Tanah longsor yang disebabkan oleh gempa bumi yang kuat menutupi sirkuit di kota Nihonmatsu, prefektur Fukushima, timur laut Jepang, Minggu, 14 Februari 2021. Gempa bumi yang kuat mengguncang daerah rawan gempa di prefektur Fukushima dan Miyagi Sabtu mala | Hironori Asakawa / Kyodo News via AP

Kisah Mancanegara

Menyembuhkan Sisa Luka Fukushima

Tsunami di Fukushima merangsek ke darat hingga sejauh 10 kilometer dari garis pantai.

OLEH YEYEN ROSTIYANI

Pada 11 Maret 2011, salah satu guncangan terhebat di dunia mengakibatkan tsunami di Jepang. Sekitar 20 ribu orang meninggal dan terjadi bencana besar di reaktor nuklir Fukushima Daiichi. Hampir setengah juta orang kehilangan tempat tinggal. Puluhan ribu orang dari warga masih belum ditemukan.

Selama berabad-abad Jepang sudah menghadapi berbagai bencana, mulai dari letusan gunung berapi, gempa, tsunami, perang, hingga kelaparan. Namun, tak ada yang seperti 2011. Tiga bencana terjai sekaligus di kawasan Tohoku: gempa, tsunami, dan bencana nuklir.

Saat itu, tsunami merangsek ke darat hingga sejauh 10 kilometer dari garis pantai. Di sejumlah tempat, tinggi air akibat tsunami bahkan mencapai 43,3 meter.

Sepuluh tahun setelah bencana, kini kehidupan para penyintas masih gamang. Lebih dari 30 triliun yen (sekitar 280 miliar dolar AS) telah dihabiskan untuk membangun kembali. Namun, Menteri Rekonstruksi Jepang Katsuei Hirasawa bahkan mengakui ada kekurangan. Meski pembangunan fisik digenjot, namun masih kurang upaya untuk membantu para korban menata hidup mereka, misalnya layanan kesehatan mental untuk menyembuhkan trauma.

photo
Pemandangan udara menunjukkan tanah longsor menutupi sirkuit Ebisu setelah gempa bumi berkekuatan 7,3 skala richter di Nihonmatsu, prefektur Fukushima, timur laut Jepang, 14 Februari 2021. Pada 13 Februari 2021 malam, gempa bumi yang kuat dengan kekuatan 7,3 mengguncang timur laut Jepang, pantai prefektur Fukushima melukai lebih dari 100 orang. - (EPA-EFE/JIJI PRESS )

Yasuo Takamatsu (64 tahun) kehilangan istrinya, Yuko, ketika tsunami menghantam Onagawa, Perfektur Miyagi. Sejak saat itulah pencarian tak pernah berhenti. Ia bahkan mendapatkan sertifikat menyelam agar dapat mencari sisa-sisa jenazah istrinya.

Selama tujuh tahun, ia telah menghabiskan banyak waktu untuk menyelam. Ia telah melakukan sekira 470 kali penyelaman dan angka ini akan terus bertambah. "Saya selalu berpikir, ia pasti ada di suatu tempat, dekat sini," kata Takamatsu.

Selain menyelam solo, sebulan sekali ia juga bergabung dengan penyelaman dengan pemerintah setempat. Mereka melakukan pencarian bawah air untuk mencari sekitar 2.500 orang yang jenazahnya masih belum diketahui.

Menurut Takamatsu, luka yang dialami kotanya sebagian besar telah pulih. "Namun, pemulihan hati warganya... akan memakan waktu." Sejauh ini ia telah menemukan album foto, pakaian, dan benda-benda lainnya. Namun, tak satu pun milik istrinya.

photo
Sejumlah aktivis Greenpeace melakukan aksi damai sebagai bagian dari peringatan 9 tahun bencana Fukushima di depan Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Jumat (13/3). Aksi tersebut bertujuan mengingatkan masyarakat dan pemangku kepentingan akan bencana yang disebabkan oleh penggunaan energi nuklir dalam skala besar yang telah memberikan dampak negatif khususnya terhadap manusia dan lingkungan. - (Republika/Prayogi)

Takamatsu akan terus mencari istrinya, selama tubuhnya masih bisa bergerak. "Dalam teks pesannya yang terakhir dikirimkan kepada saya, ia bertanya, 'Apa kamu baik-baik saja? Saya ingin pulang'," tuturnya. "Saya  yakin ia masih ingin pulang ke rumah."

Sementara Michihiro Kono menuturkan kisah berbeda. Beberapa bulan setelah tsunami setinggi 17 meter menyapu Kota Rikuzentakata, ia mengambil alih usaha keluarganya di bidang kecap kedelai.

Ia mengaku, bisa melanjutkan usaha adalah salah satu keajaiban. Ia berhasil menyelamatkan ragi pembuat kecap karena ia telah menyumbangkan sebagian ke sebuah laboratorium universitas.

Dalam satu dekade terakhir, Kono berupaya membangun kembali bisnisnya di Perfektur Iwate. Tahun ini akan menyelesaikan pembangunan pabrik baru untuk menggantikan pabrik sebelumnya yang luluh lantak. Pembangunan pabrik baru itu didirikan tepat di tempat bekas pabrik lama, saat keluarganya memproduksi kecap mulai 1807.

"Ini saat penting untuk membuktikan bahwa saya bisa berbuat sesuatu dalam 10 tahun ke depan," ujar Kono, generasi ke-9 pemilik pabrik Yagisawa Shoten Co.

Namun, tantangan tetap ada. Saat ini, warga penikmat produk kecapnya telah berkurang lebih dari 20 persen, menjadi sekitar 18 ribu orang. Maka ia harus berinovasi membangun bisnis ke luar kotanya.

Kono mengenang orang-orang yang meninggal dalam tsunami. Beberapa orang di antara mereka adalah orang yang biasa ia ajak berbincang tentang revitalisasi kota. "Orang-orang itu ingin membangun kota yang hebat, dan saya ingin berbuat hal-hal yang bisa membuat mereka mengatakan, 'Bagus, kamu berhasil,' saat saya bertemu mereka lagi pada kehidupan mendatang."

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat