Ratusan massa dari berbagai organisasi mengikuti aksi menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), di depan Gedung Sate, Ahad (5/7). Massa menuntut pemerintah membatalkan RUU HIP dan tidak pernah memikirkan untuk mengotak-atik Panc | Edi Yusuf/Republika

Opini

Cegah Pandemi Politik

Polemik RUU HIP harus diakhiri agar pandemi Covid-19 tak menimbulkan pandemi politik.

ABDUL MU'TI, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 

Sampai saat ini, DPR belum mengambil keputusan terkait Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Walaupun berbagai elemen masyarakat menolak keras dan pemerintah menyatakan menunda pembahasan, RUU HIP masih on

RUU HIP tidak termasuk dalam daftar 16 RUU yang dibatalkan DPR dari prolegnas. Hal ini mengundang berbagai spekulasi. Pemerintah juga belum atau tidak menerbitkan surat presiden (surpres) atas usulan RUU HIP yang merupakan inisiatif DPR. 

Ada dugaan pemerintah bermain mata dengan DPR dan buying time, testing the water, menjajaki konsistensi sikap kritis, dan mengukur kekuatan arus penolakan. 

Dugaan semakin kuat, di tengah santernya pemberitaan, Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) dan PDIP bergerilya melakukan lobi kepada partai politik, ormas keagamaan, dan masyarakat sipil untuk mengganti RUU HIP dengan RUU BPIP atau RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP). 

 
Ada dugaan pemerintah bermain mata dengan DPR dan buying timetesting the water, menjajaki konsistensi sikap kritis, dan mengukur kekuatan arus penolakan. 
 
 

Secara politik dan konstitusi, tidak ada yang salah dengan langkah DPR dan PDIP. Sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011, DPR memang belum bisa mengambil keputusan terhadap RUU HIP karena belum melewati  tenggat 60 hari dan belum adanya surpres.

DPR tidak ingin melanggar undang-undang. Sebagai partai pengusul dan kekuatan terbesar, PDIP berusaha mencari solusi jalan tengah (win-win solution) agar tidak "kalah" dan  kehilangan muka.

Pandemi politik

Namun, belum adanya keputusan DPR terkait RUU HIP berpotensi menimbulkan pandemi politik. Pertama, konsolidasi, perluasan, dan peningkatan penolakan oleh berbagai elemen masyarakat. Latar belakang dan motif kelompok yang menolak memang tidak tunggal.

Sebagian menolak dengan alasan konstitusional. RUU HIP tidak urgen dan tidak diperlukan berdasarkan tiga alasan.

Pertama, karena secara  konstitusional, kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan sumber hukum sudah diatur dalam TAP MPRS Nomor XX/1966, TAP MPR Nomor V/1973, TAP MPR Nomor IX/1978, TAP MPR Nomor III/2000, dan TAP MPR I/2003.

Kedua, menimbulkan kerancuan sistem ketatanegaraan dan ketiga, banyak muatan materi RUU HIP yang tidak memenuhi asas pembentukan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur Pasal 5 dan 6 UU 12/2011 yaitu asas kesesuaian, kehasilgunaan, pengayoman, dan kepastian hukum. 

 
Sebagian kelompok menolak RUU HIP karena ditengarai  RUU ini sengaja dirancang kelompok komunis atau pro komunisme untuk membangkitkan Partai Komunis Indonesia (PKI).
 
 

RUU HIP bertentangan dengan UUD 1945 dan berpotensi menimbulkan kontroversi ideologi yang kontraproduktif. 

Sebagian kelompok menolak RUU HIP karena ditengarai  RUU ini sengaja dirancang kelompok komunis atau pro komunisme untuk membangkitkan Partai Komunis Indonesia (PKI), ateisme, sekularisme, dan melemahkan agama. 

Indikatornya yang kuat, tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV/1966 tentang Larangan Komunisme, Marxisme, dan Leninisme serta materi muatan Pasal 7 yang mereduksi Pancasila 18 Agustus sebagaimana Pembukaan UUD 1945. 

Kelompok lainnya, mereka yang menolak RUU HIP dan memunculkan kembali Piagam Jakarta. Mereka mengusung dan menonjolkan simbol-simbol Islam. Gerakan kelompok ini, menimbulkan kesan konfrontasi Islam dengan pemerintah dan kelompok nasionalis.

Kedua, pandemi politik mungkin terjadi karena adanya kelompok keempat yang menolak RUU HIP sebagai bentuk perlawanan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo dan PDIP. Munculnya  kelompok "oposisi" ini merupakan residu politik Pemilihan Presiden 2019. 

Bagi mereka, kemenangan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin adalah buah kecurangan masif, terstruktur, dan sistematis. Kelompok ini senantiasa bersikap kritis dan menjadi watch dog terhadap kebijakan pemerintah Jokowi.

Terutama, aspek ekonomi dan  ketidakmampuan pemerintah menangani pandemi Covid-19. Penolakan RUU HIP menjadi instrumen mendelegitimasi dan aspirasi menurunkan pemerintah Jokowi-Ma'ruf Amin. 

DPR yang mendengar 

Kuncinya ada di tangan DPR dan pemerintah. Pandemi politik dapat dihindari bila DPR dan pemerintah mengambil keputusan arif, bijaksana, dan konstitusional. 

Pertama, pemerintah tak cukup menyatakan menunda secara lisan, tetapi harus ada pernyataan tertulis berkekuatan hukum. Lebih bijak bila Presiden menyampaikan surpres pada kesempatan pertama sebagai dasar bagi DPR mengadakan sidang. 

Memang, masih ada waktu sekitar sepuluh hari, tetapi semakin cepat surpres disampaikan, akan berdampak positif bagi kondisi politik. 

Kedua, DPR memenuhi dan mengakomodasi aspirasi masyarakat yang tidak menghendaki pengesahan dan mencabut  RUU HIP dari prolegnas. 

Ketiga, DPR hendaknya bijak dan memahami suasana psikologis masyarakat dengan  tidak mengusulkan RUU baru sebagai pengganti RUU HIP. 

DPR hendaknya konsisten melaksanakan undang-undang bahwa  setiap RUU harus melalui mekanisme yang benar. Jalan pintas dan kompromi politik yang pragmatis, bisa membangkitkan penolakan yang semakin kuat dan luas. 

Polemik RUU HIP harus segera diakhiri. DPR dan pemerintah seyogianya memahami dan merasakan suasana kehidupan dan politik di masyarakat agar pandemi Covid-19 tidak menimbulkan pandemi politik.

 
Polemik RUU HIP harus segera diakhiri agar pandemi Covid-19 tidak menimbulkan pandemi politik.
 
 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat