa di Negeri Tanpa Bayangan

Cerpen Sri Haldoko

SELENGKAPNYA

Jumrah: Ikrar Sunyi yang Tak Terucap

Puisi Prof Taruna Ikrar

SELENGKAPNYA

Ijazah Geuchik Marzuki

Cerpen Rinal Sahputra

SELENGKAPNYA