cover | cover-republika

Halaman 11

Seteru Seru Spoor-Soedirman

Ia menentang mati-matian segala bentuk perundingan dengan Belanda.

Oleh Seteru Seru Spoor-Soedirman

 
Jangan ada di antara kita yang mempunyai sifat menyerah. Menyerah berarti berkhianat terhadap saudara dan kawan kita yang dengan ikhlas sudah mengurbankan siwanya guna kepentingan tanah air kita (1948).
Panglima Jenderal Soedirman
 

Dua panglima pandai, tangguh, dihormati anak buah, tetapi meninggal dunia di usia muda. Inilah tragedi pada 1949-1950 yang menimpa Belanda dan Indonesia. Panglima Tentara Belanda di Hindia Belanda Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor meninggal dunia pada 25 Mei terkena serangan jantung. Panglima Tentara Republik Indonesia Jenderal Soedirman meninggal dunia pada 29 Januari 1950 akibat penyakit paru-paru.


Spoor tidak pernah bertemu langsung dengan Soedirman, bahkan di medan perang. Namun, kejengkelan pria Belanda ini kepada tentara Indonesia benar-benar sudah di ubun-ubun. Menurut Spoor, seperti yang ditulis dalam buku Jenderal Spoor, Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia (2015), sebagian besar masyarakat Indonesia masih menginginkan Belanda tetap memerintah. Hanya segelintir kecil kelompok yang terus-menerus mengumandangkan kemerdekaan. Kelompok kecil ini, Spoor menegaskan, harus diberangus, termasuk militer Indonesia.


"Tuan-tuan itu," demikian Spoor biasa menamakan para juru runding Republik, harus mengakui "dengan terus terang" bahwa mereka tidak menguasai pasukannya. Ia menyatakan ketidakpuasannya tentang para militer Republik di meja rapat yang menurut dia tanpa kecuali merupakan "mitra bicara yang sepenuhnya tidak kompeten", yang keistimewaan utamanya adalah "kesombongan tak terkira". Namun, apalah yang dapat diharapkan dari "seorang bintara, juru tulis, dan kepala sekolah yang dipromosikan sebagai jenderal," tambahnya sinis.


Yang paling mengerikan, menurut Spoor, adalah Soedirman sendiri. Ia tadinya bekerja sebagai guru sekolah. Memang patut dipuji, tetapi sementara itu, ia "sepenuhnya besar kepala", "sombong tak terkira" mengenakan seragam dengan "tanda penghargaan Jepang, epolet berwarna emas yang bintang tiga, serta memakai kopiah".

photo


“… Ia memandang peranannya adalah sebagai seorang "bapak" bagi pasukannya dan melambangkan semangat perjuangan nasional. Urusan organisasi dan taktis ia serahkan kepada para perwira staf yang boleh dikatakan berasal dari KNIL.


“… Ia menentang mati-matian segala bentuk perundingan dengan Belanda. Ia tidak mau menerima satu pun kompromi dan hanya puas dengan 100 persen merdeka."

 

Uniknya, sikap Spoor dan Soedirman perihal pihak pemerintah sipil satu sama lain ternyata sama. Kedua panglima ini sama-sama tidak percaya kepada peran diplomasi untuk dapat menyelesaikan masalah. Mereka lebih ingin pemerintah masing-masing mendukung penuh militer melakukan penyerangan langsung dan mengalahkan lawan.


Spoor memandang:
“… Tindakan keras diperlukan untuk memaksa orang Indonesia mengumumkan gencatan senjata. Bertentangan dengan janji yang berulang-ulang mereka berikan kepada otoritas Belanda. Jenderal Soedirman dan tentara Republik menyabot setiap kemajuan diplomasi, ‘Klan militer mencengkeram Pemerintah Republik.’”

Kepada Soedirman dkk, Spoor merumuskan empat syarat:
1. TRI harus dibersihkan dari segala anasir yang tidak diinginkan.
2. TRI hanya berlaku sebagai polisi militer untuk memerangi banditisme dan terorisme di daerah-daerah tertentu.
3. Pasukan Belanda bertindak selaku sandaran belakang apabila ternyata TRI tidak mampu melaksanakan pekerjaannya.
4. TRI dan pasukan Belanda berada di bawah satu komando tunggal Belanda.


Namun, Soedirman tentu saja menolak mentah-mentah syarat Belanda tersebut. TRI terus-menerus melakukan perlawanan sporadis dan sistematis terhadap tentara Belanda yang membuat Spoor makin jengkel dan kesal. Sampai tiba waktunya Agresi Militer II, 19 Desember 1948, yang menurut Spoor akan menghabisi sekaligus pemimpin sipil dan militer Indonesia. Nyatanya, dia kecele.


"What a lovely day to start a war," kata Spoor kepada pemantau militer Amerika Serikat saat serangan 19 Desember 1948. Spoor lumayan puas atas serangan 19 Desember 1948. Namun, ia mengakui, Belanda gagal menyingkirkan para pimpinan militer TRI.


Pengepungan konsentrasi TNI di Magelang dan Kediri gagal sama sekali. Moral TNI ternyata jauh lebih kuat dari yang diduga sebelumnya. TNI tidak dikalahkan, tetapi menyebar ke seluruh Jawa dan Sumatra, bergerilya. Daerah yang harus dipasifikasi sekarang menjadi lebih luas dari sebelumnya dan kekuatan pasukan Spoor tidak memperhitungkan tugas seluas itu.


Menurut sejarawan militer Belanda B Bouman, persiapan TNI melakukan gerilya, yang dimulai pada 1948, mendatangkan hasil. Secara organisasi dan logistik, TNI berada di puncak kekuatannya sehingga gerilya telah tumbuh penuh pada periode awal 1949.


Spoor terus menyepelekan kapasitas TNI untuk melancarkan perang gerilya dan dukungan masyarakat kepada TNI serta perjuangan kemerdekaan. Spoor tidak menyadari, seperti banyak orang lainnya di Belanda, bahwa penduduk Indonesia mendambakan kemerdekaan. Mereka tidak ingin Belanda kembali lagi.

Hari terakhir
Pada 23 Mei 1949, Spoor muncul di kamar kerja rumah dinasnya seperti biasa menjelang siang. Saat ia duduk di belakang meja dan sedang bercakap-cakap dengan sekretarisnya, tetiba ia jatuh, "Panggil dokter …. Panggil dokter!" kata sekretarisnya. Dokter yang merawat Spoor mengatakan, panglima tentara itu terkena serangan jantung. Kondisinya kritis, tetapi stabil. Ia dirawat di rumah. Kesehatan Spoor terus memburuk. Ia disebut, "Menanggung nyeri yang amat sangat akibat keram jantung." Para dokter menyebut, "Spoor terlalu keras bekerja seperti hewan, habis tenaganya. Panglima Tentara tak akan pulih seperti sediakala.


Di Belanda, hampir bersamaan dengan serangan jantung Spoor, Pemerintah Belanda sudah ingin menaikkan pangkat Spoor ke jenderal penuh. Spoor pun sudah meminta izin untuk liburan cukup lama karena ia merasa amat lelah dalam peperangan dua tahun terakhir. Kenaikan pangkat akhirnya diumumkan saat Spoor sekarat di atas ranjang. Ia tetap berterima kasih kepada Pemerintah Belanda.


Rabu, 25 Mei, pukul 10.00, Spoor meninggal dunia. "Baru saja ajalnya tiba," telegram yang dikirim ke pemerintah di Belanda. Beberapa kelompok di Belanda masih ada yang menuding bahwa sang jenderal diracun oleh Indonesia. Namun, tudingan itu dimentahkan oleh munculnya dokumentasi catatan dokter yang merawat Spoor sejak hari pertama yang memang menegaskan Spoor terkena serangan jantung.


Spoor dimakamkan di Menteng Pulo, Batavia, pada Sabtu, 28 Mei 1949. Agak ironis, karena pada 1947, Spoorlah yang meresmikan pemakaman Menteng Pulo tersebut. Ratusan orang mengantar peti mati Spoor ke liang lahat dengan sebuah panser menyeret kereta peti mati. Saat hendak diturunkan ke liang lahat, ada khotbah dari Pendeta FM Kooyman dan pernyataan dari Gubernur Daerah Federal Batavia Hilman Djajadiningrat. Saat peti mati diturunkan, sembilan pesawat pengebom dan lima pesawat pemburu melakukan flypass di langit di atas Menteng Pulo sebagai penghormatan. Berakhirlah hidup Spoor di tanah Batavia.


Panglima berpulang
Setahun kemudian, Soedirman berpulang. Kondisi Panglima memang tak bisa pulih seperti sediakala, terutama usai gerilya. Otomatis, antara 1949–1950, Soedirman banyak menghabiskan waktu dirawat di berbagai tempat. Seperti yang ditulis oleh Tjokropranolo dalam buku Jenderal Soedirman Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia Kisah Seorang Pengawal (1993) dan Sardiman dalam buku Panglima Besar Jenderal Soedirman Kader Muhammadiyah (2000).


Di saat-saat akhirnya, Pak Dirman sempat dirawat di sanatorium Pakem, Yogyakarta Utara. Kemudian, ia dipindahkan ke rumah peristirahatan di Badaan, Magelang. Di sini pun sang Panglima masih terus dikunjungi berbagai tokoh untuk berdiskusi. Soedirman selalu mengikuti perkembangan politik Republik lewat radio dan surat kabar.


Pertemuan terakhirnya adalah dengan Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat Abdoel Halim pada Sabtu 28 Januari 1950. Sehari setelah pertemuan itu, kondisi kesehatan Panglima Besar turun drastis. Sepanjang hari ia kritis, sampai akhirnya pada Ahad, 29 Januari, sekitar pukul 18.30, ia berpulang.
Soedirman wafat, Presiden Sukarno sedang dalam kunjungan ke India bersama rombongan. Yang mengambil peran memberikan pidato penghormatan adalah Bung Hatta pada malam itu juga.

"Inna lillahi wainna ilaihi rojiun
Dengan terperanjat dan merasa sedih kita menerima berita malam ini, bahwa Letnan Jenderal Soedirman meninggal dunia. Sungguh pun sudah lama dikhawatirkan bahwa penyakitnya tak mungkin sembuh lagi, wafatnya hari ini masih mengejutkan.


Saya kenal Jenderal Soedirman sebagai yang keras hati, tetap kemauan. Dalam melakukan kewajibannya ia tak pernah mengingat dirinya sendiri, malahan senantiasa berpedoman pada cita-cita negara. Demikian hebat ia mementingkan kewajibannya sehingga ia menyia-nyiakan kesehatannya. Akhirnya ia kena penyakit TBC yang menewaskan jiwanya sekarang. Sungguh pun dalam sakit ia masih sempat meninggalkan Yogya pada permulaan aksi militer kedua dan memimpin perang gerilya dari pegunungan. Jarang orang yang begitu keras hatinya dan begitu setia memenuhi kewajibannya …."


Prosesi pemakaman Pak Dirman berlangsung ramai. Di seluruh pelosok dikibarkan bendera Merah Putih setengah tiang. Dari Magelang, jenazah Soedirman dibawa ke Yogyakarta dikawal 4 tank, 8 truk berisi prajurit, dan 80 mobil rombongan. Sepanjang jalan, warga memberikan penghormatan terakhirnya kepada putra Banyumas ini.


Senin siang, konvoi tiba di Masjid Besar Kauman. Peti sukar masuk karena ribuan orang memenuhi masjid hingga ke halaman. Semua ingin menshalatkan jenazah Soedirman. Bagi warga Muhammadiyah Kauman, Soedirman sosok yang akrab sekali. Sejak kecil, Soedirman sudah bersentuhan dengan warga Muhammadiyah dan aktif berorganisasi.


Dari Masjid Kauman, jenazah Soedirman dibawa ke Taman Makam Pahlawan Kusumanegara. Digambarkan, konvoi peti jenazah Soedirman berjalan amat pelan karena saking banyaknya rakyat yang menyertai ke taman makam.


Sekilas tampak dua orang asing dalam pemakaman, yakni Jenderal Mayor Mollinger dan Mayor Ansidei. Mollinger adalah seteru tentara Republik karena merupakan anak buah Spoor saat agresi Belanda. Upacara pemakaman Soedirman ditutup oleh pidato Menteri Pertahanan RIS Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat