Pegawai Dinas Sosial mengumpulkan berkas fotokopi kartu keluarga dan KTP milik warga saat pendaftaran penerima bantuan sosial (bansos) di kantor Dinas Sosial Pemkot Medan, Sumatra Utara, Rabu (13/5). | SEPTIANDA PERDANA/ANTARA FOTO

Opini

Normal Baru Pemerintahan

Mengharapkan kondisi normal kembali seperti sedia kala sangat disangsikan.

Oleh JOSE RIZAL, Pengajar IPDN Kampus Jakarta

Sekitar tiga bulan lalu, pemerintah menabuh genderang perang melawan Covid-19. Setelah penerapan PSBB yang berkepanjangan, Presiden Joko Widodo meminta rakyat berdamai dengan korona hingga vaksin ditemukan.

Pelonggaran PSBB dilakukan kendati kurva korban cenderung menanjak. Langkah ini memang kontradiktif, tetapi realistis. Relaksasi pembatasan sosial memang dilematis. Satu sisi, grafik publik terpapar korona tak kunjung menurun.

Di sisi lain, krisis pangan, ledakan pengangguran, ekonomi anjlok, maraknya kriminalitas mulai mengepung. Berharap warga tetap di rumah tanpa menjamin kesinambungan pangan jelas tak efektif. Tatkala bansos habis, orang terpaksa keluar rumah.

Sebagaimana kata-kata seorang warga yang viral, “Lebih baik mati bekerja karena korona daripada mati kelaparan akibat diam di rumah.” Pemerintah jelas tampak kewalahan memutus rantai pandemi. Data korban tak akurat membuat penyaluran BLT tak tepat sasaran.

Pemberian kartu prakerja penuh polemik. Saling tuding pusat-daerah tak terelakkan. Utang negara bertambah akibat keterbatasan anggaran. Silang pendapat yang melelahkan. Masyarakat pun semakin rentan. Kurang lebih serupa itulah situasi kekinian.

Yang makin membuat risau, sejumlah ahli memprediksi pagebluk ini akan lama berakhir. Wuhan, tempat Covid-19 mula menyebar, kembali dilanda virus gelombang kedua setelah sempat mengeklaim kemenangan.

Herd immunity pun diragukan efektivitasnya karena korban yang sembuh korona dapat kembali tertular. Plus fakta lain, virus yang pandai bermutasi membuat penemuan vaksin tak sepenuhnya bisa diharapkan. Lengkap sudah.

photo
Warga menunggu antrean untuk menggadaikan barangnya di Kantor Pusat Pegadaian, Jakarta, Selasa (21/4). - (Prayogi/Republika)

Pelonggaran PSBB

Urusan perut tak dapat kompromi hingga vaksin ditemukan (yang entah sampai kapan). Orang-orang perlu makan, pekerjaan, kesehatan, pendidikan, pembangunan sarana prasarana, hiburan, dan seterusnya.

Mengharapkan kondisi normal kembali seperti sedia kala sangat disangsikan. Penjarakan fisik ini pada akhirnya akan menemukan jalan sendiri; normal baru kehidupan publik.

Darwin (1859) menyebutkan, yang dapat melalui seleksi alam bukanlah mereka yang terkuat atau yang terbesar, tetapi yang paling mampu merespons perubahan. Hampir satu semester dihantui korona, kehidupan manusia kini berubah.

Rakyat telah akrab dengan masker, terbiasa cuci tangan, dan jaga jarak fisik. Opsi menyelamatkan nyawa versus ekonomi bukanlah serupa memakan buah simalakama. Tentu akan lebih baik bila pemerintah bisa mengamankan keduanya.

Meskipun berat, penyelamatan banyak orang hendaknya lebih diprioritaskan. Toh, selama ini kita cuma mengetahui jumlah korban korona dari jubir pemerintah Achmad Yurianto.

Sementara itu, angka kematian akibat kelaparan, bunuh diri, kecelakaan, kekerasan sosial, tak peroleh layanan kesehatan, sebagai ekses turunan dari badai korona belum diketahui. Siapa tahu angkanya lebih besar.

Dengan begitu, dapat dipahami bila Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi kembali membuka moda transportasi. Kepala Gugus Tugas Doni Monardo mengatakan, warga berusia 45 tahun ke bawah dibolehkan untuk beraktivitas kembali.

Mendagri Tito Karnavian menyebutkan, pemimpin daerah harus mampu mengatur industri tetap berjalan dan Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo membolehkan ASN kembali melaksanakan perjalanan dinas luar daerah. Bahkan, telah ada pula wacana membuka sarana publik.

Jauh sebelum korona mengganas, program pemerintahan 4.0 gencar didengungkan. Birokrasi diperkenalkan dengan konsep baru yang dilontarkan Sebastian Stern (2018), yaitu diperlukan pengembangan kebijakan baru menjawab tantangan bagi negara dalam era digital.

photo
Petugas berjaga di posko gabungan satgas percepatan penanganan COVID-19 Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat, Selasa (12/5). - (RAISAN AL FARISI/ANTARA FOTO)

Stern menekankan urgensi perubahan pemerintahan digital yang mendorong pertumbuhan inovasi, membukakan jalan masyarakat mendapat pekerjaan masa depan, dan pemerintahan yang mampu menjaga keamanan negara di ruang maya. 

Hikmah di balik beringasnya virus korona, dunia pemerintahan seolah dipaksa memanfaatkan teknologi digital. Pejabat publik didesak menggunakan aplikasi tatap muka daring saat work from home (WFH).

Administrasi berjalan secara daring. Kehadiran fisik tak lagi jadi soal. Kultur birokrasi mau tak mau wajib beradaptasi cepat. Karena di dunia digital, hukum yang berlaku bukanlah si kuat memakan si lemah, melainkan si cepat memakan si lambat.

Menghadapi masalah baru tak bisa dengan paradigma lama. Terimalah realitas bahwa malapetaka korona yang seakan tak berujung ini secara perlahan telah membentuk normal baru pemerintahan. 

Karena itu, pemerintah dituntut gesit dibandingkan kecepatan mutasi korona. Anggaran kegiatan pemerintah hendaknya mulai difokuskan dan diarahkan agar pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan perlindungan masyarakat berjalan lebih baik.

Pelonggaran pembatasan mesti dipersiapkan dengan kehati-hatian tinggi. Protokol kesehatan ketat diterapkan di seluruh sektor. Institusi pemerintahan di setiap level tak boleh saling silang. Kebijakan pusat-daerah harus sinkron dan harmonis.

Dalam sebuah pertempuran, hasil akhir tak selalu menang atau kalah. Damai, boleh jadi suatu strategi bijak bila dipersiapkan matang demi menyelamatkan nyawa banyak orang sekaligus menjaga keutuhan bangsa. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat