
Kabar Utama
Tenaga Honorer Diaudit Ulang
Pemda khawatir pengangkatan honorer menjadi PPPK akan membebani APBD.
JAKARTA – Pemerintah akan mengaudit ulang jumlah honorer di Tanah Air untuk mendapatkan data yang lebih akurat. Data sebanyak 1,1 juta tenaga honorer yang dilaporkan kepala daerah kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) ditengarai tidak masuk kriteria sesuai aturan yang ada.
Menpan-RB Abdullah Azwar Anas mengatakan, ada indikasi data yang diinput tidak sesuai kriteria pada surat edaran Menpan-RB Nomor B/1511/M.SM.01.00/2022. Data yang sudah masuk itu akan dikembalikan untuk diverifikasi dan diaudit ulang serta diumumkan secara transparan oleh instansi pemerintah pengusul untuk memastikan nama-nama di dalam data tersebut memenuhi syarat yang ada.
Menurut Anas, apabila hal itu tidak dilakukan, maka akan terjadi ketidakadilan terhadap para tenaga honorer yang sudah lama mengabdi karena mereka akan kalah dengan tenaga honorer yang baru masuk. Kemenpan-RB segera mengirim surat kepada kepala daerah selaku pejabat pembina kepegawaian (PPK) untuk melakukan audit ulang dan hasilnya akan ditandatangani oleh kepala daerah dan sekretaris daerah.
“Sekaligus kepala daerah (harus) memberikan surat pernyataan pertanggungjawaban mutlak (SPTJM). Jika data tidak benar, nanti akan punya konsekuensi hukum,” kata Anas dalam Rapat Koordinasi dengan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) di Jakarta, Rabu (21/9).
Anas mengatakan, upaya ini dilakukan untuk memetakan data sebenarnya tenaga honorer yang ada saat ini. Dia curiga, data yang sebenarnya tidak mencapai 1,1 juta orang tenaga honorer. “Jangan-jangan datanya cuma 600 ribu, dan ini bisa kita beresin tahun ini,” kata dia.
Surat permintaan audit ulang honorer tersebut, lanjut Anas, akan dikirim dalam beberapa hari ke depan. Data yang sudah ada sebelumnya dinyatakan tidak berlaku kecuali data tersebut sudah diaudit ulang. Menurut dia, langkah tersebut penting demi menjamin keadilan terhadap para tenaga honorer yang sudah mengantre lama. Jangan sampai, kata Anas, tenaga honorer yang telah mengabdi lama disalip oleh yang baru hanya karena persoalan administrasi.
“Data ini akan diawasi oleh BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). Kami akan meminta BPKP mengawasi data ini, apakah benar mereka yang diusulkan sudah sesuai dengan syarat-syarat yang kita edarkan. Jika yang diusulkan ternyata tidak sesuai dengan surat yang kami kirim, nanti BPKP akan mengaudit dan itu akan ada konsekuensi hukum,” ujar dia.
Pada 31 Mei 2022, Kemenpan-RB menyurati PPK di semua instansi pemerintah untuk menentukan status pegawai non-ASN (non-PNS, non-PPPK, dan eks-Tenaga Honorer Kategori II). Proses penentuan dilakukan paling lambat 28 November 2023. Setelah 28 November, pekerja di instansi pemerintahan hanya ada PNS, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), dan outsourcing. Artinya, pekerja honorer dihapus. Kebijakan ini yang kemudian mendapat tentangan dari pemerintah daerah.

Menurut Anas, kebijakan penghapusan honorer pada 2023 banyak ditentang kepala daerah karena mereka merasa geraknya terkunci tak bisa lagi merekrut tenaga honorer baru. Di sisi lain, para kepala daerah itu punya janji kerja dan janji politik kepada pemilihnya dan membutuhkan banyak tenaga untuk merealisasikannya.
Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Sutan Riska Tuanku Kerajaan, mengatakan, banyak tenaga honorer atau tenaga non-ASN yang ditempatkan di garda terdepan pelayanan masyarakat, seperti guru, tenaga kesehatan, Satpol PP, pemadam kebakaran, hingga petugas dinas perhubungan. Mereka mengkhawatirkan kesempatan untuk menjadi PPPK melalui seleksi secara terbuka.
“Kesempatan untuk menjadi PPPK melalui seleksi secara terbuka dengan persyaratan tertentu menjadi kendala bagi tenaga honorer yang sudah lama. Terlebih mereka harus bersaing dengan para lulusan sarjana yang baru lulus,” ujar Sutan.
Di sisi kepala daerah, pengangkatan PPPK oleh pemda sebagai konsekuensi penghapusan tenaga honorer akan membebani anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Sebab, kata dia, ASN PPPK memiliki standar gaji serta tunjangan yang hampir sama dengan ASN PNS. Melihat itu, kata dia, ada masukan dari kepala-kepala daerah jika memang harus mengangkat PPPK, anggarannya harus ditransfer oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ke daerah-daerah.
Ketua Umum Perkumpulan Honorer K2 Indonesia (PHK2I), Sahirudin Anto, berharap kebijakan penghapusan honorer pada 2023 dibatalkan. Apabila rencana pembatalan kebijakan itu direalisasikan, hal itu merupakan penghargaan kepada honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun. “Itu langkah yang tepat dalam rangka menghargai pengabdian yang dilakukan oleh honorer dengan masa kerja puluhan tahun itu,” kata dia.
Ketua Koordinator Wilayah PHK2I Se-Indonesia Eko Mardiono, menilai, Menpan Anas sangat mungkin pernah mengalami persoalan yang sama ketika menjabat sebagai bupati Banyuwangi. Apabila honorer dihentikan sekalipun, pemda atau dalam hal ini satuan kerja perangkat daerah (SKPD) akan tetap memenuhi kekurangan tenaga yang ada.
“Seperti misalkan kekurangan tenaga kebersihan, tidak mungkin dia harus menunggu PPPK satu tahun ke depan. Saat ini, satu hari, dua hari, dua pekan, otomatis mereka akan merekrut lagi. Itu akan terjadi secara terus menerus,” kata Eko.
Panja dibentuk
Komisi IX DPR RI membentuk panitia kerja (panja) untuk mengawal nasib tenaga kerja honorer. Panja ini akan mengawal dan mendengarkan masukan honorer, khususnya mitra Komisi IX, yakni honorer bidang kesehatan di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Kurniasih Mufidayati mengatakan, pembentukan panja ini sebagai upaya advokasi dari dampak rencana penghapusan honorer pada 2023. Dia menyebut, Panja Tenaga Kerja Honorer di Komisi IX sudah dua bulan bekerja dan telah mendengar berbagai aspirasi, khususnya dari honorer kesehatan. “Rasanya tidak adil kalau pandemi menurun, tapi dilupakan begitu saja pengorbanan tenaga kerja honorer kita,” kata dia, Rabu (21/9).

Panja Komisi IX, menurut Kurniasih, sudah melakukan dengar pendapat dengan tenaga kerja, mengumpulkan data persoalan, hingga mendengar keluh kesah dari pekerja honorer. Dia menyebut, panja juga sudah melakukan kunjungan ke provinsi yang memiliki banyak tenaga kerja honorer, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Kurniasih yang juga menjabat ketua Panja Tenaga Kerja Honorer Komisi IX ini mengatakan, Komisi IX juga mengadakan pertemuan lintas komisi seperti dengan Komisi II yang menjadi leading sector dalam isu honorer. Komisi II DPR diketahui merupakan mitra dari Kemenpan-RB dan Kemendagri.
“Kami sudah mendorong dibentuknya Pansus Tenaga Kerja Honorer, dengan menggandeng Komisi II, Komisi IX, Komisi IV, dan Komisi X karena masing-masing mitranya memiliki tenaga kerja honorer seperti guru dan di bidang pertanian,” ujar dia.
Politikus PKS ini mengatakan, syarat pembentukan pansus di Komisi IX sudah terpenuhi. Saat ini, menurut dia, persyaratan tersebut sudah masuk ke pimpinan DPR untuk dibawa ke paripurna. “Kami mendorong dibuat pansus lintas komisi supaya bisa menjadi jembatan komunikasi dengan pemerintah untuk merumuskan bersama solusi, yang tidak merugikan dan adil untuk teman-teman honorer di bidang apa pun,” ujarnya.
Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda mengatakan, saat ini Komisi II tengah berupaya merealisasikan Panitia Khusus (Pansus) Tenaga Honorer. Upaya tersebut dilakukan untuk membahas persoalan tenaga honorer dan memperjuangkan nasib para honorer.
“Kita di DPR sedang berupaya membentuk pansus dan mudah-mudahan kita punya ketegasan politik terkait dengan nasib honorer ini,” ujar Rifqi dalam rapat kerja dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB), Abdullah Azwar Anas, Rabu (21/9).
Rifqi mengatakan, persoalan kemanusiaan dalam kasus tenaga honorer yang ada saat ini harus dipikirkan bersama. Meski demikian, hal itu tidak boleh menegasikan profesionalitas di dalam birokrasi. Sebab, menurut dia, jika diusut masa lalu dari tenaga honorer, tidak semuanya hadir dengan sistem merit. Sudah menjadi rahasia umum, rekrutmen honorer tidak sedikit yang dilakukan berbasis kedekatan dan nepotisme.
Menpan-RB Abdullah Azwar Anas mengatakan, pemerintah kini tengah menyiapkan solusi jalan tengah, yakni memperbolehkan pemerintah daerah merekrut tenaga honorer baru hingga masa jabatan kepala daerahnya berakhir. Tapi, solusi itu belum ditetapkan secara resmi, masih dalam tahap pembahasan lebih lanjut. “Ini solusi. Kalau tidak ada solusi, marah semua bupati-bupati itu,” kata Anas.

Masa kerja
Sejumlah guru swasta yang tergabung dalam Forum Guru Belum Passing Grade dan Belum Ikut Tes 2021 (FGBPGDBT) meminta pemerintah agar mempertimbangkan masa kerja mereka dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) 2022. Masa kerja harus menjadi pertimbangan utama dalam penilaian seleksi honorer menjadi PPPK.
“Masa kerja kami sebagai guru swasta perlu dipertimbangkan, karena berdasarkan Permenpan-RB terbaru itu masa kerja kami tidak dipertimbangkan, dan kami harus mendaftar sebagai pelamar umum,” ujar Wakil Ketua FGBPGDBT Kusnadi.
Kondisi itu, menurut dia, berbeda dengan guru honorer di sekolah negeri, yang masa kerja turut dipertimbangkan dengan ketentuan minimal mengajar selama tiga tahun. Padahal, menurut dia, pada seleksi PPPK tahap satu dan tahap dua, ketentuan masa kerja guru swasta masuk dalam pertimbangan.
Oleh karena itu, pihaknya meminta pemerintah agar mengkaji kembali kebijakan tersebut, yang tertuang di dalam Permenpan RB Nomor 20 Tahun 2022 tentang Mekanisme Baru Perekrutan ASN PPPK Guru. “Hari ini (kemarin), kami menyampaikan pada PGRI terkait persoalan yang dihadapi para guru swasta ini,” kata dia.
Kusnadi menambahkan, munculnya aturan tersebut menyulitkan para guru swasta untuk ikut seleksi PPPK. Padahal, kondisi mereka sudah membuat akun pada 2021, tetapi belum lolos passing grade dan belum ikut tes. “Kami saat ini berada dalam kondisi tidak aman, karena kami harus dimasukkan ke pelamar umum,” kata dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Pemerintah Harus Pikirkan ‘Obat Mujarab’ untuk Honorer
Banyak tenaga honorer teknis dan nonteknis yang telah mengabdi berpuluh-puluh tahun.
SELENGKAPNYAHonorer yang Lulus 2021 Jadi Prioritas PPPK
Penetapan formasi ASN PPPK tahun ini memprioritaskan pemenuhan kebutuhan guru dan tenaga kesehatan.
SELENGKAPNYAForum Guru Honorer dan Guru Swasta Tolak RUU Sisdiknas
Dalam UU yang ada seharusnya pemerintah menjamin kesejahteraan guru.
SELENGKAPNYA