Pelatihan berhitung metode jari Aljabar secara online yang digelar Republika bekerjasama dengan Dede Supriyadi, Sabtu (4/7). | Edi Yusuf/Republika

Opini

Tata Kelola Baru Pembelajaran

Desain baru manajemen kelas di atas memungkinkan sosialisasi dan interaksi sosial.

Oleh AKH MUZAKKI

 

AKH MUZAKKI, Guru Besar Sosiologi Pendidikan UIN Sunan Ampel Surabaya

Menjelang dimulainya tahun ajaran baru 2020/2021 pada 13 Juli 2020, pandemi Covid-19 membelah aspirasi siswa dan orang tua tentang sekolah. Lihatlah respons mereka jika sekolah dibuka kembali saat pandemi masih berlangsung.

Hasil angket yang dirilis Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listiyarti (28/5/2020) menarik dijadikan ukuran.

Dalam angketnya yang disebar melalui akun Facebook dan diikuti 9.643 siswa, 18.112 guru, dan 196.559 orang tua, ditemukan pembelahan aspirasi tersebut. Mayoritas siswa setuju masuk sekolah kembali, tetapi mayoritas orang tua justru menolak.

Alasan masing-masing menyembulkan daya tarik untuk ditelaah. Mayoritas siswa setuju belajar kembali di sekolah karena jenuh belajar di rumah, sedangkan mayoritas orang tua menolak karena khawatir potensi penularan korona saat pandemi belum reda.

 
 Karena itu, suka atau tidak suka, cepat atau lambat, kegiatan belajar kembali di sekolah menjadi opsi yang tidak bisa ditolak.  
 
 

Memang fokus perhatian dan substansi yang melatarbelakangi respons siswa dan orang tua berbeda. Namun, persoalan terbelahnya respons ini harus dicarikan solusi oleh penyelenggara sekolah.

Apalagi, menyusul kebijakan pelonggaran kegiatan di ruang publik, Presiden meminta semua pihak berdamai dengan korona. Karena itu, suka atau tidak suka, cepat atau lambat, kegiatan belajar kembali di sekolah menjadi opsi yang tidak bisa ditolak.  

Dibukanya kembali sekolah akan menjadi opsi terukur paling rasional untuk diambil pemerintah. Hanya soal waktu yang menjadi pertimbangan. Di balik soal waktu itu, muncul dua permasalahan penting. Yakni, menjaga kesehatan siswa dan guru selama di sekolah melalui praktik kepatuhan terhadap protokol kesehatan di satu sisi, serta menjamin efektivitas pembelajaran di tengah implementasi protokol kesehatan di sisi lain.

Jika itu masalahnya, tak ada opsi lain bagi penyelenggara pendidikan, kecuali melakukan pembaruan tata kelola pembelajaran. Tata kelola pembelajaran yang selama ini berlangsung sebelum pandemi tak bisa lagi dipertahankan.

Harus dilakukan penyesuaian dan modifikasi, baik akademis maupun teknis. Dibutuhkan, tata kelola baru pembelajaran yang bentuknya berupa “belajar di sekolah dengan penyesuaian”.

Kata “penyesuaian” di sini berarti pembelajaran tetap bisa di sekolah, tetapi mengakomodasi protokol kesehatan. Di mana penyesuaiannya? Dari sisi manajemen kelas, rombongan belajar peserta didik bisa dipecah ke dalam dua kelompok lebih kecil.

Sebagai contoh, jika selama ini rombongan belajar berjumlah 30 orang, untuk menjamin prinsip jaga jarak mereka bisa dibagi kembali ke dalam dua kelompok rombongan belajar lebih kecil, masing-masing 15 siswa. Tempat duduk pun bisa dilakukan penjarangan.

Memang, desain ulang ini berarti menambah beban guru karena tanggung jawab kelas pembelajaran yang harus diampu guru bertambah. Namun, ini bisa menjaga jarak di antara peserta didik di kelas.

Tinggal, solusi yang bisa ditawarkan bisa berskala nasional, juga lokal. Dalam skala nasional, misalnya, Kemendikbud melakukan deregulasi. Konkretnya, mengurangi jam pelajaran dari, umpama, 90 menit menjadi 45 menit.

 
Dari sisi akademik, desain baru manajemen kelas di atas memungkinkan sosialisasi dan interaksi sosial peserta didik untuk mengembangkan potensi akademik-sosial mereka.
 
 

Jika kebijakan ini diambil, jam mengajar guru akan tetap diakui dan dianggap sah, di antaranya untuk kepentingan pemenuhan kewajiban sertifikasi.

Untuk skala lokal, Kemendikbud bisa mendorong penyelenggara sekolah memenuhi kebutuhan paralelisme proses pembelajaran dengan rombongan belajar yang sebelumnya, dipecah ke dalam dua kelompok lebih kecil.

Teknisnya meliputi dua opsi. Pertama, sekolah bisa melakukan pembelajaran paralel dalam satu waktu, tapi dengan fasilitas ruangan lebih dari satu untuk pembelajaran bidang studi bersangkutan.  

Syaratnya, sekolah menyediakan layar LCD yang bisa menghubungkan dua atau lebih kelas paralel. Dengan begitu, sekali mengajar guru bisa mendampingi proses belajar seluruh siswa. Kebijakan ini disebut lokal karena kondisi sekolah sangat variatif.

Kedua, sekolah memberlakukan sif dalam pembelajaran. Dengan kebijakan itu, guru dapat melaksanakan pembelajaran bergiliran untuk mata pelajaran yang sama bagi siswa, yang sudah dibagi ke dalam kelompok kelas kecil. 

Kebijakan sif ini diambil jika fasilitas sekolah tidak memenuhi syarat pembelajaran paralel dalam satu waktu seperti yang menjadi opsi pertama di atas. 

Dari sisi akademik, desain baru manajemen kelas di atas memungkinkan sosialisasi dan interaksi sosial peserta didik untuk mengembangkan potensi akademik-sosial mereka.

Di sisi lain, memberi ruang memadai kepada guru mendampingi dan memantau perkembangan akademik-sosial peserta didik. Belum putusnya pandemi Covid-19, tata kelola baru pembelajaran di atas dapat menjadi pilihan paling rasional.

Tata kelola baru pembelajaran ini bisa menjadi pilihan konvergensi antara opsi belajar dari rumah selama pandemi Covid-19 dan belajar reguler di sekolah, sebagaimana selama ini berlangsung sebelum pandemi.

Selain itu, tata kelola baru pembelajaran tersebut berperan penting menyatukan respons dan aspirasi yang berseberangan di antara siswa dan orang tua, seperti yang diuraikan di atas. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat