Foto udara lahan rusak akibat pembalakan liar di Kawasan Hutan Alam Sekunder, Blok Legok Eceng, Gunung Cakrabuana, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kamis (21/7/2022). | ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

Opini

Banjir dalam Tradisi Komunal

Kokohnya tradisi komunal dalam menghadapi bencana alam tak hanya ditemukan di desa-desa Jawa.

 

RIZA MULTAZAM LUTHFY; Peneliti pada Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (Puskolegis) Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Ampel Surabaya

Akibat guyuran air hujan dalam beberapa hari terakhir, banyak daerah di Indonesia dilanda banjir. Di samping mengakibatkan jatuhnya banyak korban, musibah ini merusak area perumahan, gedung perkantoran, serta beragam fasilitas publik.

Banjir tak hanya menimbulkan kerugian finansial cukup besar. Lebih dari itu, juga memunculkan dampak psikologis luar biasa bagi manusia. Banjir tahunan yang menerjang beberapa wilayah memunculkan rasa sedih, depresi, serta trauma.

Di wilayah perdesaan, bencana alam dihadapi dengan cukup sigap. Kaum tani jauh-jauh hari mempersiapkan diri ‘menyambut’ datangnya banjir. Kultur agraris rupanya turut membentuk karakter dan mentalitas petani menghadapi bermacam bencana alam, salah satunya banjir.

Munculnya musibah banjir tak menyebabkan ikatan persaudaraan dan kekeluargaan petani di desa rapuh, justru semakin kuat.

 
Kultur agraris rupanya turut membentuk karakter dan mentalitas petani menghadapi bermacam bencana alam, salah satunya banjir.
 
 

Gugur gunung

Komunalisme membimbing petani bersama-sama mengusir kecemasan, keresahan, serta penderitaan dengan beragam kearifan lokal. Hal ini didukung fakta, mereka sejak lama dibebani kewajiban menjauhkan desa dari segala ancaman.

Uniknya, tanggung jawab komunal yang melekat pada kaum tani telah melembaga di wilayah pedalaman. Berdasarkan catatan historis, kaum tani mempunyai keharusan komunal bergotong-royong melakukan perbaikan desa.

Sebagai warga desa, mereka harus senantiasa bersigap, terutama saat terjadi bencana. Ini antara lain dijumpai di desa-desa Jawa. Tradisi gugur gunung saat banjir, longsor, dan bencana alam lainnya, terpelihara cukup baik.

Lantaran, kaum tani senantiasa menjunjung nilai kebersamaan. Di Mangkunegaran, misalnya, nara karya atau orang-orang yang menggarap tanah para bekel, memiliki kewajiban komunal terhadap desa.

Merujuk buku Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, tugas desa biasa bagi nara karya meliputi pemeliharaan jalan, bendungan, jembatan, ronda. Adapun tugas desa luar biasa berupa gugur gunung saat muncul malapetaka seperti banjir.

 
Dalam taraf tertentu, upaya masyarakat urban meredakan banjir di perkotaan merupakan imitasi masyarakat desa.
 
 

Kerja wajib ini tak memperoleh imbalan tetapi lebih merupakan pengganti atas tanah yang digarap. Jika keberatan dengan kewajiban ini, mereka bisa membebaskan diri dengan berpindah ke tempat lain (Wasino, 2008: 149).

Tindakan orang desa menghadapi banjir, terutama kelompok petani, rupanya memberi inspirasi orang-orang yang bermukim di kantong-kantong urban. Dalam taraf tertentu, upaya masyarakat urban meredakan banjir di perkotaan merupakan imitasi masyarakat desa.

Dalam konteks ini, terbentuknya organisasi kota berutang budi pada masih bertahannya organisasi desa. Mengutip Jo Santoso (2006: 17-18), terdapat sejumlah fungsi organisasi desa yang dalam perkembangannya ditemukan di wilayah perkotaan.

Antara lain pengendalian banjir, penyediaan bahan makanan, pertahanan terhadap serangan luar, kemajuan teknologi, dan sistem budaya kolektif.

Konservasi lingkungan

Kokohnya tradisi komunal dalam menghadapi bencana alam tak hanya ditemukan di desa-desa Jawa. Kesadaran mengokohkan fondasi komunalisme dalam menyelamatkan diri dari banjir juga sering dijumpai di desa-desa luar Jawa.

Desa Setulang, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur merupakan controh representatif. Orang di desa ini cukup memahami, kerusakan hutan di bagian hulu wilayahnya rentan menyebabkan banjir dan tanah longsor serta menurunkan mutu air.

Pengalaman mewariskan pelajaran berharga bagi mereka untuk bersama-sama mengonservasi lingkungan. Mereka bersepakat memelihara hutan dan menyelamatkannya dari eksploitasi kaum pengusaha.

Keputusan ini ternyata memperoleh respons positif dari kalangan konservasionis, baik dari dalam maupun luar negeri. Bahkan, sebagian masyarakat desa menginginkan tetap memiliki hutan dengan fungsi yang baik dari sisi ekologis maupun ekonomis.

 
Fungsi hutan yang baik secara ekologis, memberikan banyak manfaat bagi masyarakat sekitar.
 
 

Fungsi hutan yang baik secara ekologis, memberikan banyak manfaat bagi masyarakat sekitar karena mereka terhindar dari ancaman banjir dan tanah longsor. Mereka bisa mengelola air sungai yang jernih serta menghirup udara segar dan bersih.

Secara ekonomis, masyarakat sekitar bisa memanfaatkan hasil hutan dalam jangka panjang. Itulah mengapa, sebagian masyarakat Desa Setulang mempertahankan sekitar 5.300 hektare kawasan hutannya  sebagai ‘hutan simpanan’, yang dinamakan ‘Tane’ Olen’.

Dalam memelihara hutan, mereka membentuk Badan Pengelola Hutan Desa. (Kade Sidiyasa, dkk., 2006: 44). Pemanfaatan tradisi komunal dalam menghadapi bencana alam di desa Jawa maupun luar Jawa, mestinya jadi inspirasi bagi daerah yang mengalami problem serupa.

Sehingga, kearifan lokal yang diajarkan lewat petuah adat dan pesan leluhur mampu menyelamatkan manusia dari ancaman banjir dan bencana alam lainnya.

Dolar AS Diprediksi Terus Menguat

Penguatan dolar AS diprediksi terus berlanjut dan akan menekan nilai tukar berbagai mata uang, termasuk rupiah.

SELENGKAPNYA

'Pasien Covid-19 Berdatangan'

Para lansia dan orang yang belum pernah terkena Covid-19 rentan terinfeksi subvarian XBB.

SELENGKAPNYA

Inflademic?

Itulah yang dimaksud dengan inflademic! Masyarakat di segala penjuru dunia menggigil didera inflasi.

SELENGKAPNYA