Laskar Hizbullah menjelang Pertempuran Surabaya pada 1945. | istimewa

Kronik

Jihad Santri Melawan Penjajah

Sesudah Indonesia merdeka, kalangan santri semakin merapatkan barisan untuk membela Tanah Air.

OLEH HASANUL RIZQA

Memasuki abad ke-20, umat Islam menghadapi tantangan besar dari kolonialisme yang penindasannya kian sistematis. Sejak 1870, di Indonesia pemerintah kolonial Belanda telah membuka akses yang luas bagi masuknya modal asing untuk mengeruk kekayaan Tanah Air. 

Semua itu demi profit kapital. Memang, ada Politik Etis yang dibuka sejak 1900. Namun, kebijakan itu hanyalah topeng belaka di balik kata humanisme. Sebab, tujuan utamanya adalah berupaya mengekalkan praktik kapitalisme di negeri-negeri jajahan.

Bagaimana kalangan pesantren menangkal ekses negatif ini? Di bidang pendidikan Islam, pesantren memegang peranan penting sebagai benteng pertahanan untuk membendung pengaruh buruk pendidikan yang diselenggarakan Belanda.

Ini dilakukan secara bahu-membahu dengan upaya pelbagai wujud dan aksi modernisme Islam yang dihadirkan melalui ormas-ormas besar saat itu, semisal Sarekat Islam.

photo
Pengurus Sarekat Islam cabang Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah, pada 1921 - (Troppen Museum)

Pada 1942, Belanda yang menjajah Indonesia ratusan tahun lamanya ternyata tidak siap dengan serbuan dari luar. Dari arah utara, tentara pendudukan Jepang datang merebut Indonesia.

Negeri Mata hari Terbit tiba dengan kepentingan menjadikan Indonesia sebagai wilayah pemasok bahan baku dan bala bantuan pendukung. Tujuannya agar Jepang memenangkan Perang Asia Timur Raya yang sedang berkecamuk melawan Amerika Serikat (AS) dan sekutu.

Sebagai siasat awal, Jepang merangkul tokoh-tokoh dari kalangan umat Islam yang selama ini dipinggirkan pemerintah kolonial Belanda. Di antaranya adalah ulama yang memiliki basis massa pesantren.

Namun, baru berselang satu atau dua tahun sejak masuknya Jepang, umat Islam merasakan situasi yang sama sekali tertekan sebagaimana ketika masih di bawah pemerintah kolonial. Sejumlah pesantren menggelorakan perlawanan terhadap kekejaman Jepang.

photo
Warga terlibat saling dorong dengan pasukan Jepang di depan Hotel Majapahit saat teatrikal peristiwa perobekan bendera di Hotel Yamato sekarang Hotel Majapahit di Jalan Tunjungan, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (19/9/2018). - (ANTARA FOTO/Zabur Karur)

Satu contoh perjuangan anti-Jepang itu terjadi di Pesantren Sukamanah. Lokasinya terletak di desa Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya. Pemimpinnya merupakan kiai muda yang kharismatik, KH Zaenal Mustafa. Dia baru berusia 26 tahun saat mendirikan Pesantren Sukamanah pada 1927. Ketokohannya tidak sebatas pada pesantren tersebut. Dia sadar betul bahwa pelbagai strategi-strategi penjajah sedang melumpuhkan daya umat Islam.

Kesadaran itu menyebabkannya berkali-kali dipenjara. Kejadian berikut ini terjadi sebelum Jepang menduduki Indonesia.

Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) ini terlibat aktif dalam polemik tahun 1937. Saat itu, pemerintah kolonial Belanda hendak mengesahkan rancangan undang- undang tentang perkawinan. NU dan Muhammadiyah menolak keras pemberlakuan beleid itu. 

Menyatukan kekuatan

Untuk menyatukan kekuatan, ormas- ormas Islam arus besar kemudian membentuk Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI). KH Zainal Mustafa merupakan yang turut aktif di MIAI.

Dia kerap berceramah sambil mengecam keras campur tangan pemerintah kolonial terhadap urusan umat Islam. Pada 17 November 1941, dia ditangkap pemerintah kolonial Belanda.

photo
Gedung yang menjadi kantor Pusat MIAI - (30 Tahun Indonesia Merdeka)

Kemudian, dia menjalani masa tahanan di Penjara Sukamiskin, Bandung, selama 53 hari. Dengan datangnya balatentara Jepang, pada 31 Maret 1942 KH Zaenal Mustafa dilepaskan.

Namun, sikapnya ke Jepang tidak kurang kerasnya. Puncak dari konfrontasi itu terjadi pada Jumat, 25 Februari 1944. Peristiwa ini lebih dikenal sebagai Pertempuran Singaparna. Itulah kali pertama perlawanan terjadi terhadap pemerintah pendudukan Jepang di Jawa.

Sesudah Indonesia merdeka, kalangan santri semakin merapatkan barisan untuk membela Tanah Air. Belanda dengan sikap jumawa membonceng kekuatan militer Sekutu yang semata-mata hendak memulihkan para tawanan Perang Asia Timur Raya yang masih ada di Indonesia.

Apa lagi, pada 31 Agustus 1945 tentara Belanda sengaja mengibarkan bendera kebangsaannya di depan publik Surabaya dengan dalih memperingati hari kelahiran Ratu Belanda. Hal ini kian membuat rakyatm para pemimpin serta ulama Indonesia meningkatkan kewaspadaan.

photo
Warga menyaksikan perobekan bendera Belanda yang berkibar di Hotel Majapahit saat teatrikal peristiwa perobekan bendera di Hotel Yamato sekarang Hotel Majapahit di Jalan Tunjungan, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (19/9/2018). - (ANTARA FOTO/Zabur Karur)

Dari titik inilah, sekali lagi, peran dunia pesantren mengemuka dalam mempertahankan Indonesia. Seperti dilansir dari laman NU-Online, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy'ari pada 17 September 1945 mengeluarkan Fatwa Jihad.

Isinya antara lain adalah penegasan bahwa perjuangan membela Tanah Air merupakan wujud jihad fi sabilillah. Ini pula sebagai jawaban atas pertanyaan Presiden Sukarno sebelumnya yang memohon perspektif hukum Islam mengenai perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Peristiwa 10 November

Situasi kian memanas. Pada 19 September 1945, terjadi insiden Hotel Yamato, Surabaya. Rakyat Surabaya, utamanya para pemuda, berdatangan ke sana lantaran melihat bendera kebangsaan Belanda berkibar di pucuk bangunan hotel tersebut. Inilah tandanya tentara Belanda sama sekali tidak menghormati fakta historis Proklamasi 17 Agustus 1945.

Keributan tak terhindarkan. Seorang kader Pemuda Anshor, Cak Asy'ari, berupaya mencapai ketinggian Hotel Yamato. Lantas, dia berhasil mencapai Tri Warna dan merobek bagian berwarna biru dari kain bendera itu. Merah-Putih kembali berkibar.

Sepanjang September 1945, situasi di Surabaya betul-betul di atas ambang emosi. Laskar rakyat Indonesia terus berupaya mengambil alih persenjataan dari gudang- gudang yang dahulunya milik tentara Jepang. Di antara pergerakan bersenjata itu adalah Barisan Hizbullah dan Sabilillah yang terus melakukan konsolidasi untuk mempersiapkan strategi terbaik.

Sebagai informasi, keduanya dibentuk atas prakarsa KH Abdul Wahid Hasyim kala Jepang masih bercokol di Indonesia. Baik Hizbullah maupun Sabilillah merupakan wadah perjuangan fisik umat Islam, khususnya kaum santri, di zaman mempertahankan kemerdekaan.

Situasi kian memanas. Sejak 15 Oktober 1945, pecah pertempuran lima hari di Semarang, Jawa Tengah, antara sisa pasukan Jepang dan laskar rakyat setempat. Beberapa hari kemudian, PBNU menggelar rapat konsolidasi se-Jawa dan Madura di Surabaya.

Hasilnya mengukuhkan Resolusi Jihad, yang merupakan penguatan atas fatwa yang pada 17 September 1945 telah dikeluarkan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari.

photo
Peringatan pertempuran Lima Hari di Semarang melibatkan ratusan pemuda di kawasan Tugu Muda, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (14/10/2014) malam. Perang tersebut merupakan peringatan Pertempuran Lima Hari di Semarang yang terjadi tanggal 15 Oktober 1945 hingga 20 Oktober 1945 ketika Jepang kembali dan berusaha menguasai Semarang pasca Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. - (ANTARA FOTO)

Memasuki November, situasi semakin mendekati perang besar. Inilah pertaruhan eksistensi Republik Indonesia, yang memproklamasikan kemerdekaannya bukan lantaran hadiah penjajah, melainkan perjuangan mati-matian dengan darah dan air mata para pahlawan.

Pada 7-8 November 1945, Resolusi Jihad yang digaungkan pertama kali oleh KH Hasyim Asy'ari dikukuhkan dalam konteks yang lebih luas, yakni Kongres Umat Islam (KUI) di Yogyakarta. Ini juga sebagai respons atas ultimatum Sekutu.

Sehari sebelum pecah pertempuran akbar di Surabaya, KH Hasyim Asy'ari selaku komando tertinggi Hizbullah memerintahkan segenap kekuatan bersenjata dari kalangan santri untuk memasuki Surabaya. Perintahnya jelas: tidak akan menyerah dalam mempertahankan kemerderkaan RI.

KH Abbas Buntet Cirebon diperintahkan memimpin langsung komando pertempuran. Di antara para komando resimen yang membantu KH Abbas adalah sebagai berikut. KH Abdul Wahab Hasbullah, Sutomo (Bung Tomo), Roeslan Abdulgani, KH Mas Mansur, dan Doel Arnowo.

Bung Tomo berpidato dengan disiarkan melalui jaringan radio. Pidatonya itu begitu membakar semangat juang rakyat Indonesia yang sedang membuktikan jihad fisabilllah mempertahankan kedaulatan Indonesia sampai titik darah penghabisan. Suara Bung Tomo diakhiri dengan pekik takbir: Allahu Akbar!Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Demikianlah, tanggal 10 November 1945 akan selalu dikenang sebagai Hari Pahlawan Nasional. Resolusi Jihad yang digagas KH Hasyim Asy'ari menandakan ketegasan kalangan santri, serta umat Islam Indonesia pada umumnya, untuk tulus berjuang demi kemerdekaan negeri ini.

Ketulusan hanya mengharapkan ridha Allah SWT. Pada hari itu, ribuan pejuang menemui syahid. Namun, kekuatan laskar rakyat berhasil mengacaukan strategi Tentara Sekutu. Tercatat, saat itu tiga unit pesawat tempur RAF Inggris jatuh ditembak laskar rakyat Indonesia. 

Menjadi Penerang Saat Dunia Suram

Indonesia sebagai titik terang saat ekonomi dunia suram.

SELENGKAPNYA

Bahasa Indonesia, Warisan Sumpah Pemuda

Tersebar luasnya bahasa Melayu merupakan salah satu faktor penting menumbuhkannya.

SELENGKAPNYA

Hizbullah, Penegak Agama bagi Kejayaan Nusa dan Bangsa

Sebelum Hizbullah lebur ke TNI, diperkirakan jumlah laskar santri ini tidak kurang dari 500 ribu orang.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya