Buruh tani memperlihatkan jagung manis yang rusak saat panen di area persawahan Desa Padangan, Kediri, Jawa Timur, Kamis (7/5). | ANTARA FOTO

Opini

Kemarau, Pandemi, dan Resiliensi Petani

Resiliensi harus berjalan bersamaan dengan tindakan kolektif pencegahan kebakaran di lahan gambut.

Oleh MYRNA ASNAWATI SAFITRI, Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut

Kemarau tahun ini sebentar lagi mendera beberapa daerah. BMKG sudah menyampaikan peringatan. Sementara itu, kita masih berjibaku mengatasi penyebaran pandemi Covid-19.

Kemarau dan Covind-19 dikhawatirkan menimbulkan “duet bencana” di daerah-daerah dengan histori kebakaran hutan dan lahan. Tentu, ini tidak diinginkan. Pencegahan kebakaran harus diperkuat dan diperluas.

Pengawasan dan penegakan hukum diperketat, demikian pula resiliensi masyarakat ditingkatkan. Artikel ini membahas hal terakhir dengan menempatkannya pada konteks lahan gambut, yang masih rawan terbakar akibat tindakan pemulihan yang belum selesai.

Resiliensi komunitas

Resiliensi komunitas penting dalam merespons, bertahan, dan bangkit dari berbagai dampak buruk bencana. Meski tiada kesepakatan tunggal soal konsepnya, pandangan umum dari berbagai studi mengarah pada kebutuhan terhadap resiliensi.

Patel, dkk (2017) mengidentifikasi beberapa elemen dalam resiliensi komunitas. Di antaranya, pengetahuan lokal, jejaring dan keterhubungan, komunikasi efektif, kesehatan, sumber daya, dan dukungan publik.

Pengetahuan lokal mencerminkan berbagai wujud adaptasi komunitas terhadap kerentanan lingkungan dan sosial yang dihadapi. Jejaring dan keterhubungan di antara warga dan antarkomunitas memperkuat pertukaran informasi, pengetahuan, dan bantuan.

Ini akan menjadi lebih positif dampaknya jika komunikasi terbangun efektif. Hal tersebut ditunjukkan dari kesamaan pemaknaan terhadap penyebab bencana dan kesediaan berdialog secara terbuka.

photo
Petani menanam kedelai menggunakan alat tanam benih di area persawahan Desa Ngasem, Kediri, Jawa Timur, Minggu (17/5/2020). Sejumlah petani di daerah tersebut mengandalkan alat tanam benih karena dinilai lebih efektif dan efisien dibanding mengunakan tenaga buruh tani secara manual - (Prasetia Fauzani/ANTARA FOTO)

Kesehatan, sebelum dan pada saat bencana, juga memberikan pengaruh kuat pada resiliensi ini. Dalam hal kebakaran hutan dan lahan, bencana asap yang ditimbulkan sangat memengaruhi kesehatan warga.

Riset Universitas Harvard dan Universitas Columbia, misalnya, menunjukkan potensi kematian dini pada warga terdampak asap (Koplitz, 2016).

Kesehatan juga terkait ketersediaan dan kualitas sumber daya alam pendukung, seperti air bersih, pangan dan obat-obatan alami, serta udara bersih. Lalu, pelibatan dan dukungan publik menjadi elemen lain yang menguatkan resiliensi itu.

Masyarakat dengan segala daya upaya dan keswadayaan butuh dukungan itu. Resiliensi harus berjalan bersamaan dengan tindakan kolektif pencegahan kebakaran di lahan gambut. Tanpa pencegahan optimal, kebakaran tidak terkendali.

Ini akan memperparah kondisi ketika pandemi masih berlangsung. Pemerintah melalui berbagai koordinasi dan kolaborasi antarkementerian/lembaga dan pemda lebih awal mengantisipasi kemarau tahun ini.

Teknologi modifikasi cuaca, misalnya, segera dilaksanakan untuk wilayah yang sulit terjangkau. Konsolidasi satgas, petugas, dan relawan pemadaman pun dilakukan. Badan Restorasi Gambut (BRG), yang berada di lini pencegahan melakukan beberapa hal.

Di antaranya pendataan kondisi infrastruktur pembasahan gambut (sekat kanal, sumur bor) dan pemeliharaan infrastruktur yang rusak. Selain itu, operasi cepat pembasahan serta pemantauan pada tinggi muka air lahan gambut dan kelembapannya.

Namun, pencegahan kebakaran lahan gambut adalah soal perubahan perilaku. Semua pihak yang berada di dalam satu lanskap ekosistem gambut harus berkomitmen tak lagi melakukan/membiarkan pembakaran.

Pemegang konsesi, masyarakat, pemangku kawasan konservasi, pemda, pemerintah pusat harus satu suara yang konsisten. Petani gambut, yang selama ini banyak dituding membakar lahan, sudah sejak dua tahun terakhir menunjukkan komitmen perubahan itu.

Sekolah Lapang Petani Gambut yang difasilitasi BRG sejak 2018 menguji coba pertanian di lahan gambut dengan tak membakar. Ini melibatkan hampir 800 kader yang membangun dan mengelola kebun contoh (demplot) pertanian berkelanjutan.

Saat ini, 265 demplot dikembangkan dengan skala kecil. Jenis tanaman beragam menyesuaikan kondisi lahan gambut yang ada. Demplot banyak berada pada lahan gambut berfungsi budi daya.

Kelompok tani pada tahap awal memilih tanaman pangan/hortikultura dan beberapa juga dipadukan dengan kegiatan perikanan. Kader Sekolah Lapang menunjukkan kemampuan resiliensi tinggi.

Beberapa elemen yang disebut Patel (2017) mereka jalankan. Demplot dibangun atas basis inovasi kearifan lokal dan pengetahuan tradisional. Teknologi tanpa bakar, diakui masyarakat adalah cara baru.

Namun, ketika itu disandingkan dengan pertanian alami, di mana para kader membuat  sendiri pupuk, pestisida, dan pembenah tanahnya, di sinilah terjadi perjumpaan dengan pengetahuan tradisional petani.

Sekolah Lapang Petani Gambut menjadi cikal bakal gerakan pertanian berkelanjutan. Inovasi terus dilakukan, mutu produksi dan pemasaran diperbaiki. Misalnya, kegiatan pertanian oleh para kader sedang diupayakan mendapat sertifikasi burn-free agriculture.

Untuk jangka panjang, akan menuju sertifikasi pertanian organik dan perdagangan adil-beretika (etchical-free trade). Dukungan semua pihak sangat berarti.

Program dan kegiatan pertanian, lingkungan, dan pedesaan yang relevan sangat penting untuk menguatkan gerakan ini. Para petani tentu sangat terbuka menyambut semua itu. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat