
Filantropi
Intip Pengelolaan Dana Lembaga Amil Zakat
Lembaga zakat harus memperhatikan kewajaran, proporsionalitas, dan kepantasan.
OLEH RAHMA SULISTYA
Lembaga amil zakat sedang dilanda kesalahpahaman yang harus segera diluruskan. Pengelolaan dana lembaga amil zakat dikait-kaitkan dengan lembaga sosial yang bukan berbasis Islam.
Masyarakat perlu mendalami lagi perbedaan antara lembaga amil zakat dengan lembaga sosial. Secara jelas dan tegas, lembaga amil zakat pengawasan diawasi juga oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementerian Agama (Kemenag) RI, dan juga Forum Zakat (Foz).
Sementara itu, lembaga sosial sudah jelas berada di bawah pengawasan Kementerian Sosial (Kemensos) RI. Apabila lembaga-lembaga sosial ini kemudian bermasalah, entitas legalitasnya pun berhubungan langsung dengan Kemensos.
Direktur Eksekutif Forum Zakat (Foz), Agus Budiyanto, memaparkan dengan gamblang bagaimana pengelolaan zakat, infak, sedekah (ZIS) di lembaga-lembaga amil zakat. “Hitung-hitungan penggajian amil ini, kita merujuk pada dua regulasi dan satu fatwa. Fatwanya adalah ada di surat At-Taubah ayat 60, bahwa zakat itu hanya boleh disalurkan kepada delapan golongan yang berhak, salah satunya adalah amil,” ujar Agus saat dihubungi Republika/, Senin (18/7/2022).

Dari fatwa itu, amil punya hak seperdelapan atau dalam presentase itu 12,5 persen. Kemudian secara regulasi, lembaga-lembaga amil zakat mengacu pada Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 606 tahun 2020, tentang pedoman audit syariah.
Dalam KMA No. 606 itu disebutkan hak amil maksimal 12,5 persen dari dana zakat yang dihimpun dalam setahun, dan dana operasional yang diambil dari dana infak, sedekah, atau kegiatan Islam lainnya, itu maksimal 12,5 persen.
“Jadi perlu digarisbawahi juga bahwa hak amil 12,5 persen, tidak 100 persen untuk menggaji amil, jadi banyak untuk keperluan lain-lainya seperti iklan, fundraising, dan lainnya,” kata Agus lagi.
Lalu ada juga fatwa MUI tahun 2011 tentang zakat, dikatakan bahwa dalam mengelola dana operasional, lembaga zakat harus memperhatikan tiga hal yakni kewajaran, proporsionalitas, dan kepantasan. Inilah yang menjadi batasan-batasan etis bagi semua lembaga amil zakat.

Sebagai lembaga yang ikut mengawasi, Foz selalu melakukan penarikan data yang berada dalam naungan Foz. Alih-alih sekedar pengawasan, Foz juga fokus pada pembinaan untuk memastikan kompetensi para amilnya dan akuntabilitas lembaganya.
Foz mengadakan pelatihan-pelatihan bagi amil zakat, seperti sertifikasi amil zakat dan membuat pedoman akuntansi khusus lembaga amil zakat PSAK 109 yang dibuat bersama dengan Ikatan Akuntan Indonesia pada beberapa tahun lalu, sehingga pencatatannya khusus.
“Kita juga mendampingi lembaga-lembaga yang belum mendapatkan legalitas dari Kemenag. Itu kita dampingi dari awal sampai kemudian dapat legalitasnya. Supaya secara regulasi itu aman semua. Jadi alih-alih kita bicara sekedar pengawasan, yang lebih penting dari sekedar pengawasan adalah pembinaan kepada lembaga-lembaga kita,” papar Agus.
Foz juga memfasilitasi diskusi-diskusi antarpimpinan lembaga zakat. Tujuannya agar lembaga amil zakat kecil bisa belajar dari lembaga amil zakat yang sudah besar, dan lembaga amil zakat yang sudah besar punya kerendahan hati untuk mengajari lembaga-lembaga amil zakat kecil agar bisa tumbuh bersama, kuat bersama, serta menjadi ekosistem gerakan zakat yang semakin kuat secara kolektif.

Seluruh lembaga amil zakat sangat diawasi secara ketat lewat aturan-aturan rigid, termasuk soal tata kelola dan pengendalian internal. Jadi setiap enam bulan dan setiap satu tahun, seluruh lembaga zakat harus melapor ke Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Kemenag.
Kemudian setiap tahun juga harus ada audit keuangan dan kepatuhan syariah, di mana regulasi mewajibkan lembaga zakat punya Dewan Pengawasan Syariah yang direkomendasikan MUI. Lalu ada beberapa inovasi lembaga zakat yang mengikuti sertifikasi ISO, untuk menjamin pengelolaan organisasi dan mutu kelembagaan baik.
“Ditambah lagi dengan adanya standar kompetensi kerja nasional Indonesia tentang amil zakat yaitu sertifikasi amil zakat. Jadi saking banyaknya regulasi yang mengatur lembaga zakat, itu seharusnya memberikan keamanan, kenyamanan, dan kepercayaan bagi masyarakat untuk berzakat melalui lembaga,” papar Agus.
Menyalurkan ZIS melalui lembaga ini memiliki dampak yang berkali lipat, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir dengan dana yang dititipkan pada lembaga-lembaga amil zakat. Agus mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama mengawal dana ZIS titipan dermawan ini.

Republika beberapa waktu lalu juga mengadakan diskusi bertajuk ‘Masihkah Filantropi Islam Bisa Dipercaya?’. Dengan mengundang beberapa narasumber seperti Ketua Umum Foz, Bambang Suherman, Ketua Baznas, Dr KH Noor Achmad, Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kemenag, Dr Tarmizi Tohor, Sekjen MUI, KH Amirsyah Tambunan.
“Jadi kalau kita sudah mengelola uang, kita tidak boleh melepas kaidah-kaidah keuangan. Kalau seandainya dana zakat itu tidak boleh dipakai untuk piutang, ya sudah kita ikuti saja aturannya,” ucap Noor Achmad dalam pertemuan itu.
Menurut dia, semua lembaga amil zakat harus bersyukur jika sudah ada lembaga yang mandiri dan kontrolnya ketat. Jangan sampai niat hati ingin masuk surga dengan menjadi amil, justru berbalik masuk neraka karena tidak amanah.
“Ini persoalan pertarungan hidup kita seperti itu. Kita harus saling ingat mengingat. Forum ini juga supaya menyadarkan kita bersama bahwa mengelola uang itu harus berhati-hati dan amanah dengan dikontrol masyarakat sendiri. Dan kalau ada penyimpangan itu seperti bangkai yang akan tercium juga terbongkar juga,” kata dia.
Tetap Dermawan Tanpa Prasangka
Aturan lembaga amil zakat dan lembaga sosial sudah berbeda dari akarnya, pengawasan hingga pengelolaan donasinya pun juga berbeda. Andai ada sedikit kesamaan, patokan regulasinya tetap berbeda dan tidak bisa lantas dianggap sama saja.
Direktur Komunikasi dan Aliansi Strategis Dompet Dhuafa, Bambang Suherman, memaparkan standar regulasi yang berlaku di seluruh lembaga amil zakat, termasuk Dompet Dhuafa. Jauh sebelum regulasi ini disahkan, beberapa lembaga sudah eksis lebih dulu dibanding regulasinya.
Regulasi baru muncul 2011, sementara kegiatan yayasan berbasis Islam sudah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia dulu. Seperti Dompet Dhuafa yang sudah berdiri sejak 1994, bergerak konsisten mengumpulkan donasi zakat, infak, sedekah (ZIS) dan donasi dalam bentuk lainnya.
Jika kemudian muncul lembaga-lembaga amil zakat yang secara sadar tidak ingin mengurus prosedur yang berlaku, mungkin baru itu bisa disebut lembaga amil zakat ilegal. “Saran saya untuk masyarakat, pilih saja yang sudah legal. Legal itu berarti sudah punya izin untuk mengelola tematik donasi atau tematik ZIS,” ungkap Bambang.
Ia menjelaskan bahwa proses pelaporan keuangan di lembaga amil zakat biasanya ditinjau berdasarkan rencana kerja anggaran tahunan. Ini dibagi menjadi kegiatan berbasis zakat, infak sedekah, dan dipisahkan yang berbasis wakaf, karena ini dua legal yang berbeda.

Lalu secara internal di sistem manajemen Dompet Dhuafa, hal-hal itu semua di-update setiap bulan, kemudian tiap enam bulan dilakukan reviewcapaian pengelolaan keuangan di lembaga, dan di akhir adalah evaluasi tahunan, sekaligus biasanya satu paket dengan audit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP).
Secara regulasi, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Kementerian Agama (Kemenag) RI yang melakukan proses monitoring dan evaluasi, dilakukan dua kali dalam setahun yakni di pertengahan dan akhir tahun. Namun, Dompet Dhuafa tetap membuat laporan yang dilakukan setiap bulan ke Baznas dan Badan Wakaf.
Jika memang ada masyarakat yang sangat penasaran dengan seluruh pengelolaan dananya, mengacu pada Undang-Undang Kebebasan Informasi Publik, masyarakat bisa mengajukan diri untuk tahu pengelolaan dana secara rinci. Tetapi juga harus memperhatikan persyaratan dan menjunjung Undang-Undang Kerahasiaan Nasabah.
Sama dengan lembaga amil zakat lainnya, Dompet Dhuafa juga mengacu pada aturan yang sudah dipaparkan oleh Forum Zakat (Foz) lewat akun Instagram Foz, menyoal hak amil. Lebih lanjut, Dompet Dhuafa sendiri membagi hak 12,5 persen itu ke beberapa hal lain juga selain untuk ‘menggaji’, juga untuk peningkatan kapasitas lainnya seperti biaya aset, sistem, komunikasi, dan manajemen.
“Dan secara langsung, lembaga-lembaga bisa diakses oleh publik untuk mengetahui informasi yang mereka butuhkan. Tentu saja ada informasi yang bersifat terbuka dan terbatas. Ini disesuaikan juga dengan regulasi yang berlaku karena ini berhubungan dengan data orang per orang,” kata Bambang.
Perlu Regulasi Haji Furada
Adanya regulasi bisa memberikan perlindungan kepada jamaah dan PIHK.
SELENGKAPNYAProdusen Lokal Ikut Ramaikan Pasar EV
Perusahaan juga menghadirkan sistem internet of things (IoT) dengan artificial intelligence.
SELENGKAPNYA