
Arsitektur
Masjid Agung Sumenep, Warisan Sejarah di Madura
Masjid Agung Sumenep yang berdiri sejak 1779 ini memadukan pelbagai gaya arsitektur.
OLEH HASANUL RIZQA
Umumnya orang Indonesia mengenal Madura sebagai sebuah daerah dengan basis keislaman yang kuat. Di pulau tersebut, muncul banyak ulama dan sufi terkemuka. Tidak sedikit pula tokoh nasional yang berasal dari wilayah berjulukan Pulau Garam itu.
Kekhasan Islam pun tampak dari khazanah arsitektur setempat. Salah satunya adalah Masjid Agung Sumenep. Tempat ibadah yang kaya akan nilai sejarah itu beralamat di Jalan Trunojoyo, Sumenep, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Letaknya persis berseberangan dengan Taman Adipura atau alun-alun kota setempat.
Nama aslinya adalah Masjid Jamik Panembahan Somala. Sosok yang menjadi rujukan nama tersebut adalah Raden Asirudin, yakni penguasa Sumenep pada sekitar medio abad ke-18 Masehi. Gelarnya adalah Adipati Sumenep ke-31 atau Pangeran Natakusuma I.

Pembangunan masjid tersebut berlangsung seiring dengan terbentuknya Keraton Sumenep. Periode pendiriannya dimulai sejak tahun 1779 M. Sekira delapan tahun kemudian, bangunan tersebut selesai dibangun.
Masjid Agung Sumenep adalah masjid kedua yang didirikan pihak bangsawan Keraton Sumenep. Sebelumnya, mereka telah membangun sebuah masjid tepat di belakang kompleks istana. Masjid Laju, demikian namanya, diinisiasi oleh Kanjeng Raden Tumenggung Ario Anggadipa, penguasa Sumenep ke-21.
Natakusuma I begitu senang dengan adanya Masjid Agung Sumenep. Belasan tahun sesudah pendirian masjid itu, sang pangeran menuliskan wasiat yang ditujukan terutama pada penerusnya, yakni Abdurrachman Tirtodiningrat alias Adipati Sumenep ke-32.
“Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang memerintah (penguasa) dan menegakkan kebaikan. Jika terdapat masjid ini sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Karena sesungguhnya masjid ini adalah wakaf, tidak boleh diwarisi dan tidak boleh dijual, dan tidak boleh dirusak,” tulis Natakusuma I dalam prasasti yang bertahun sekitar 1806 M.

Pesona Masjid Agung Sumenep tidak hanya memancar dari historinya. Wujud bangunannya pun menunjukkan keindahan yang khas. Walaupun dirintis oleh kalangan elite lokal, corak yang tampak pada arsitektur masjid tersebut tidak didominasi satu budaya saja.
Perancang masjid raya ini adalah seorang berdarah Tionghoa, yakni Lauw Piango. Maka tidak mengherankan apabila terdapat unsur-unsur oriental pada Masjid Agung Sumenep. Bahkan, di sana pun pengunjung dapat menjumpai pengaruh arsitektur Eropa, khususnya Portugis.
Secara garis besar, rancang bangun masjid seluas 100 meter persegi itu memadukan elemen budaya Tingkok, Eropa, Jawa, dan Madura. Warna budaya Cina tampak, antara lain, pada bagian gapura, gerbang pintu masuk, dan mihrab. Adapun gaya arsitektur Portugis terlihat pada menaranya, yang menjulang setinggi 50 meter di sisi barat bangunan utama. Bagian ini didirikan pada era Kanjeng Pangeran Aria Pratingkusuma.

Secara keseluruhan, bangunan utama masjid tersebut menyuguhkan ciri khas budaya Jawa. Hal itu sangat kentara pada bagian atap. Adapun pewarnaan pada pintu utama dan jendela mengesankan kultur lokal Madura.
Di sebelah kanan dan kiri dari pagar utama, terdapat struktur yang dinaungi kubah. Pada zaman Kanjeng Tumenggung Aria Prabuwinata, pagar tersebut cenderung tertutup. Hal itu semula dimaksudkan untuk menjaga ketenangan jamaah dalam menjalankan ibadah.
Yang cukup unik dari Masjid Agung Sumenep adalah peninggalan pedang. Letaknya di atas kubah. Selain itu, ada pula sebuah batu giok dengan bobot yang konon mencapai 20 kilogram. Tidak begitu jelas, sejak kapan batu yang bernilai seni itu berada; apakah bersamaan dengan proses pembangunan atau setelah masjid tersebut didirikan.

Keasrian masjid raya ini didukung dengan adanya taman di sekitarnya. Di sana, terdapat dua pohon, yakni sawo dan tanjung. Keduanya pun memiliki makna atau tafsiran filosofis. Dalam bahasa Madura, sawo disebut sebagai sabu.
Itu pun dianggap sebagai penyatuan antara sa dan bu, yang merujuk pada shalat dan waktu (bu). Adapun tanjung dipandang terdiri atas ta dan jung, yakni ‘tanda’ dan ‘ajhunjhung’. Maka, kalimat filosofis yang dimaksud adalah “Salat ja' bu-ambu, tandha ajhunjhung tenggi kegiatan agama Allah.” Artinya, “Shalat lima waktu janganlah ditinggalkan, sebagai tanda menjunjung tinggi agama Allah.”
Seperti dilansir laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), terdapat cerita rakyat yang berkaitan dengan pelestarian bangunan di kompleks Masjid Agung Sumenep. Cerita turun temurun mengenai hukuman yang didapat bagi orang yang hendak merusak masjid. Masyarakat lokal percaya, upaya apa pun yang berpotensi mengubah penampilan masjid sebagaimana adanya akan selalu berakhir kesialan.
Pernah terjadi suatu peritiwa yang melanggar pesan pendiri Masjid Agung Sumenep. Sebagian pagar masjid dan bangunan keraton diganti dengan bahan besi. Namun, tidak lama setelah pekerjaan tersebut tuntas, orang yang mengubah pagar kedua bangunan tersebut dilaporkan tiba-tiba meninggal.
Kisah lainnya, pada suatu hari sebilah pedang yang biasa tergantung di atas mihrab Masjid Agung Sumenep hilang dicuri. Padahal, benda itu memiliki nilai historis yang tinggi.
Tepat setelah satu tahun sejak peristiwa tersebut, pedang itu dikembalikan lagi oleh si pencuri. Kepada pengurus masjid, dirinya mengungkapkan, selalu berhati gelisah dalam bulan-bulan terakhir.
Saking cemasnya, ia pun sempat melarikan diri ke berbagai pulau di Indonesia. Karena itu, dengan penuh keinsafan maling tersebut mengembalikan barang hasil curiannya.
Sejarah di Rabiul Akhir
Dalam penanggalan Hijriyah, Rabiul Akhir merupakan bulan keempat.
SELENGKAPNYAJasad Syuhada yang Terjaga
Allah SWT memperkenankan doa sahabat Nabi SAW. Jasadnya tak disentuh kaum kafir.
SELENGKAPNYA