Katib Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH M Mujib Qulyubi. | DOK IST

Hiwar

KH M Mujib Qulyubi, Optimisme Menyambut Idul Adha

KH M Mujib Qulyubi berpendapat, kurban mengajarkan kepunyaan Allah akan kembali kepada-Nya. Semua adalah milik Allah.

Kaum Muslimin akan menyongsong kedatangan Idul Adha dalam beberapa pekan lagi. Menurut KH M Mujib Qulyubi, perayaan Idul Kurban hendaknya diiringi dengan sikap optimisme walaupun pandemi masih mendera. Menurut katib syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut, ada pelbagai hikmah dari fenomena hari raya yang kembali dilalui di tengah kondisi wabah Covid-19.

Kiai Mujib mengatakan, ibadah kurban mengajarkan umat Islam bahwa segala sesuatu adalah milik Allah SWT. Prinsipnya, inna lillahi wa innaailaihi rajiun, “sesungguhnya kami semua adalah milik Allah, dan kepada-Nya-lah kami akan kembali.”

Selain itu, kurban pun mengingatkan Muslimin pada keteladanan Nabi Ibrahim AS. Sang rasul mengorbankan banyak hal dalam hidupnya untuk semata-mata ridha Allah Ta’ala. Dari sosok berjulukan Khalilullah (Kekasih Allah) itu, maka lahirlah syariat berkurban.

“Dengan berkurban, kita melatih keikhlasan. Jadi, kalau kita mempunyai rezeki, sebaiknya kita berkorban. Apalagi, kini pandemi. Sekaranglah saatnya kita membangun kepekaan dan kepedulian sosial,” tuturnya.

Idul Adha memang memancarkan banyak hikmah yang, bila direnungkan dengan saksama, akan menimbulkan optimisme Muslimin. Bagaimana seyogianya umat menyambut hari raya tersebut?

Khususnya bagi calon jamaah haji yang urung berangkat tahun ini, apa saja hikmah yang bisa dipetik? Untuk menjawabnya, berikut perbincangan wartawan Republika, Muhyiddin, dengan Wakil Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) ini beberapa waktu lalu.

Tahun ini, umat kembali menyongsong Idul Adha di tengah pandemi. Bagaimana Anda melihatnya?

Saya kira, pandemi ini sedang berlalu dan akan berlalu. Oleh karenanya, di musim pandemi ini sebaiknya umat Islam pun memunculkan kesadaran, rela berkurban bagi sesama. Kesadaran ini seperti (kampanye) memakai masker dan protokol kesehatan. Sebab, semangatnya sama, ingin menunjukkan pengorbanan kepada orang lain. Jadi, jangan sampai (penyakit) tertular kepada orang lain.

Semangat Idul Adha memang selaras dengan kesadaran menghadapi pandemi. Kesamaannya, jangan sampai kita jadi sombong, hanya memikirkan diri sendiri. Sehat sendiri-sendiri, tapi tidak peduli terhadap orang lain. Tidak boleh begitu. Semangat kepedulian dan berkorban untuk orang lain, saya kira, harus ditumbuhkan.

Setiap momen Idul Adha, kita pun mengenang sosok Nabi Ibrahim AS. Menurut Anda, bagaimana kita bisa mencontoh keteladanan beliau?

Sebaiknya, kita tidak hanya meneladan Nabi Ibarhim dan Nabi Ismail dalam hal berkurban. Contoh pula bagaimana Nabi Ibrahim membentuk keluarga sakinah. Sebab, beliau memiliki istri yang salehah, anak yang saleh. Ketaatannya kepada Allah SWT “menular” pula kepada anak dan istrinya.

Momentum membangun keluarga yang diridhai Allah juga ada kaitannya dengan musim pandemi. Saat ini, kita diberi kesempatan yang sangat besar untuk melihat kembali bagaimana sikap dan keberagamaan keluarga kita.

Bagaimana shalat, mengaji, dan ibadah-ibadah (dilakukan) keluarga kita. Selayaknya kita dalam hal ini juga meneladan keluarga Nabi Ibrahim. Maka jadikanlah masa pandemi sebagai momentum untuk meniru keteladanan itu.

photo
Menurut KH M Mujib Qulyubi, Idul Adha seyogianya disambut dengan penuh optimisme, walaupun kondisi masih dilanda pandemi. - (DOK IST)

Bagaimana menjadikan Idul Adha sebagai momen berbagi?

Sesungguhnya, tentang ibadah kurban ini Allah telah memberikan pelajaran untuk kita. Apa pun yang kita miliki itu hanya titipan-Nya. Misalnya, sekarang nyawa begitu gampangnya diambil. Kabar-kabar duka seperti membanjiri kita. Nyawa memang adalah kepunyaan Allah SWT. Begitu pula dengan harta yang sekarang ada di tangan kita.

Idul Kurban mengajarkan bahwa kepunyaan-Nya akan kembali kepada-Nya. Semua adalah milik Allah. Maka dengan berkurban, kita melatih keikhlasan.

Jadi, kalau mempunyai rezeki, sebaiknya kita berkorban. Hasilnya bisa dimanfaatkan untuk masyarakat ekonomi lemah. Apalagi, kini pandemi. Sekaranglah saatnya kita membangun kepekaan dan kepedulian sosial.

Apakah berdosa orang Islam yang mampu, tetapi enggan berkurban?

Sabda Nabi SAW, “Barangsiapa ada kemudahan tetapi tidak mau berkurban maka jangan mendekati tempat shalat kami.” Maknanya, beliau sangat tidak senang terhadap orang yang seperti itu. Beliau membenci orang yang sudah mempunyai kelebihan harta, tetapi tidak menumbuhkan hatinya untuk berempati kepada orang lain.

Kalau ditanya apakah berdosa atau tidak, itu tergantung tingkat kebutuhan tetangganya. Kalau tetangganya memang betul-betul membutuhkan dan dia tidak mau berkurban, berarti dia berdosa. Namun, kalau tetangganya tidak begitu membutuhkan dan fakir miskinnya juga tidak banyak (di lingkungan), maka tentu tidak berdosa. Bagaimanapun, orang ini hanya akan menyalahi ketentuan Nabi SAW, tidak sampai haram.

Apakah saja perbedaan pelaksanaan syariat kurban pada masa normal dan wabah?

Saya kira, kalau pelaksanaan syariatnya sama saja. Mungkin, yang berbeda itu adalah protokol kesehatannya. Misal, tidak boleh berkurumun atau menjaga kebersihan. Apalagi, sekarang sedang banyak daerah zona merah. Jadi, saya kira distribusi dan cara penyembelihannya sama. Cuma, yang berbeda tata laksananya yang berkaitan dengan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.

Menurut Anda, apa saja yang mesti diperhatikan agar wabah dapat terkendali atau tidak meningkat kala Idul Adha?

Pertama, saya kira para tokoh agama harus meyakinkan kepada umat bahwa Covid-19 itu nyata adanya. Sebab, sudah banyak guru kita, orang dekat, kiai-kiai, sahabat-sahabat, dan keluarga besar kita, yang sudah terkena Covid-19. Ada yang sakit, dan bahkan tak sedikit yang meninggal dunia. Itu berarti Covid-19 nyata ada. Secara medis maupun laboratorium juga terbukti.

Intinya, jangan sampai mengajak orang untuk tidak percaya Covid-19. Kalaupun ada yang berupaya politisasi Covid-19 atau mencari keuntungan dari pengobatan atau vaksin, itu bisa saja terjadi. Tetapi, kita harus meyakinkan kepada umat bahwa Covid-19 itu ada.

Kedua, tentu kita harus mengikuti protokol kesehatan (prokes) yang selama ini ditentukan pemerintah. Ketiga, jangan lupa menjaga imun dan iman. Yakni, mendekatkan diri sedekat-sedekatnya kepada Allah SWT. Terakhir, jangan sungkan mengingatkan siapapun yang melanggar prokes. Misal, kalau ada yang pakai masker setengah hidung, kita harus ingatkan.

Dari sisi pemerintah, apa saja yang sebaiknya diperhatikan kalau mau pandemi lekas usai?

Saya kira, pemerintah harus satu kata dan satu komando. Dengan begitu, masyarakat pun tidak terombang-ambing di masa pandemi ini. Selain itu, pemerintah juga harus ada ketegasan dalam menerapkan kebijakan.

Yang paling penting, pemerintah harus tegas dan jelas. Jangan sampai kemudian, umpamanya, seorang gubenur dengan menteri berbeda (pandangan). Atau, menteri dan kepala daerah berbeda (pandangan). Saya kira, pada saat kita menghadapi masalah bersama ini, jangan sampai ego politik mengalahkan kepentingan bersama. Apalagi, yang saya rasakan, tanda-tanda kepentingan 2024 ini tajam sekali.

Nah, dari sisi masyarakat, tokoh-tokoh bisa terus bersuara. Misal, alim ulama bisa juga mengintensifkan umatnya untuk tetap menjaga protokol kesehatan dan mengikuti peraturan yang sudah ada. Ajaklah mereka untuk memperbanyak doa kepada Allah SAW, dan meningkatkan rasa empati terhadap orang-orang yang diimpit kesusahan.

Bagi calon jamaah haji Indonesia, momen Idul Adha tahun ini juga menjadi ujian. Menurut Anda?

Ya, kita tahu bahwa untuk tahun ini Indonesia kembali tidak mengirimkan jamaah haji. Dari sisi Arab Saudi pun, pemerintah di sana membatasi haji, yakni hanya dari dalam negeri. Itu pun hanya sebanyak 60 ribu orang dan dengan protokol kesehatan, vaksinasi yang lengkap.

Maka, saya kira, tidak ada cara selain kita—umat Islam Indonesia—bersabar. Tidak usah dan tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Sebab, kewajiban menjalankan rukun Islam yang kelima ini syaratnya adalah “manistatho'a ilaihi sabila.”

Jadi, ibadah ini memang hanya diwajibkan bagi yang mampu menuju ke sana (Tanah Suci). Nah, ketika pemerintah sudah berupaya dan ternyata memang tidak memungkinkan untuk (memberangkatkan jamaah) ke sana, itu berarti memang kita tidak mampu untuk pergi ke sana.

Pesan-pesan dari Anda untuk calon jamaah yang tertunda keberangkatannya ke Tanah Suci?

Mari kita melihat ini dari banyak sisi. Saya mengutip pandangan kalangan sufi tentang ibadah haji. Menurut mereka, banyak sekali orang yang sudah berniat haji, tetapi tidak jadi berangkat haji karena memang ada kebutuhan sosial yang lebih urgen di kampungnya. Kalau calon jamaah itu lebih memilih membantu saudara atau tetangganya yang sedang terlilit kesusahan, itu sudah dihitung oleh Allah. Bahkan, (pahalanya) sama dengan dia berangkat haji.

Nah, sebaliknya, betapa banyak orang yang sesungguhnya secara fisik sudah berangkat haji, tapi ternyata itu hanya fisiknya. Adapun ibadah hajinya ditolak oleh Allah SWT. Sebabnya, bisa banyak hal, seperti berangkat dengan uang haram atau niat pamer. Karena itu, ibadah haji ini memang membutuhkan keseriusan, lahir dan batin.

Semua kembali pada niat masing-masing?

Dalam kaidah fikihnya, niatul mu'min khoirun min 'amalihi. Niatnya orang Mukmin itu jauh lebih baik daripada ibadahnya itu sendiri. Jadi, kalau seorang Mukmin memiliki suatu niat baik, itu sudah dicatat dalam pandangan Allah sebagai satu kebaikan. Ya, walaupun niat itu tidak dilaksanakannya. Sementara, orang Mukmin yang berniat jelek, kalau niat jelek ini belum dijalankan, maka tidak dicatat. Inilah kelebihan Mukminin atau umat Nabi Muhammad SAW.

Maka dari itu, percayalah bahwa ada hikmahnya juga kita menunda berangkat haji. Misal, kita bisa lebih menyempurnakan niat kita, membersihkan diri kita untuk lebih siap berangkat ke Tanah Suci. Mempersiapkan bekal ruhaniah dengan lebih matang.

Maka, kalau menurut saya, jangan ada yang menyalah-nyalahkan pemerintah. Tidak perlu pula menyesal dan sebagainya. Ikuti saja dengan penuh kesabaran hingga pada saatnya Allah mengizinkan kita untuk menjadi tamu-Nya. Saya berharap, meskipun belum berangkat tahun ini, niat kita itu sudah dikategorikan sebagai berangkat haji dalam penilaian Allah Ta’ala.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Mujib Qulyubi (qulyubimujib)

Pandemi, ujian melatih kesabaran

Wabah belum berakhir. Pandemi Covid-19 masih harus dihadapi segenap bangsa Indonesia. Menurut KH M Mujib Qulyubi, epidemi tersebut berdampak pada banyak elemen masyarakat, termasuk kaum Muslimin.

Ia pun mengajak umat untuk melihat fenomena Covid-19 secara adil. Caranya dengan kembali banyak-banyak mengingat Allah SWT. Di samping itu, patuhi ketentuan Islam dalam menghadapi wabah. Ini sebagaimana dijelaskan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis.

Wabah pun sejatinya adalah pula ujian. Dengan ini, kesabaran umat terlatih untuk menaati peraturan yang ada, termasuk protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) itu mengatakan, salah satu bentuk ujian saat pandemi ialah penundaan ibadah-ibadah yang jamaah.

“Pandemi ini pengaruhnya sangat besar sekali bagi kita. Ambil contoh, untuk kaum Nahdliyin atau santri, sangat banyak aktivitas amaliahnya yang berkerumun. Dengan adanya pandemi ini, kegiatan-kegiatan itu kita hindari,” ujar Kiai Mujib kepada Republika, baru-baru ini.

Bagi mereka yang terbiasa menghadiri ibadah jamaah, semisal shalat lima waktu di masjid atau shalat Jumat, penundaan tersebut sungguh merisaukan hati. Akan tetapi, lanjutnya, perasaan risau hendaknya diiringi dengan kesabaran agar selalu tawakkal kepada Allah. Sebaliknya, orang yang memang jarang ke masjid, momen pandemi justru bisa menjadi dalih lainnya.

 
Bagi yang imannya lemah, ini justru aji mumpung untuk tidak jamaah dan lain-lain.
 
 

“Bagi yang imannya lemah, ini justru aji mumpung untuk tidak jamaah dan lain-lain,” ucap Wakil Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) tersebut.

Ia sendiri mengalami banyak penyesuaian jadwal akibat merebaknya virus korona di Tanah Air. Sebagai contoh, aktivitasnya yang biasanya padat, baik di kampus maupun PBNU, kini harus disiasati agar meminimalkan tatap muka.

“Karena sekarang pandemi, semuanya pakai online. Dan yang tua-tua seperti saya ini terus memberikan semangat kepada yang muda-muda untuk beradaptasi dengan digital,” jelas anggota Dewan Penasehat Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) ini.

Kiai asal Tulungagung, Jawa Timur, ini mengawali pendidikan dasarnya di kampung halamannya. Menginjak usia remaja, ia kemudian melanjutkan belajarnya ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Untuk menempuh studi pendidikan tinggi, dirinya pun merantau ke Jakarta.

Setelah lulus dari PTIQ, Kiai Mujib melanjutkan pendidikan S-2 di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Hingga akhirnya, berhasil meraih gelar doktor di Universitas Islam Nusantara (UNINUS) Bandung.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat