Siswa belajar di hari pertama tahun ajaran baru di sekolah dasar PBB di kamp pengungsi Shati, Gaza City, Sabtu (8/8/2020). | AP/Adel Hana

Internasional

Rakyat Gaza Bertahan di Kesulitan yang tak Berujung

Sistem perawatan kesehatan di Gaza kini telah hancur oleh perang dan isolasi selama bertahun-tahun.

OLEH DWINA AGUSTIN

Ahmed Eissa, ayah dari dua anak yang tinggal di Jalur Gaza, harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan tujuh dolar AS per hari atau sekitar Rp 100 ribu. Penghasilan yang pas-pasan ini makin diperparah dengan kondisi seringnya pemadaman listrik yang terus-menerus terjadi di wilayahnya.

Ketika kekhawatiran akan perang yang mungkin meletus menjadi bagian dari kesehariannya, kini virus korona menemukan jalannya ke wilayah Palestina. Eissa pun tidak tahu bagaimana dia akan memberi makan keluarganya. "Saya tidak punya tabungan dan pekerjaan, jadi tidak ada yang mau meminjamkan uang kepada saya. Saya tidak akan mengemis dari siapa pun," katanya.

Pembatasan wilayah yang kini diberlakukan Hamas bertujuan mencegah wabah yang telah mengakibatkan pandemi global ini makin tersebar di daerah berpopulasi dua juta orang itu.

Terlebih lagi, Gaza kini memiliki sistem perawatan kesehatan yang telah hancur oleh perang dan isolasi selama bertahun-tahun. Karantina wilayah di Gaza diberlakukan setelah ditemukannya kasus pertama yang menyebar secara lokal pada awal pekan ini.

Selama berbulan-bulan sebelumnya, infeksi korona yang terjadi terbatas pada fasilitas karantina. Semua pelancong yang kembali terpaksa diisolasi selama tiga pekan di pusat karantina.

Hingga saat ini, pihak berwenang belum menentukan bagaimana virus itu menyebar ke populasi umum. Dalam beberapa hari terakhir, pihak berwenang telah mendeteksi 80 kasus penularan lokal dan dua orang telah meninggal karena Covid-19.

 
Dalam beberapa hari terakhir, pihak berwenang telah mendeteksi 80 kasus penularan lokal dan dua orang telah meninggal karena Covid-19.
 
 

Hamas pun telah memperpanjang masa lockdown hingga 30 Agustus lalu. Hal ini memaksa sebagian besar usaha untuk tutup dan mendirikan pos pemeriksaan untuk membatasi pergerakan. "Kami mungkin harus menutup seluruh lingkungan dan mengunci warga di rumah mereka sambil menyediakan apa yang mereka butuhkan," kata kepala layanan keamanan Hamas, Tawfiq Abu Naim.

Terlebih lagi, Israel dan Mesir memberlakukan blokade yang melumpuhkan di Gaza setelah Hamas merebut kekuasaan pada 2007. Israel mengatakan, penutupan itu diperlukan untuk mencegah kelompok tersebut mengimpor dan memproduksi senjata.

Meskipun, kritikus melihat hal ini sebagai bentuk hukuman kolektif terhadap Hamas. Dalam beberapa pekan terakhir, kelompok-kelompok yang terkait dengan Hamas telah mengirim balon dan roket pembakar ke Israel.

Upaya ini bertujuan menekan Israel untuk meredakan pembatasan dan memungkinkan proyek pembangunan skala besar. Sebagai tanggapan, Israel melancarkan serangan udara yang menargetkan infrastruktur militer Hamas, menutup zona penangkapan ikan Gaza, dan menutup satu-satunya penyeberangan komersialnya. Hal itu memaksa satu-satunya pembangkit listrik di Gaza ditutup karena kekurangan bahan bakar.

Sebagian besar warga Gaza kini hanya mendapatkan listrik empat jam sehari. Hal ini membuat mereka tak bisa menghidupkan lemari es, AC, atau kipas angin selama berjam-jam di saat suhu berkisar sekitar 32 derajat Celsius.

photo
Pekerja Palestina menanti antrean pembagian makanan yang disalurkan lembaga bantuan PBB untuk Palestina (UNRWA) di Gaza City, Gaza, Palestina, 31 Maret 2020. Menteri Kesehatan Palestina berada di Gaza, Senin, 31 Agustus - (AP/Adel Hana)

Istri Eissa, Majda, mengatakan, panas yang ia rasakan sudah tak tertahankan. Keluarga itu mengaku kesulitan tidur pada malam hari karena udara panas.

Putrinya tidur di lantai ubin karena lebih dingin. Mereka mengganti kamar, membuka dan menutup jendela mencoba menangkap angin sesekali.

Pompa air di gedung keluarga itu pun dijalankan oleh listrik, sehingga keran menjadi kering saat listrik padam. Piring dan cucian menumpuk di dapur. "Semuanya menjadi kotor dan saya harus terus mencuci dan membersihkan menggunakan sebotol air. Saya tidak tahan tinggal di rumah lagi," kata Majda.

Eissa biasa membeli dari nelayan dan kemudian menjual kembali ikannya di pasar lokal, pekerjaan yang katanya menghasilkan sekitar 25 syikal atau 7 dolar AS per hari. Tetapi, para nelayan terdampar oleh penutupan Israel dan dia tidak diizinkan meninggalkan rumah untuk mencari pekerjaan lain karena ada pembatasan.

photo
Bocah Palestina memeriksa puing reruntuhan rumah keluarganya yang hancur akibat bombardir serangan jet tempur Israel ke wilayah kamp pengungsi di Buriej, pusat Jalur Gaza, Sabtu (15/8/2020) - (AP/Khalil Hamra)

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat