Aparat memeriksa pengendara yang melintasi perbatasan Lampung dengan Palembang di Mesuji, Lampung, Ahad (26/4/2020). Perantau memilih tak mudik selama PSBB. | ARDIANSYAH/ANTARA FOTO

Kisah Dalam Negeri

Kala Perantau tak Bisa Pulang ke Kampung Halaman

Ada hikmah yang bisa diambil karena tak bisa pulang ke kampung halaman.

OLEH MEILIZA LAVEDA

Hasan Albaqir Harahap (22 tahun), yang sedang merantau di Bandar Lampung, tak dapat merasakan Lebaran di kampung halamannya tahun ini. Dia patuh terhadap anjuran pemerintah untuk tidak mudik demi memutus penyebaran wabah virus korona.

Karyawan swasta ini mendapat surat edaran dari perusahaan tempatnya bekerja. Akan ada konsekuensi bagi pekerja yang mudik. Karyawan yang kembali setelah mudik harus isolasi mandiri selama 14 hari dan tidak bekerja. Selama 14 hari itu, mereka tidak menerima upah. Selain itu, karyawan juga terkena surat peringatan (SP) III.

Ini pertama kali Hasan harus merantau dan merayakan Idul Fitri tanpa keluarga. Sebagai anak pertama di dalam keluarganya, dia harus bekerja keras untuk membantu orang tua dan menggapai mimpi setinggi mungkin.

Rindu yang dia rasakan kepada keluarga di Jakarta kini tidak bisa dilawan. Hasan akan merayakan Idul Fitri 1441 Hijriyah di indekos. Sebagai pengobat kerinduan, ibunda Hasan mengirimnya kue Lebaran. Ada dua stoples kue nastar, satu stoples kue putri salju, dan beberapa camilan lain.

"Jika kondisi sudah membaik dan waktunya tepat, Hasan hendak mengunjungi keluarganya. Menunggu kondisi normal lagi saja, semoga cepat," kata pria kelahiran 1997 ini.

photo
Polisi memeriksa surat tiga tenaga kerja Indonesia dari luar negeri di Tol Jakarta-Cikampek, Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (25/4/2020). Masih banyak kendaraan yang tidak mengatur jarak sosial dan warga yang memaksaan untuk mudik - (ANTARA FOTO)

 

Meski begitu, ada hikmah yang bisa diambil dari kondisi ini. Selama Ramadhan, dia jadi bisa lebih nyaman beribadah. Sebab, semua kegiatan dilakukan di rumah sehingga ibadahnya menjadi lebih khusyuk.

Hal serupa terjadi pada Shinta Nurin Ayu Narulita (28 tahun), karyawan perusahaan rintisan di Jakarta. Dia tidak bisa menikmati suasana Lebaran di kampung halamannya di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Meski rasa rindu membuncah di hatinya, dia khawatir membawa virus yang bisa menular ke anggota keluarga. "Saat kayak gini enggak bisa egois, enggak bisa asal balik, kan kita enggak tahu bawa virus atau enggak," ujarnya.

Menjelang Idul Fitri, Shinta biasanya membuat kue bersama keluarga. Saat Lebaran, dia menunaikan Shalat Idul Fitri bersama dan bersilaturahim mengunjungi tetangga. Dia berharap situasi ini kembali normal sebelum Idul Adha sehingga dia bisa pulang ke rumah.

Pandemi Covid-19 membuatnya tersadar bahwa keluarga sangat penting. Shinta mengakui, sebelumnya tidak terlalu sering pulang ke rumah. "Bisa setahun sekali pulangnya, pas kejadian sekarang jadi semakin sadar keluarga penting banget," ujarnya.

Seorang asisten rumah tangga, Sumirah (51 tahun), biasanya mudik ke Banjar Patroman, Jawa Barat, sepekan setelah Lebaran. Namun, kini momen Lebaran dia habiskan penuh di Jakarta. "Enggak bisa mudik, nunggu kondisi membaik saja baru pulang kampung," ujarnya.

Saat liburan nanti, dia ingin mengunjungi ketiga kakaknya serta mengunjungi makam orang tua dan adiknya. Orang tua Sumirah sudah lama meninggal. Begitu pula adiknya yang sudah meninggal dua tahun lalu.

Sejak tahun lalu, dia merasakan Lebaran yang sepi. Sebab sebelumnya dia tinggal bersama adiknya. Karena adiknya sudah tiada, Sumirah hanya sendirian di rumah. Oleh sebab itu, dia lebih senang menghabiskan hari H Lebaran di Jakarta. "Kalau sendirian di rumah jadi sedih, ingat adik mulu," kata dia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat