
Sastra
Ijazah Geuchik Marzuki
Cerpen Rinal Sahputra
Oleh RINAL SAHPUTRA
Suatu pagi di awal bulan Safar, angin dari arah timur membawa kabar yang mengusik kampung kami. Kabar itu tidak datang dari surat resmi, bukan pula dari pengumuman di meunasah atau pengajian malam Jumat. Kabar itu datang dari warung kopi Bang Sulaiman, tempat segala gosip tumbuh lebih subur dari cendawan di musim hujan.
“Ijazah geuchik Marzuki palsu,” kata Amran, mantan ketua pemuda yang kini membuka kios pulsa di simpang jalan. Meskipun Marzuki tidak lagi menjabat sebagai kepala desa kami, orang-orang masih memanggilnya dengan sebutan geuchik.
Kalimat itu terdengar seperti ledakan kecil di telinga Ibrahim, ketua keamanan desa yang baru saja duduk dan memesan kupi pancong. Ibrahim menatap Amran lama, seakan mencoba mengukur kadar kebenaran dari kalimat yang baru saja diucapkan.
“Dari mana kau dengar?” tanya Ibrahim hampir seperti bisikan.
“Dari kawanku di kampus. Dia juga pernah kuliah di universitas yang sama. Katanya, nama Marzuki tidak pernah tercatat sebagai lulusan di universitas itu. Tahun kelulusannya pun janggal, apalagi universitas itu baru berdiri setahun sebelum dia mengklaim tamat,” jawab Amran lirih.
Beberapa hari kemudian, kegaduhan tidak lagi bisa dibendung. Semua orang membicarakannya. Fatimah, anak Marzuki yang kini menjabat sebagai geuchik baru, tampak mulai gelisah. Dia tidak lagi duduk santai di teras rumah seperti biasanya. Rumah besar mereka kini mulai dijaga oleh beberapa pemuda berbadan kekar.
Namun, para warga sepertinya tidak lagi takut dengan Marzuki dan kroni-kroninya. Mereka kompak menuntut kebenaran dari desas-desus yang beredar. Marzuki berkuasa sebagai geuchik selama dua periode terakhir. Dan setelah jabatannya usai, Marzuki masih menempatkan para kaki tangannya sebagai perangkat desa. Ketidaksukaan para warga terhadap keluarga Marzuki seperti bara dalam sekam.
“Kalau memang benar ijazah Ayahmu asli, tunjukkan!” teriak seseorang dalam rapat desa yang digelar mendadak.
Fatimah menatap hadirin dengan mata lelah. “Masalah ini sedang ditangani pihak keamanan dan universitas. Kita harus percaya pada proses hukum.” Fatimah sepertinya memilih menghindar untuk menjawab langsung pertanyaan orang-orang terkait ijazah ayahnya.
Namun, kepercayaan itu sudah lama hilang. Pun orang-orang sudah muak dengan kebohongan demi kebohongan yang keluar dari mulut Marzuki dan keluarganya.
Diam-diam, Marzuki mengadakan pertemuan di gudang belakang rumah lamanya. Gudang itu sudah lama tidak digunakan, kecuali saat musim panen. Tapi malam itu, ada dua mobil terparkir di depan gudang tua itu. Marzuki memang berbeda dengan para mantan kepala desa yang lain. Pengaruh dan koneksinya sungguh luar biasa.
Di dalamnya, sudah hadir petugas keamanan dari kecamatan, perwakilan dari universitas tempat ijazah Marzuki terbit, dan tentu saja Marzuki sendiri. Sorot mata Marzuki tetap tajam seperti biasa.
“Aku tidak mau masalah ini meledak,” katanya dengan suara rendah namun tegas. “Orang-orang sudah mulai menggonggong. Kau tahu, kalau aku jatuh, banyak yang ikut terseret.”
Perwakilan universitas mengangguk. “Kami sudah siapkan surat verifikasi. Ada stempel. Ada tanda tangan. Tapi soal ijazah fisik…”
“Orang-orang tidak perlu melihat ijazahnya secara langsung,” potong Marzuki cepat.
Petugas keamanan menyandarkan punggung ke kursi rotan. Lelaki itu nampak berpikir lama. “Serahkan saja urusan ini pada kami. Para warga bisa saja berteriak menuntut ini dan itu, tetapi untuk urusan penyelidikan dan barang bukti, semuanya akan melalui proses pemeriksaan kami.”
Marzuki terlihat mengangguk bahagia.
Beberapa bulan berikutnya, pihak keamanan akhirnya mengeluarkan pernyataan resmi. Setelah melalui proses verifikasi dan analisis ahli, hasilnya menunjukkan bahwa ijazah atas nama Marzuki adalah asli dan sah secara hukum. Dengan begitu, kasus dugaan ijazah palsu Marzuki pun dinyatakan selesai.
Namun warga tetap tidak puas dengan hasil investigasi pihak keamanan terkait keaslian ijazah Marzuki.
“Mana ijazahnya? Kenapa tidak pernah diperlihatkan secara langsung? Dan kenapa tim penyelidik independen tidak ada yang dilibatkan?” kata Ibrahim dalam pertemuan informal dengan para tokoh desa.
“Mereka pikir kita ini bodoh,” ucap Amran dengan geram.
Kekecewaan warga berubah menjadi ketidakpercayaan. Fatimah mulai bersikap keras. Ketua keamanan, Ibrahim, diganti secara sepihak dengan seorang pemuda lulusan SMA yang belum berpengalaman sama sekali. Alasannya seperti dibuat-buat, bahwa Ibrahim tidak lagi sejalan dengan visi-misi desa.
Namun semua tahu bahwa pemecatan itu adalah atas perintah Marzuki. Ibrahim termasuk satu dari sedikit orang yang berani mengkritik Marzuki dan keluarganya.
Kampung kami pun terbagi. Satu kelompok masih mendukung Marzuki, terutama mereka yang mendapat bantuan langsung, pekerjaan, atau proyek dari Marzuki. Tapi kelompok yang lain juga mulai bergerak diam-diam. Kelompok kecil ini berkumpul rutin di rumah Amran. Mereka menyusun surat permintaan keterbukaan informasi ke universitas dan lembaga hukum di Banda Aceh. Mereka juga berencana menghubungi tim forensik dari luar yang bisa bersikap netral dan independen.
“Kita tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang Marzuki dan keluarganya,” kata Amran. “Mereka harus tahu, kampung ini bukan milik satu keluarga. Dan pihak keamanan itu bukanlah jongosnya Marzuki. Mereka seharusnya bekerja untuk para warga.”
Gerakan ini membuat Marzuki resah. Suatu malam, salah seorang yang mengaku suruhan Marzuki mendatangi rumah Ibrahim diam-diam. Mereka berbicara di beranda, diterangi lampu minyak karena listrik yang hampir setiap malam padam selama beberapa minggu terakhir.
“Kau tahu Marzuki dulu membangun kampung ini,” kata lelaki dengan nada lembut. “Janganlah kau menjadi sosok yang tidak tahu berterima kasih.”
“Aku hanya ingin keadilan,” jawab Ibrahim.
“Keadilan? Atau balas dendam karena kau sudah disingkirkan dari jabatanmu sebagai salah satu perangkat desa?” Lelaki itu mendekat. Suaranya kali ini terdengar tajam. “Ingat, kami masih punya banyak koneksi di kota. Gerakan sabotase kalian terhadap Marzuki dan keluarganya tidak akan pernah berhasil. Ingat itu baik-baik!”
Ibrahim tidak menjawab. Dia menatap langit, berusaha menahan amarah yang membuncah.
Saat warga mulai menandatangani petisi, tiba-tiba muncul berita baru. Salah satu warga yang melaporkan Marzuki terkait tuduhan ijazah palsu ditangkap karena dugaan pelecehan di sekolah. Meskipun tidak ada bukti yang kuat untuk kasus pelecehan tersebut, penangkapan tetap dilanjutkan.
“Kita yang akan menjadi target mereka berikutnya,” kata Amran dalam pertemuan rahasia. “Tapi kita sudah terlalu jauh untuk mundur.” Semua yang hadir di situ terlihat gelisah, namun mereka mengangguk setuju.
Beberapa hari kemudian, beberapa jurnalis dari Banda Aceh datang. Mereka langsung ke rumah para warga yang tergabung dalam kelompok perlawanan. Wawancara dilakukan diam-diam. Foto-foto dokumentasi pembangunan fiktif dan dana kelompok tani yang raib selama masa jabatan Marzuki ditunjukkan. Juga bukti-bukti bahwa ijazah Marzuki adalah palsu.
Laporan investigasi itu terbit seminggu kemudian di media sosial, membahas dengan detail kepalsuan ijazah Marzuki dan segala kecurangan atau pun kebohongan yang Marzuki lakukan selama dua periode jabatannya.
Artikel itu menyebar cepat. Media sosial mulai ramai oleh berbagai pro dan kontra. Pihak universitas dan keamanan desa terdesak. Wartawan mulai meminta wawancara. Namun Fatimah tetap bungkam. Rumah keluarga Marzuki pun dijaga lebih ketat lagi.
Marzuki tidak memberikan komentar apapun terkait artikel itu. Namun, tidak lama setelahnya, artikel itu menghilang tanpa jejak. Sepertinya sudah dicabut secara paksa. Penulisnya pun ditangkap dan dinyatakan bersalah di pengadilan. Semuanya berlangsung dengan sangat cepat. Situasi ini membuat suasana di kampung kami kembali riuh oleh gema kekhawatiran.
Sebagian dari penentang Marzuki mulai takut berbicara. Fatimah, yang kini kerap tampil di berbagai forum kabupaten sebagai geuchik muda yang menginspirasi, sebaliknya terlihat semakin percaya diri. Dia kerap tampil di forum-forum desa dan kecamatan membicarakan tentang perempuan dan kepemimpinan, transparansi anggaran, dan pemanfaatan AI di era digitalisasi saat ini. Dia bahkan membuat kanal Youtube sendiri, menampilkan citra pemimpin yang berwawasan melalui isi pidato-pidatonya itu. Meskipun demikian, tidak sedikit yang semakin gencar mengolok-olok Fatimah sebagai bonekanya Marzuki.
Tidak lama berselang, kampung kami kembali geger. Amran dan Ibrahim ditangkap dengan tuduhan menyebarkan fitnah dan informasi palsu yang merusak nama baik Marzuki. Mereka juga ditahan karena sudah menuduh Fatimah mendapatkan jabatan kepala desa lewat manipulasi.
Hari ketika Amran dan Ibrahim ditangkap, desa kembali bergolak. Orang-orang pun turun ke jalan menuntut agar pihak keamanan tidak bersikap berat sebelah. Mereka sepertinya lebih memilih untuk ditangkap dan dipenjara daripada harus menyaksikan dagelan keluarga Marzuki dan kroni-kroninya yang semakin merajalela. Sementara itu, Marzuki masih saja enggan berkomentar. Namun, semua orang paham bahwa dialah dalang kekacauan yang sebenarnya.
***
Geuchik: kepala desa
Kupi Pancong: kopi yang disajikan dalam porsi yang lebih kecil, biasanya hanya setengah gelas
Rinal Sahputra bekerja sebagai penulis lepas. Cerpen-cerpennya telah dimuat di beberapa media nasional. Kumpulan cerpennya, Para Perempuan di Tanah Serambi, terpilih sebagai finalis Penghargaan Sastra Rasa 2022. Salah satu cerpennya, Piccadilly Gardens, terpilih dalam antologi “Minah dan 20 Cerpen Terbaik Waspada” yang diterbitkan oleh FOSAD pada November 2024. Rinal juga menekuni dunia penulisan cerita anak. Baru-baru ini, cerita anaknya yang berjudul Cangguek Bineh Krueng terpilih sebagai salah satu dari 50 naskah terbaik dalam Sayembara Penulisan dan Penerjemahan Cerita Anak Dwibahasa Tahun 2025 yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Aceh.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.