Massa aksi yang tergabung dalam Solidaritas Pembebasan Tapol melakukan aksi damai di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (15/6). | Republika/Thoudy Badai

Nasional

Vonis Tujuh Aktivis Papua Dikritisi

Para aktivis Papua itu diyakini merupakan korban rasialisme.

 

JAKARTA -- Amnesty Internasional Indonesia menyayangkan vonis bersalah terhadap tujuh aktivis antirasialisme Papua. Direktur Amnesty Indonesia Usman Hamid mengatakan, tak semestinya Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim), memenjarakan tujuh aktivis tersebut.

Justru sebaliknya, menurut Usman, tujuh aktivis tersebut semestinya dibebaskan dari semua tuduhan makar. “Mereka tidak melakukan tindakan kriminal apa pun seperti yang dituduhkan,” kata Usman dalam keterangan pers yang diterima Republika, di Jakarta, Rabu (17/6).

Meski pemberian hukuman tujuh aktivis lebih ringan dari tuntutan jaksa, Usman menilai, putusan hakim tetap menyisakan ketidakadilan yang mendasar. Usman meyakinkan, sejatinya ketujuh aktivis tersebut merupakan korban rasialisme. “Bagaimana bisa mereka dijatuhi hukuman. Sementara, yang mereka lakukan dilindungi oleh hukum negara dan konstitusi,” ujar Usman menerangkan.

photo
Dua jurnalis menyaksikan dari layar monitor beberapa tahanan politik Papua menjalani sidang daring beragenda pembacaan vonis atas kasus makar di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (17/6). PN Balikpapan menjatuhkan vonis 10 bulan penjara kepada Ferry Kombo, Alex Gobay, Hengky Hilapok dan Irwanus Urobmabin serta vonis 11 bulan penjara kepada Agus Kossay, Buchtar Tabuni dan Steven Itlay karena terlibat kasus tindakan makar terkait unjuk rasa menolak rasialisme di Papua pada Agustus 2019 - (JESSICA HELENA WUYSANG/ANTARA FOTO)

PN Balikpapan pada Rabu (17/6) memvonis bersalah tujuh aktivis Papua. Mereka, antara lain, Buchtar Tabuni, yang dihukum penjara 11 bulan. Fery Kombo dan Irwanus Uropmabin, masing-masing dipenjara 10 bulan. Sedangkan, Agus Kossay dan Stevanus Itlay dipenjara masing-masing 11 bulan. Kemudian, Alexander Gobay dan Hengky Hilapok dihukum penjara masing-masing 10 bulan.

Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan, tujuh aktivis Papua itu bersalah melanggar Pasal 106 KUH Pidana juncto Pasal 55 Ayat 1 tentang aksi makar. Hukuman tersebut memang lebih ringan dari tuntutan jaksa. Saat penuntutan, jaksa mendesak majelis hakim menghukum para aktivis itu dari lima sampai 17 tahun. Meski amar hakim lebih ringan dari tuntutan, Amnesty Indonesia mengatakan, putusan tersebut tetap tak adil.

Karena, menurut Usman, menengok kasus tersebut berawal dari hak warga negara untuk menyampaikan pendapat dan aksi protes atas ketidakadilan. Tujuh aktivis tersebut ikut dalam aksi unjuk rasa di sejumlah kota di Papua pada 2019. Unjuk rasa tersebut sebetulnya aksi protes warga se-Papua, yang menolak keras perilaku dan aksi rasialisme yang dialami mahasiswa-mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, Semarang, dan Yogyakarta pada tahun lalu.

Meskipun aksi unjuk rasa menolak rasialisme di Papua tersebut berujung kerusuhan, bahkan menelan korban jiwa, negara tak bisa menghukum para aktivis tersebut dengan tuduhan makar.

photo
Aktivis Solidaritas Rakyat untuk Demokrasi menggelar aksi unjuk rasa di tengah pandemi Covid19 di Titik Nol Yogyakarta, Senin (15/6). Dalam aksinya, mereka menuntut pembebasan tujuh ativis yang menjadi tahanan politik tanpa syarat - (Wihdan Hidayat/ Republika)

“Kami (Amnesty) sangat menyayangkan putusan pengadilan ini. Walaupun putusannya jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan, tetapi tujuh aktivis tersebut dari awal tidak ditangkap, tidak dipenjara, dan tidak dituntut secara hukum. Mereka seharusnya dibebaskan dan seluruh tuduhannya dihapuskan,” kata Usman.

Sebanyak 816 personel dari TNI dan Polri disiagakan guna antisipasi dampak pascaputusan PN Balikpapan. Kapolresta Jayapura Kota AKBP Gustav R Urbinas mengatakan, pihaknya menyiapkan personel guna mengantisipasi adanya aksi penolakan terhadap putusan tersebut yang dapat berakibat hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.

“Untuk personel kami sudah tempatkan di beberapa titik, antara lain, di wilayah lingkaran Abepura dan pertigaan Zipur Waena,” kata dia. Menurut Kapolresta, selain perkuatan personel, pihaknya pun menurunkan kendaraan taktis guna mem-back up personel yang ada.

Tuntutan tokoh agama

Desakan untuk membebaskan tujuh aktivis Papua dari jeratan hukuman berat sebelumnya marak digaungkan. Yang terkini, tokoh lintas agama se-Papua, kembali melayangkan tuntutan terhadap pemerintah Indonesia untuk membebaskan tujuh aktivis. Sebanyak 22 tokoh lintas agama itu meyakini, tuduhan JPU terhadap tujuh aktivis Papua tersebut, menyimpang dari asas keadilan.

photo
Aktivis Solidaritas Rakyat untuk Demokrasi menggelar aksi unjuk rasa di tengah pandemi Covid19 di Titik Nol Yogyakarta, Senin (15/6). Dalam aksinya, mereka menuntut pembebasan tujuh ativis yang menjadi tahanan politik tanpa syarat - (Wihdan Hidayat/ Republika)

“Kami meminta kepada Presiden Republik Indonesia (Joko Widodo) agar terdakwa (tujuh aktivis Papua) dibebaskan tanpa syarat,” begitu bunyi salah satu isi tuntutan forum Para Pimpinan Umat Beragama se-Papua yang dibacakan di Jayapura, Papua, Senin (12/6).  

Forum Para Pimpinan Umat Beragama se-Papua ini, tercatat ada 22 orang. Mereka terdiri dari para tokoh agama di Papua. Mewakili agamawan Islam, dalam forum tersebut tercatat nama KH Saiful Islam al-Payage selaku Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Papua. Mewakili agamawan Buddha, Poneo Sampoerna Winata selaku Wakil Ketua Persatuan Umat Buddha Provinsi Papua. Komas A Wardana, perwakilan agamawan Hindu, selaku Parisada Hindu Dhrama Indonesia di Papua. 

Yang lainnya, sebanyak belasan perwakilan tinggi dari umat Kristiani, dan Protestan. Seperti Pendeta Lipiyus Binilik sebagai Ketua Umum Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Papua, dan Pendeta Andrikus Mofu, serta Pendeta Dorman Wandikbo dari GIDI dan Sinode GKI Papua. Forum tersebut, juga direstui Pendeta Yeremia Suebu, dari Sinode GKKK Papua, dan Pendeta Jimmy Koirewoa sebagai Ketua Asosiasi Pendeta Indonesia di Papua.

Tak cuma menuntut pemerintah membebaskan tujuh aktivis Papua itu. Para agamawan lima agama di Papua tersebut, juga mendesak agar Majelis Hakim PN Balikpapan, memberikan putusan yang tak meninggikan sensitifitas negatif Orang-orang Asli Papua (OAP). “Kami meminta putusan yang dibacakan oleh yang mulia Majelis Hakim mencerminkan proses hukum yang tidak rasis. Dan hakim harus menunjukkan kepada masyarakat umum, bahwa masih ada keadilan bagi rakyat Papua,” tertulis dalam tuntutan para agamawan tersebut. 

photo
Massa aksi yang tergabung dalam Solidaritas Pembebasan Tapol melakukan aksi damai di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (15/6). Dalam aksinya massa menuntut pembebasan terhadap tujuh tahanan politik papua yang didakwa makar karena terlibat dalam aksi protes anti rasialisme pada akhir tahun lalu - (Republika/Thoudy Badai)

Tuntutan Para Pemimpin Umat Beragama se-Papua ini, respons lanjutan dari sejumlah elemen krusial yang ada di Bumi Cenderawasih. Sebelum ini, Majelis Rakyat Papua (MRP) juga menyatakan yang sama. Respons tersebut, sebagai tanggapan atas proses hukum terhadap tujuh aktivis Papua.

Para Pimpinan Umat Beragama se-Papua menilai, ancaman hukuman terhadap tujuh aktivis itu, tak adil dan tak proporsional. Karena sejatinya, menurut para tokoh tersebut, aktivis-aktivis itu, justeru sebagai korban. Para aktivis tersebut, turun ke jalan, melakukan demonstrasi dan aksi protes di Papua sebagai respons perlakuan rasialisme yang dialami mahasiswa-mahasiswa asal Papua di Surabaya, Malang, dan Yogyakarta, juga di Semarang, pada medio Agustus 2019. 

Aksi protes tujuh aktivis tersebut, memicu gelombang demonstrasi di seluruh Papua, sepanjang Agustus dan September 2019. Meskipun demonstrasi waktu itu berujung pada kerusuhan, bahkan menelan korban jiwa. Akan tetapi, motivasi dari aksi turun ke jalan para aktivis tersebut, adalah menyuarakan penolakan praktik rasialisme orang-orang asli Papua, di Tanah Jawa. Para Pimpinan Umat Beragama se-Papua, dalam pandangannya menilai, tak semestinya para aktivis tersebut mendapatkan ancaman hukuman berat dari upaya penentangan terhadap perlakuan rasialisme yang dialami orang-orang Papua di Bumi Indonesia. Apalagi, mengaitkannya dengan makar.

Karena itu, dalam tuntutan lainnya, Para Pimpinan Umat Beragama se-Papua, juga mendesak Presiden Jokowi untuk serius dalam menyelesaikan masalah rasialisme yang dialami orang-orang Papua. Baik rasialisme yang dialami orang-orang Papua di tanahnya sendiri. Maupun, di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat