Gambar yang menunjukkan Abdul Rahman bin Ibrahim Sori, bangsawan Afrika yang alami perbudakan. | DOK WIKIPEDIA

Dunia Islam

Bangsawan Muslim Afrika, Dahulu 40 Tahun Jadi Budak

Bangsawan Muslim asal Afrika ini selama puluhan tahun dijadikan budak di Amerika.

Namanya adalah Abdul Rahman bin Ibrahim Sori. Sejarah mencatat kisahnya sebagai seorang bangsawan dari kawasan Afrika barat yang mengalami nasib getir. Alih-alih hidup dalam kemewahan layaknya ningrat, ia justru berstatus sebagai budak di negeri orang selama empat dekade.

Saat memimpin wilayah Futa Jallon, Guinea, pemimpin Muslim tersebut diserang dan mengalami kekalahan. Dalam kondisi terbelenggu, dirinya dijual sebagai budak oleh para penyandera. Dijual dari satu pedagang ke pedagang lainnya, ia pun terdampar ke Amerika Serikat pada 1788.

Rentang 40 tahun bukanlah waktu yang singkat. Berbagai pengalaman pahit dialaminya selama bekerja sebagai hamba sahaya di AS. Agaknya, Abdul Rahman cukup beruntung karena tidak tutup usia sebagai budak.

 
Berbagai pengalaman pahit dialaminya selama bekerja sebagai hamba sahaya di AS.
 
 

Tuannya yang bernama Thomas Foster akhirnya mendapati informasi bahwa budaknya itu tergolong kaum bangsawan di Afrika. Sejak menginsafi hal itu, lelaki kulit putih tersebut lalu menyebutnya sebagai “pangeran” (prince). Sebutan itu tetap melekat pada diri Abdul Rahman sampai hari-hari terakhirnya.

Pada 1828, ia memperoleh kebebasan penuh. Hal itu terwujud usai pemerintah AS memulihkan statusnya sebagai seorang ningrat. Sebelumnya, presiden AS John Quincy Adams dan sekretaris negara Henry Clay menerima surat resmi dari sultan Maroko ketika itu. Isinya meminta agar Negeri Paman Sam segera membebaskan Abdul Rahman dari belenggu perbudakan.

Profil tokoh

Abdul Rahman bin Ibrahim Sori adalah seorang penguasa (amir) yang memimpin kaum Muslim Torodbe Fulani. Ia lahir pada tahun 1762 di Timbo--sekarang termasuk wilayah Republik Guinea. Ayahnya, Almami Ibrahim Sori, turut membentuk konfederasi Futa Jallon pada 1776. Negeri ini menjadikan Timbo sebagai ibu kota.

Sejak kecil, Abdul Rahman menerima pendidikan keislaman dan umum yang cukup baik. "Dia mempelajari ilmu-ilmu Islam dan mahir menggunakan setidaknya empat bahasa Afrika, selain bahasa Arab. Abdul Rahman juga pernah menuntut ilmu di kota yang terkenal, Timbuktu, sebelum tahun 1781," demikian kutipan dari laman New Africa Center.

Saat berusia 26 tahun, ia diangkat menjadi amir dari salah satu resimen yang menaklukkan tanah Bambara. Pada 1788, sang ayah menetapkannya sebagai kepala pasukan. Salah satu misinya adalah melindungi serta memperkuat kepentingan ekonomi negerinya di kawasan pantai.

Selama kampanye militer, Abdul Rahman ditangkap dan akhirnya dijadikan sebagai budak. Ia sempat dijual ke Inggris, sebelum tiba di Amerika.

 
Selama kampanye militer, Abdul Rahman ditangkap dan akhirnya dijadikan sebagai budak.
 
 

Tuan Amerika pertamanya menetap di Natchez, Mississippi. Di sana, Abdul Rahman bekerja sebagai pemetik kapas di perkebunan selama lebih dari 38 tahun.

Pada 1794, melalui budi baik Thomas Foster, ia dapat menikah dengan Isabella. Wanita ini pun adalah salah seorang budak majikannya. Dari pernikahannya ini, pasangan suami-istri tersebut dikarunai lima orang putra dan empat putri.

Karena memiliki pengetahuan yang baik tentang menanam kapas, Abdul Rahman pun ditempatkan oleh Foster di Futa Jallon. Tugasnya sebagai mandor bagi para pemetik kapas. Posisi ini menjadikannya punya banyak waktu luang, yang lalu dimanfaatkannya untuk mengolah kebun sayur kecil-kecilan miliknya. Hasil dari kebun itu dijualnya ke pasar lokal.

Selama waktu ini, ia bertemu dengan seorang kenalan lama, Dr John Cox. Akademisi ini adalah seorang ahli bedah Irlandia yang pernah bertugas di kapal Inggris.

Dahulu, Cox pernah ikut dalam pelayaran menuju Timbo. Sayangnya, kapal yang ditumpanginya karam. Orang kulit putih ini lalu ditolong keluarga Abdul Rahman hingga beberapa bulan kemudian siap kembali ke Eropa.

Perjumpaannya lagi dengan Cox memberikan harapan baru. Cox pun berkali-kali meminta pada Thomas Foster agar mau "menjual" (baca: membebaskan) budaknya itu. Walau mengetahui statusnya sebagai seorang "pangeran" di Afrika, Foster tidak mau mengalah.

Sebab, Abdul Rahman dipandang masih sangat diperlukan di peternakan dan perkebunan kapas miliknya. Maka, Dr Cox terus berusaha membebaskan kawan lamanya tersebut hingga dirinya meninggal pada 1829. Sepeninggalnya, sang putra melanjutkan usaha dalam membebaskan Abdul Rahman.

Pada 1826, Abdul Rahman menulis surat kepada seorang kerabatnya yang bekerja sebagai wartawan lokal di Afrika. Hasil korespondensi itu lalu sampai pada Andrew Marschalk, seorang jurnalis berkebangsaan Belanda, yang lantas mengirimkan surat kepada senator Thomas Reed dari Mississippi. Dari sana, informasi lalu menjalar ke Konsulat AS di Maroko.

Karena Abdul Rahman menulis dalam bahasa Arab, Marschalk dan pemerintah AS menganggap dirinya sebagai orang Moor. Setelah sultan Maroko Abderrahmane membaca surat tersebut, ia meminta presiden AS Adams dan menteri luar negeri AS Henry Clay untuk membebaskan sang "pangeran".

Pada 1829, Thomas Foster akhirnya menyetujui pembebasan Abdul Rahman, tanpa pembayaran apa pun. Sebelum meninggalkan AS, lelaki Afrika ini dan istrinya pergi ke berbagai negara bagian dan Washington DC.

Sebab, Foster masih "menahan" anak-anak mereka agar tidak ikut ke Afrika. Kepergiannya ke pelbagai penjuru AS itu adalah untuk menggalang dukungan demi pembebasan para buah hati mereka.

Kabar itu pun sampai ke Foster. Dianggapnya bahwa upaya penggalangan simpati itu sebagai pelanggaran atas perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Pemilik perkebunan kapas itu pun menyuarakan protes terhadap kebijakan presiden John Quincy Adams.

Setelah 10 bulan, Abdul Rahman dan Isabella hanya bisa mengumpulkan setengah dari dana yang diperlukan guna menebus anak-anak mereka. Akhirnya, ia pun berangkat ke Monrovia, Liberia, tanpa anak-anaknya.

Di sana, Abdul Rahman sempat menetap selama empat bulan hingga terjangkit demam. Dalam usia 67 tahun, ia mengembuskan nafas terakhir.

Sang Penjaga Rahasia Rasulullah

Ibnu Mas'ud dijuluki sebagai sang penjaga rahasia Rasulullah SAW.

SELENGKAPNYA

OKI: Hentikan Provokasi di Al-Aqsha

OKI memperingatkan konsekuensi dari provokasi oleh otoritas Israel.

SELENGKAPNYA

Usaid, Sang Sahabat dan Qari Bersuara Merdu

Usaid bin al-Hudhair adalah sahabat Nabi SAW dan juga seorang qari.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya