Sejumlah warga menarikan tari Makanjara bagi prosesi Karia Kansodaa saat pergelaran budaya Wakatobi di Wangi-wangi. | FOTO ANTARA/Zabur Karuru

Safari

Pesta Meriah Kariya

Wakatobi memiliki tradisi khitanan warga setempat.

Setelah sehari penuh menikmati pesona alam pantai di Wakatobi, saya memilih menikmati suasana pagi Kota Wangi-Wangi. Sebuah cara santai untuk menunggu keberangkatan menuju Bandara Matahora. Belum jauh kaki melangkah dari Hotel Wisata Wakatobi, tempat saya bermalam, perhatian saya tertuju pada kerumunan di sepanjang jalan utama. Rupanya mereka tengah menantikan rombongan kariya atau ada yang menyebut karia’a, atau tradisi khitanan warga setempat.

Sebuah keberuntungan! Di saat kunjungan hanya menyisakan waktu yang menyempit, ternyata masih ada kesempatan menyaksikan tradisi budaya setempat. Hilu (26 tahun), salah seorang warga dengan gembira memberi penjelasan, warga tengah menunggu prosesi kirab yang menjadi bagian dari tradisi kariya. Warga Wakatobi memiliki tradisi yang mengkhitankan anak—baik laki-laki maupun perempuan—mereka.

Dalam kirab ini, warga akan menyaksikan kirab ajo (anak yang ikut dalam prosesi kariya). Sang anak akan dibawa kepada tetua adat setempat. Kali ini, tetua adat yang dimaksud adalah Bupati Wakatobi, Ir Hugua. Pada barisan terdepan arak-arakan kirab kariya ini saya lihat rombongan delapan pria mengenakan pakaian ala penari honari mosega. Mereka adalah rombongan tokoh masyarakat serta para pemangku adat di Wangi-wangi.

Di belakang rombongan ini, tampak dua gadis cilik mengenakan pakaian adat pengantin lengkap. Mengawali rombongan kariya, puluhan ibu dengan pakaian adat setempat dengan corak warna-warni. Di belakang mereka terlihat sebuah kansodaa (tandu) berbentuk replika kapal yang digunakan untuk mengusung anak yang dikhitankan. “Maksud dari menambatkan kapal kepada tetua adat agar anak-anak yang dikhitan mendapatkan nasihat dan petuah tentang agama, adat serta norma-norma kehidupan sosial di tengah masyarakat,” ujar Hilu, menjelaskan.

photo
Sejumlah anak-Wakatobi menarikan tarian Sajomoane di Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi. - (FOTO ANTARA/Zabur Karuru)

Tak hanya untuk mengusung ajo yang berpakaian lengkap kebesaran Lengko. Tandu juga digunakan untuk mengusung berbagai hasil bumi dan hasil laut Kepulauan Wakatobi, termasuk liwo atau aneka ragam makanan tradisional khas daerah ini.

Kasuami, bagi masyarakat Sulawesi Tenggara, makanan pokok kedua setelah nasi. Makanan ini terbuat dari singkong yang diparut, diperas airnya, kemudian dikukus. Bentuknya menyerupai tumpeng atau kerucut. Warnanya, sesuai warna singkong, putih kekuningan. Terkadang ada pula kasuami yang dibikin berwarna ungu kehitaman.

Kasuami merupakan makanan masyarakat Wakatobi yang sejak dahulu dikenal akrab dengan singkong. Bagi masyarakat Wakatobi, juga suku Bajo, kasuami sering diolah sedemikian rupa agar bisa bertahan lama. Suku Bajo terutama, kerap membawa kasuami sebagai bekal saat melaut berhari-hari lamanya.

Agar kasuami lebih awet, singkong yang telah diparut, diperas air nya sampai menyerupai tepung. Untuk mengurangi tingkat keasaman nya, tepung singkong itu dijemur di bawah sinar matahari.

photo
Seorang ibu mengatur jualan Bulu Babinya di sala satu pasar tradisional di Wangi-wangi, Wakatobi, Sultra. - (FOTO ANTARA/Zabur Karuru)

Guna memperoleh tekstur yang lebih lembut, tepung ini biasa juga ditumbuk dalam lesung terlebih da hu lu. Setelah menjadi tepung, barulah ditambahkan kelapa muda parut sesuai selera, kemudian dicetak bentuk kerucut, lalu dikukus. Setelah matang, kasuami dikeluarkan dari cetakan kemudian dipadatkan lagi. Adonannya dibaluri sedikit minyak kelapa serta daun pandan agar wangi. Kasuami yang makin padat dan keras, bisa semakin awet, bertahan sampai dua minggu.

Sebelum disajikan, kasuami dipanaskan terlebih dahulu di atas bara api. Begitu daun pisang pembungkus kasuami dibuka, aromanya sungguh mengundang selera makan.

Pasangan makanan ini, ikan bakar dan sayur bening dari dedaunan hijau. Biasanya dari daun pepaya, bunga pepaya, daun singkong, atau daun kelor. Ikan biasanya hanya dibakar begitu saja tanpa bumbu. Cita rasa ikan dilengkapi dengan sambal pedas yang khas, berupa irisan tomat, cabai rawit, dan perasan jeruk nipis.

“Rasanya khas dan menarik untuk dicoba. Terutama jika padanannya merupakan sayur parende,” ungkap Jamaluddin, tokoh masyarakat Wangi-Wangi, Jamaluddin. Parende adalah sejenis sup ikan kuah kuning bercita rasa asam menyegarkan. Rasa segar yang diperoleh dari buah belimbing muda, asam muda, mangga mentah atau tomat, dan dibubuhi irisan cabai. Karena harus dimakan bersamaan lauk ikan dan sayuran, oleh masyarakat Sulawesi Tenggara, Kasuami diibaratkan makanan yang tidak bisa dipisahkan, layaknya suami istri.

Disadur dari Harian Republika edisi 15 April 2012 dengan reportase Bowo Pribadi dan Andi Nur Amina

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Cerita Dari Hutan Sebangau

Berkunjung ke hutan gambut yang terluka membuat terasa ancaman yang dirasakan penghuninya.

SELENGKAPNYA

Cerita Batik dari Kampung Nelayan

Batik pesisiran dari pantura membawa cerita dan sejarah yang beragam.

SELENGKAPNYA

Antara Keraton dan Batik Cirebon

SELENGKAPNYA